Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Popularitas Memang Penting Tapi Tidak Cukup

6 Agustus 2010   18:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 351 0
[caption id="attachment_217121" align="aligncenter" width="500" caption="Arianna Huffington sumber: http://www.newsweek.com/2010/07/25/arianna-s-answer.html"][/caption]

Artikel di Newsweek edisi 2 Agustus 2010 mengenai Arianna Huffington telah membuka mata saya dan memberikan pencerahan mengenai perkembangan media online atau pada saat ini lebih disebut sebagai new media. Arianna (Juli kemarin ini berusia 60 tahun) adalah pemilik dari The Huffington Post (HuffPo), salah satu new media yang paling terkemuka saat ini.

Awalnya, HuffPo, yang diluncurkan 5 tahun yang lalu, adalah sebuah blog keroyokan Arianna dan 250 orang teman-teman selebritinya untuk mengkritik Pemerintahan Presiden Bush. HuffPo kemudian berkembang menjadi salah satu situs berita terpenting yang menyajikan berbagai berita dari politik yang serius sampai dengan gosip selebriti.

Tahun lalu, HuffPo dinobatkan sebagai salah satu blog terbaik oleh majalah Time dan pengunjungnya pada bulan Juni yang lalu mencapai 24, 3 juta pengunjung unik (unique visitors), lima kali lipat dari pengunjung new media lain yang menjadi pesaingnya (bayangkan jika rata-rata kunjungan per pengunjung unik 10 kali per bulan, maka terdapat 100 juta lebih kunjungan ke HuffPo). Jumlah ini juga melampaui pengunjung situs mainstream media seperti The Washington Post dan hampir mendekati jumlah pengunjung The New York Times. HuffPo, sebagaimana juga New York Times, menggratiskan akses untuk memperoleh berita terbaru maupun arsip berita kepada pengunjungnya. Pendapatan HuffPo tahun ini diperkirakan mencapai $30 juta, suatu jumlah yang kecil dibandingkan pendapatan mainstream media, tapi jauh lebih baik dibandingkan pesaing digitalnya. HuffPo diperkirakan juga akan meraih laba, setelah berpuasa selama 5 tahun.

Apa rahasia popularitas HuffPo? Blogger selebriti mungkin satu faktor. Rekrutmen selebriti menjadi blogger juga diikuti oleh detik.com. Faktor lainnya adalah kekuatan modal. HuffPo dibangun dengan modal $4 juta ditambah dana dari modal ventura lebih dari $33 juta. Namun faktor yang paling membedakan HuffPo dengan new media lainnya adalah teknologi yang dikembangkannya yang disebut content management systems. Sistem ini menciptakan cara yang berbeda dalam menampilkan cerita, yaitu menggabungkan links, video, slides shows, dan comment, mengambil potongan-potongan berita dari sumber lainnya yang semuanya diramu oleh sentuhan redaksi HuffPo. Sistem ini juga didukung dengan pengukuran trafik yang memberikan umpan balik mengenaikeberhasilan suatu cerita yang menarik pembaca.Beberapa staf redaksi HuffPo melakukan pekerjaan sebagaimana layaknya jurnalis, keluar kantor dan melakukan wawancara. Namun sebagian besar dari 80 orang staf redaksi bekerja pada meja panjang di dalam sebuah ruangan besar mengambil materi-materi yang menarik dari situs lain, seperti foto, video, dan lain-lain. Pada editor terus memantau perkembangan kata kunci yang sedang popular di google, lalu merancangcerita dari hasil pencarian tersebut dengan menuliskan sendiri atau mencari dari berbagai sumber. Cerita harus dirancang sedemikian rupa sehingga cerita tersebut masuk ke dalam peringkat pertama pencarian melalui pemanfaatan search engine optimization, suatu keahlian yang harus dimiliki oleh staf redaksi HuffPo.

