[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="(Pasar Natal Alexanderplatz Berlin 2012-Dokumentasi pribadi)"][/caption]
„Ibu sudah tiba di München! Kapan ke rumah?“ Aku membaca pesan singkat itu berulang kali. Sebentar-sebentar kumasukkan telepon genggamku ke dalam saku mantel hitamku, namun, tidak berselang beberapa waktu aku mengeluarkannya kembali. Sudah tiga hari pesan itu mengendap diinboxku,kakak mengirimkannya sejam setelah menjemput ibu dari Frankfurt. Aku memang sengaja mengulur waktu bertemu ibu. Setidaknya, alasan siboss ada urusan mendadak dan pekerjaan di kantor mesti kutangani sendiri telah menyelamatkanku. Nyatanya, keraguanlah yang menahan langkah dan membentengi egoku sehingga menarik ulur keinginan untuk membeli tiket kereta ke München kemarin sore. Aku belum siap bertemu ibu. „Kamu tidak akan pergi dengan pria itu kan, Angie? Dia telah menyebabkan kematian ayahmu, ingat itu Nak....“  Setengah memohon, ibu berusaha mengingatkan. Itu adalah saat terakhir kudengar suara ibu lewat telepon, sebelum komunikasi kami menjadi dingin, dua tahun lalu. Aku tidak hanya mengagumi ibu. Sosoknya yang cerdas dan serba bisa bahkan telah menggeser cita-cita masa kecilku menjadi pengacara seperti ayah untuk kemudian bisa seperti ibu. Aku mengenal ibu sebagai pendidik yang sabar dan tidak pernah mengenal kata terlambat untuk belajar sesuatu. Dan yang pasti, sifat keibuannya telah berhasil melunakkan sifat keras ayah dan mengantarkan kami anak-anaknya pada kesuksesan. Aku memilih menjadi peneliti, tidak jauh seperti ibu yang mengabdikan diri di sebuah universitas negeri di ibu kota selama dua puluh tahun terakhir. „Jika saja ibu tahu bahwa Angga tidak hanya menyebabkan kematian ayah tapi juga memiliki anak yang telah disia-siakan begitu saja, apa yang harus kukatakan?“ Aku menarik napas panjang, bersamaan dengan rasa sesak yang tiba-tiba menggerogoti dadaku. Butiran-butiran lembut salju telah menutup bagian depan jaketku. Aku masih terus berjalan, membawa kaki menyusuri Pasar Natal Alexanderplazt-Berlin untuk sekedar meringankan pikiran. Cuaca dingin seolah membantuku berpikir. Kenangan demi kenangan menggelinding kian cepat dalam kepalaku. „Aku harus jujur pada ibu, apapun resikonya!“ Aku rindu ibu.
KEMBALI KE ARTIKEL