Hal yang dianggap paling mengesankan dari HuffPo adalah jumlah tanggapan yang diberikan pembacanya. TIdak jarang ditemui lebih dari 5000 tanggapan untuk satu cerita. Dan dalam bulan Juni yang lalu, HuffPo menerima 3,1 juta tanggapan. Tidak seperti new media di Indonesia, tanggapan dimoderasi untuk menghindari tanggapan-tanggapan yang tidak pantas dan menggunakan kata-kata kotor. Untuk itu HuffPo sampai mempekerjakan 20 orang untuk melakukan moderasi (bandingkan dengan jumlah admin kompasiana). Hal inilah, menurut Arianna salah satu kunci keberhasilannya mengundang banyak komentar, karena mereka berhasil menciptakan  budaya memberikan tanggapan yang positif dan suasana yang menyenangkan bagi pembacanya untuk berpartisipasi. HuffPo ingin menjadikan situsnya seperti situs jejaring sosial, atau social blog, meminjam istilah yang digunakan oleh Kompasiana. Orang tidak sekedar membaca berita, tetapi mendiskusikannya dengan pembaca lainnya atau sekedar mengobrol dengan pengunjung lainnya. Arianna menyebutnya sebagai Social News.

Kehadiran HuffPo memang mengguncangkan para pelaku media, baik mainstream media maupun new media. Kebanyakan dari mereka telah membebankan fee kepada pengunjungnya untuk dapat mengakses sebagian besar dari isi situs mereka. Bahkan raja media Ruport Murdoch yang disegani itupun kelabakan dan menyerang Arianna dengan tuduhan pencurian berita. Ia juga menyatakan hanya situs komunis yang meyakini bahwa orang tidak perlu membayar spesialis di bidang olahraga, lingkungan atau berita lokal. Murdoch juga mengancam untuk menutup akses ke situs beritanya dari mesin pencari Google.

Di antara perayaan keberhasilannya, banyak pula yang mengkhawatirkan masa depan HuffPo. Walaupun memiliki banyak pengunjung, HuffPo, dan juga situs-situs lainnya, tidak berhasil mengubahnya sebagai suatu keuntungan. HuffPo dapat dikatakan hanya menghasilkan $1 per pembacanya per tahun. Pendapatan per pembaca ini jauh lebih kecil dibandingkan mainstream media seperti jaringan TV kabel dan media cetak yang bisa menghasilkan ratusan dolar dari setiap pelanggannya ditambah dengan ratusan juta dolar dari pendapatan iklan. Ironisnya, sementara mainstream media saat ini berjuang mempertahankan hidupnya karena kehilangan pembaca dan iklan, uang dari iklan tersebut ternyata tidak mengalir ke new media. Sampai saat ini memang ada permasalahan dengan pemasangan iklan di new media. Sulit rasanya mencuri perhatian pengguna internet untuk mengklik atau membaca iklan yang tersedia. Untuk membaca content saja,mereka juga bergerak secepat kilat. Di new media seperti detik.com kita melihat upaya untuk memaksa pembacanya melihat iklan, dengan menutupi setiap halaman yang dibuka dengan iklan yang terus bergerak walaupun halaman kita scroll ke bawah. Namun dampak dari pemaksaan itu lebih memberikan rasa jengkel bagi pembacanya daripada ketertarikan untuk mengklik content dari iklan. Kita lebih memilih mengklik close. Sampai-sampai seorang kolumnis Michae Wolff menyerah. “Mungkin inilah saatnya seseorang harusmengatakan hal yang enggan untuk dikemukakan sebelumnya, bahwa online advertising tidak bekerja seperti yang diharapkan dan situs bukanlah sarana untuk pemasangan iklan efektif”, katanya.

Tidak heran kalau kita lihat banyak penerbit media cetak yang bangkrut. Newsweek sendiri terpaksa harus dijual oleh The Washington Post untuk menghindari kebangkrutan. Usaha media boleh dikatakan menemui jalan buntu, sementara mereka kehilangan pendapatan dari mainstream media mereka juga tidak memperoleh penggantiannya dari new media. Walaupun tidak menguntungkan, mereka harus membuka new media agar tidak kalah bersaing. Dengan tidak adanya harapan untuk meningkatkan pendapatan, maka yang dapat dilakukan adalah pengurangan biaya. HuffPo sekarang ini mempekerjakan 80 orang staf redaksi dengan gaji yang lebih rendah dari redaksi media cetak. Mereka mencari berita melalui situs-situs yang menyediakan berita gratisan. Selain itu mereka berharap mendapatkan berita dari 6000 bloggernya yang menulis dengan sukarela tanpa bayaran. Pada akhirnya materi yang berbiaya rendah berdampak pada tarif iklan yang semakin rendah pula.

Margin yang rendah memberikan keuntungan bagi pemain berskala besar. Google berhasil meraup miliaran dolar melalui iklan-iklan kecilnya yang murah yang jumlah tak terhingga. Karena itu pula AOL dan Yahoo tertarik untuk masuk kedalam media online dengan berita-berita murahan (Newsweek menggunakan istilah low cost low value).  Yahoo, misalnya,  membeli Associated Content yang bisnisnya adalah membangun jaringan dengan para freelancers untuk menciptakan cerita berdasarkan kata-kata kunci yang sedang populer di search engine.Masuknya para pemain besar ini mengkhawatirkan banyak pemain kecil.

Arianna sendiri tidak terlalu khawatir. Dirinya sendiri sudah menjadi bagian dari popularitas. Dia muncul di berbagai media. Dia masih melakukan posting di HuffPo, telah menerbitkan 13 buku karangannya, muncul di berbagai acara radio dan televisi. Bahkan mengisi suara untuk suatu komedi animasi dari Fox. Arianna juga melihat perusahaannya masih berpotensi untuk berkembang. The New York Times yang memiliki pengunjung unik tidak jauh berbeda dengan HuffPo, yaitu 32,4 juta, berhasil meraup $200 juta dari online advertising. HuffPo saat ini baru memperoleh $30 juta dan seharusnya tidak sulit untuk mencapai $100 juta. Hanya mereka belum menemukan cara yang efektif saja.

Apakah begitu sederhananya membandingkan New York Times dan HuffPo hanya dari sisi popularitas, yaitu jumlah pengunjung unik?. Saya rasa tidak. New York Times memiliki tradisi jurnalisme yang sangat panjang, sejak didirikan pada tahun 1851. Mereka telah memiliki reputasi sebagai penghasil berita-berita mereka sangat berkualitas dan dapat dipercaya. Proses produksi mereka sangat berbeda dengan proses produksi HuffPo sebagaimana yang telah diceritakan di atas. Mereka lebih mementingkan isi berita daripada tampilan. Karena itu pula tampilan situs New York Times sangat klasik tanpa adanya kegenitan teknologi. Bandingkan dengan tampilan HuffPo yang sangat populer dan berwarna warni menutupi kualitas berita mereka yang dikritik tidak akurat, tidak informatif, dapat menyesatkan dan sering menimbulkan kontroversi. Berita-berita lama dan laporan-laporan khusus New York Times masih sering dicari dan dicetak. Iklan sponsor dapat dimunculkan ketika pembaca mencetak artikel. Dengan demikian iklan-iklan tersebut terbaca dan terus terbawa pada hasil cetakan artikel.

Apakah HuffPo dapat memperoleh iklan yang sebanding dengan tingkat popularitas mereka yang tidak terlalu jauh dari New York Times? Rasanya tidak. Popularitas memang suatu yang penting dalam bisnis media, tapi cara untuk mencapai popularitas merupakan hal yang lebih penting lagi. Popularitas New York Times disebabkan oleh tradisi dan reputasi kualitas mereka yang telah dibangun ratusan tahun. Walaupun HuffPo mampu menarik banyak pengunjung unik, namun popularitas yang diperoleh dari trik-trik teknologi dan kemasan pemasaran ini rasanya tidak mungkin mampu menarik pemasang iklan. Hal inilah yang mungkin menjelaskan perbedaan antara New York Times dan HuffPo, walaupun tingkat popularitas tidak jauh berbeda, tapi pendapatan iklan sangat berbeda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun