Alienasi remaja dipadatkan maknanya dalam kalimat “Remaja di rumah ketika tidak aktif, dan ketika ia aktif, ia tidak di rumah.” [1] Sudah 3 kali, pertemuan saya dalam les (tambahan belajar gratis) bersama remaja masjid Nurul Yaqin, Kab. Merangin, Prop. Jambi setiap malam minggu. Secara tidak langsung, kegiatan tersebut berlawanan (memerangi) kultur kebebasan sebagian remaja di malam minggu yang berdua-duan campur baur laki-laki dan perempuan sehingga ‘meninabobokkan’ remaja karena biasa merasa asing di rumah mereka (bersama orang tuanya). Yah, istilah kerennya, alienasi, ia tak hanya diperbincangkan oleh kaum komunisme, tapi kaum integralisme juga.
Memperhatikan dan menimbang persiapan anak-anak untuk ujian akhir semester, saya terinspirasi untuk mengkritik diri. Awalnya perbincangan hangat dalam kesendirian adalah kenyataan bahwa semester 1 tahun ajaran 2014/2015 ini telah diputuskan oleh Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah (Kemendikbuddasmen), Anies Baswedan,agar Kurikulum 2013 (K’13) dimoratorium dengan sejumlah pengecualian.[2,3]
Hendaknya, menyimak dengan seksama, bahwa K’13 tidak dihapuskan! Tidaklah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menggantikannya di sekolah-sekolah se-Indonesia. Sebenarnya, sebagian sekolah menerapkan K’13 sedangkan sekolah yang lain KTSP, sembari terus mengevaluasinya. Sebenarnya, sebagaimana Pak Anis berujar, pemerintah memutuskan moratorium terhadap K’13.
Terbukti, sikap keterburuan pandangan. Menurut pandangan yang terburu-buru, dikatakan bahwa K’13 dihapuskan, artinya kembali ke KTSP. Sedangkan ‘membaca’ secara luas, sebenarnya, K’13 tidaklah dihapuskan.
K’13 secara ‘dokumen’ tidaklah bertentangan dengan KTSP. Muncul statement bahwa KTSP dan K’13 merupakan sebuah dikotomi (pengelompokan atas dua golongan yang saling bertentangan). Padahal K’13 dipahami sebagai melengkapi KTSP. Sederhananya, K’13 memprioritaskan value religius dan disiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Misal, siap menghadapi: (1) WTO, ASEAN Community, APEC, dan CAFTA yang menuntut mampu berkomunikasi, (2) problematika lingkungan hidup yang menuntut pikiran jernih dan kritis, (3) kemajuan pesat teknologi informasi, dan di satu sisi konvergensi (keuniversalan) ilmu yang menuntut kemampuan moral sebagai driver, (4) ekonomi berbasis science menuntut kemampuan berwarganegara secara efektif, (5) pola industri kreatif dan budaya, yang menuntut kemampuan teguh dalam prinsip, kemampuan bereksperimen dan lapang dada dengan ke-ngotot-an gagasan orang lain, (6) pergeseran power ekonomi ke Asia—khususnya China, yang menuntut kemampuan betah hidup dalam globalisme, (7) efek teknosains, yang menuntut untuk memiliki minat yang besar mengenai tujuan hidup, (8) kualitas dan kuantitas modal serta power guru dalam sektor pendidikan, yang menuntut kecerdasan sesuai bakat dan minat, bahkan kemampuan banting stir meski tak sesuai dengan bakat dan minat.[4,5]
Sehingga tidaklah kerdil K’13, meskipun saya banyak membaca seputar keberatan siswa, wali siswa dan guru[6,7,8] dalam implementasi K’13. Paripurna pandangan sangat dibutuhkan, oleh itu, baiklah kiranya agar dirangkum beberapa dikotomi yang terjadi dewasa ini berkaitan dengan K’13 sedikit-banyak sudah diutarakan oleh Pak Wijaya Kusumah M.Pd. Dikotomi yang bersumber dari arus besar K’13 dari tinjauan substansi dan implementasi, yang sederhananya, selalu berkutat di dua persoalan yaitu infrastruktur dan profesionalisme guru.
1. Tidak ada rankingvs semangat berlomba
Ranking mampu memotivasi siapapun selama indikator penilaian juara sangat jelas dan ketat. Siapa yang membantah mungkin telah berada di dunia lain (mimpi kosong).
2. Jumlah jam belajar tinggi vs siswa kelelahan atau berat mau belajar
Belajar harus dipahami bahwa kepada siapapun ia bisa dilakukan. Maka di mana pun dapat dijadikan tempat belajar. Sebab, semua orang unik dari segi gen dan lingkungannya. Dalam pandangan yang sensitif atau memperhatikan sekecil-kecilnya motif dan perubahan (dinamika) seseorang, sebenarnya dapat diambil pelajaran dari siapapun. Dengan kata lain, setiap orang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Wajar ada istilah SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) dianut banyak perusahaan.
Menambah jam belajar sebenarnya tidak masalah, toh kita bisa belajar kepan pun. Sebab di mana pun kita bisa belajar kepada siapapun (secara reseptif maupun ekspresif belajar itu mudah).
3. Guru dengan ilmu multi-displiner vs guru dengan ilmu uni-disipliner
Mungkin segala ilmu adalah boleh dan efek ilmu bisa ke arah yang benar atau ke arah yang keliru. Boleh jadi, ada yang mempelajari ilmu (yang berefek timbul kejahatan) untuk mencari kelemahannya, mengoreksinya dan memperbaikinya.
Boleh, sepakat dengan pandangan, bahwa ilmu adalah tidak netral. Kemudian, jika ilmu itu netral, maka orang akan sesukanya melakukan riset atas libido ‘metode ilmiah’ tanpa memperhatikan tanggung jawab moral. Misal, riset dalam tema sistem reproduksi manusia, kloning manusia, rekayasa genetika yang risetnya akan dibatasi oleh moral.
Sebagaimana berkas kasus bisa ditarik kembali dari hakim oleh pelapor, hanya karena alasan kerelaan, menunjukkan kejahatan dimaafkan oleh kebaikan. Kemudian, karena (1) Proses di pengadilan adalah metode ilmiah, (2) Metode ilmiah tidak dipisahkan dari ilmu, (3) kasus yang dilaporkan dengan sengaja dan dengan sengaja pula direlakan untuk tidak diproses di pengadilan, maka saya kira, ilmu tidaklah netral. Ilmu disetir oleh moral.
Ke depan tampaknya ilmu semakin konvergensi dari sisi tujuannya. Itu lah yang saya kira bahwa ilmu disetir oleh moral, baik itu IPS maupun IPA. Kemudian, penting, tidak ada dikotomi dari sisi kejeniusannya, karena sebenarnya masing-masing (IPA atau IPS) punya kejeniusan yang saling melengkapi.
Ya, tidak apalah, memaksa diri untuk menyenangi keduanya (IPA dan IPS) ditengah-tengah terpusatnya segala cabang ilmu.
4. Memfasilitasi siswa (student centre) vs guru kurang mendampingi
Berdasarkan observasi, sebagian siswa menyatakan bahwa motivasi belajar menurun dan tidak nyaman dengan belajar di sekolah. Selidik saya, penyebabnya, ketidakjelasan intruksi dan tidak ada pendampingan dari guru dalam penyelesaian PR siswa. Persepsi guru adalah siswa aktif, sementara persepsi siswa tidak mengerti materi pelajaran. Tapi, tetap sajakan tidak ada wujud sinkronisasi efek belajar yang diharapkan oleh kurikulum?
Mending guru berkeringat jauh-jauh hari agar di masa depan anak bangsa menirunya. Sebab prinsip di dunia militer, semakin banyak keringat berkucur di masa ‘latihan’ akan semakin sedikit darah yang berkucur di masa ‘perang.’
5. Proyek ilmiah siswa vs minimnya motivasi, intruksi, dan keteladanan guru
Dulu, saya diminta ibu membeli bahan-bahan buat makanan sampai sejumlah belasan item. Ibu khawatir (1) saya salah persepsi, (2) saya bolak-balik tanya jika intruksi tidak jelas, (3) karenanya memboroskan energi saya. Sehingga ibu, mencatatkan detail bahan yang akan dibeli, jumlahnya dan menyiapkan uang—yang dibutuhkan untuk menukar (membeli) bahan-bahan tersebut.
Sekarang, kisahnya, ada siswa yang kebingungan dengan proyek yang ditugaskan guru di luar jam belajar sekolah, itu karena ketidakjelasan intruksi dan kurangnya siswa termotivasi untuk belajar aktif.
Ketika sisi pengkritik kita mengambil andil sebagian dari total persentase kejiwaan kita sebenarnya kita sedang fokus pada sisi motivator yaitu sebagian dari total persentase kejiwaan kita. Nah sekadar menyebutkan tujuh sisi lagi, sebagai wawasan. Sisi pemelihara, penyenang hati, pelaku beberapa hal (collectivor), sisi pemarah, sisi empati dan terakhir sisi kekanakan.
6. Konteks keindonesiaan (kearifan daerah) vs relatif minim praktik
Tanggung jawab guru sangat besar. Kadang terbersit pikiran, beruntung jadi pengajar. Memang, pengajar tidak sama dengan guru. Saya kira guru bertanggungjawab dengan kognitif, psikomotorik, dan afektif siswanya. Sementara, pengajar les (belajar tambahan), berusaha melanjutkan tugas-tugas guru saja.
Namun, kemudian, ada norma bahwa belajar bisa kepada siapapun, maka tidak perlu minder dengan status sebagai pengajar.
Konteks keindonesiaan (kearifan kedaerahan) menuntut guru yang jurusan IPA untuk tidak meng-anak-tirikan materi IPS. IPS sama membangunnya dengan IPA. Sangat disayangkan atas persepsi berkait pelajaran IPA lebih sulit ketimbang pelajaran IPS. Siswa IPS lebih bandel ketimbang siswa IPS. Muskil sekali meluruskan persepsi yang beginian.
Kemudian, tidak kalah penting, bahwa induk ilmu tidak lain, adalah religi. Bukankah (konon) moyang Indonesia beragama dengan menyembah pohon atau benda-benda, bukankah itu sisi religiusitas atau ketuhanan? Saya kira, induk ilmu adalah konsep ketuhanan dan keteladanan. Maka siapa yang membantah, tampaknya telah berada di dunia ‘lain.’
7. Standar penilaian menyeluruh vs kurang pendampingan dari Kemendikbud
Guru, disuruh menilai secara menyeluruh, tapi relatif sedikit untuk mengevaluasi. Senada dengan itu, sudah akrab terdengar hipotesis, evaluasi sering dikecilkan makna dan implementasinya.
Kemudian—satu pemisalan—hal itu dibuktikan dengan seberapa seringkah guru mengingatkan siswanya untuk beribadah. Sebab kita menganut norma keTuhanan sehingga tidak memarjinalkannya. Kalau dirasa perlu, Anda teriak saja minta menghapus sila kesatu pancasila jika benci dengan orang yang peduli dengan ibadah Anda, jika benci dengan orang yang bertanya tentang ibadah Anda untuk mengingatkan Anda!
Tuduhan gerakan berlabel agama dianggap gerakan terdogma dan tuduhan bahwa gerakan agama berarti membela Tuhan, pun cukup merepotkan, apalagi tidak menyodorkan bukti. Tuhan tak perlu dibela. Tapi, tidak ada yang tidak bersandar pada yang lebih kuat. Maka, yang bersandar pada yang paling kuat. Ialah hamba Tuhan. Akhirnya, singkat saja, semua ditanya, apa amalanmu? Duduk bijaknya, ada pada kemanfaatan ibadah yang memang terbukti bagi personal masing-masing (fisik dan jiwa yang sehat).
Evaluasi sering dipahami sebagai perkara bertanya, dan evaluasi merupakan perkara tidak sulit, seandainya standar penilaian jelas dan terang, artinya tidak menimbulkan pertanyaan berulang-ulang.
Penilaian yang menyeluruh melibatkan kontribusi guru yang berkongsi. Sebagaimana siswa dituntut kerjasama, guru pun dituntut bekerjasama.
Pemahaman tentang kelemahan personal (diri) cenderung menganjurkan kerjasama dengan personal (orang) lain. Hubunganya, program mendidik mestinya terbiasakan dengan kerjasama setiap elemen, contoh, dalam menyiapkan infrastruktur yang memadai—seperti buku atau media belajar lainnya.
Teamwork adalah nilai moral yang tidak hanya lahir di abad Renaisans, tapi sudah mendarahdaging dalam ‘perjalanan’ insan manusia. Ia adalah nilai historis dari kemajuan peradaban yang sensitif dengan acuh terhadap kesalahan kecil yang dibiar-biarkan atau dosa kecil yang dibiar-biarkan, sebab dikhawatirkan jika lama-lama akan menumpuk menjadi bank dosa dan menyetir kaum kepada kekerdilan tujuan, kesempitan pandangan, ketergesaan, kemalasan, kepengecutan, kesedihan, kebodohan, dan banyak utang yang tak terbayarkan.
Teori pendidikan hadir dalam banyak varian, baik yang historis maupun kontemporer. Sedikit-banyak keteladanan dituntut meningkat. Misal, dua buku yang banyak inspirasi di dalamnya bagaimana memotivasi diri dan siswa, dieksplorasi oleh David J. Lieberman yang judulnya Agar Siapa Saja Berbuat Apa Saja untuk Anda dan Win wenger yang judulnya Beyond Teaching and Learning.
Maka kemendikbudnas akan ditanya tentang komitmen kerja kerasnya sebelum menanyakan komitmen guru. Komitmen siswa ditanyakan setelah guru berkomitmen dengan etos kerjanya.
Solusinya?
Apakah hanya tujuh item saja? Sebenarnya masih banyak lagi dikotomi, seperti, tematik lebih cocok di sekolah dasar sebab didasarkan pada perkembangan psikologi anak yang berumur 6-12 tahun, lingkungan anak, lingkup dan kedalaman materi, kesinambungan menuju kelas menengah, dan fungsi sekolah dasar, tapi dalam implementasi, siswa menjadi kepayahan belajarnya. Malah kurang semangat.
Kemendikbud dinilai kurang me-riset dan meng-evaluasi. Maka, tindakan Pak Anis Baswedan sudah tepat, K’13 masih berlaku, sementara sekolah yang belum siap menerapkan K’13 kembali menerapkan KTSP yang pada prinsip visinya sama, yakni memajukan sisi kognitif, psikomotorik dan afektif siswa berlandaskan power takwa.
K’13 diterapkan di 6.221 sekolah sejak tahun ajaran 2013/2014. Pada tahun ajaran 2014/2015, kurikulum ini dilaksanakan (di sekolah di 295 kabupaten dan kota) di seluruh indonesia. Tiga bulan setelah K’13 dilaksanakan di seluruh Indonesia, Anies mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum 2013. Pasal 2 ayat 2 dalam PerMen tersebut, evaluasi K’13 bertujuan menguji kembali kesesuaian antara ide dan desain kurikulum; antara desain dan dokumen kurikulum; antara dokumen dan implementasi kurikulum; serta antara ide, hasil, dan dampak kurikulum.[2]
Menarik untuk melihat ke belakang sejenak. Berikut rencana untuk sekolah dasar semasa jabatannya dipegang Pak M. Nuh, K’13 akan dijalankan di 2.598 sekolah, oleh 15.629 guru, dan 341.630 siswa. Untuk SMP, dijalankan di 1.521 sekolah, 27.403 guru, dan 342.712 siswa. Untuk SMA, dijalankan di 1.270 sekolah, 5.979 guru, dan 335.940 siswa. Dan untuk SMK, dijalankan di 1.021 sekolah, 7.102 guru, dan 514.783 siswa. Total keseluruhan pelaksana K’13 adalah 6.410 sekolah, 56.113 guru, dan 1.535.065 siswa. Daerah-daerah tersebut adalah, DI Aceh 132 sekolah, Bali 203 sekolah, Jawa Tengah 881 sekolah, Jawa Barat 887, Jawa Timur 1053, Sumatera Utara 263, Banten 225 sekolah, DI Ygyakarta 146 sekolah, dan Jakarta 250 sekolah.[9] Sementara, jumlah total sekolah se-Indonesia yaitu 208.000 sekolah (SD/SMP/SMA/SMK).[10]
Artinya, hanya 6.221 sekolah per 208.000 sekolah, sama dengan 2,99% yang menerapkan K’13. So, wajarkan sejak awal penerapannya, kemdiknasbud mengatakan hal itu merupakan tahap ujicoba? Namun demikian, mesti diapresiasi buat Pak M. Nuh, karena penerapannya melebihi taget awal, 2.598 sekolah. Sekali lagi sejak awal kemdiknasbud menyatakan bahwa penerapan K’13 adalah tahap ujicoba,[5,11,12] maka tidak ada sangkut pautnya dengan keuntungan politis pihak tertentu. Kalau memang ada, emangnya siapa sih pihak itu?
Nah, kemudian, tentu semua program akan bicara tentang dana. Dana bicara tentang uang.[13,14] LPj (Laporan Pertanggungjawaban) sering ‘memamerkan’ alasan terkendala dana atau keterlambatan pencairan, atau keribetan koordinasi birokrasi.
Kenapa tidak ada yang bertanya, uang kertas itu kalau Pemerintah yang mencetak apa jadinya? Apa dampak kalau uang kertas dianggap harta riil? Uang kertas itu kalau dipikir-pikir harta rill gak sih?
Dulu, di kampus, mau mendatangkan seorang motivator gak jadi gara-gara kurang uang[15] dan kekhawatiran jumlah peserta tidak mampu mengimbangi cost buat Motivator tersebut. Mungkin Anda pun pernah mengeluhkan hal yang sama, soal dikotomi dana di sisi yang satu sementara cita-cita/keinginan/kemauan di sisi yang lain.
Saya kira harus bergerak dengan kondisi yang bisa kita lakukan dan yang memungkinkan bisa kita lakukan, menjunjung tinggi visi, mengulang membaca visi, dan bekerja kontinu.
Secara pribadi dan tidak memaksa, saya kira, guru yang memotivasi harus ditelurkan oleh Kemendikbuddasmen. Sebab dalam implementasi diawali dari motif (dorongan), keyakinan (tidak ragu), dan niat (kebenaran). Dilanjutkan dengan pendampingan, disinambungkan dengan evaluasi. ‘Diselesaikan’ dengan evaluasi dan follow-up yang kontinu. Artinya, tidak ada kata ‘stop’ jika ingin menjadi lebih baik.
Sepertinya, pro dengan statement -nya Pak Anis Baswedan, (1) “Kualitas guru yang harus diperhatikan, pendidikan akan baik jika guru baik, pendidikan akan bermasalah jika gurunya bermasalah,” [13] (2) “Perbaikan kurikulum demi kebaikan semua elemen dalam ekosistem pendidikan, terutama peserta didik, anak-anak kita. Tidak ada niat untuk menjadikan salah satu elemen pendidikan menjadi percobaan, apalagi siswa yang menjadi tiang utama masa depan Bangsa,” [13] (3) “Proses penyempurnaan K’13 tidak berhenti, akan diperbaiki dan dikembangkan, serta dilaksanakan di sekolah-sekolah percontohan yang selama ini telah menggunakan K’13 selama 3 semester terakhir.” [16]
Sejalan dengan sikap Bu Wara Rahmawati, M.Psi. pegiat di bidang Psikologi, (4) “Menguatkan jiwa-jiwa guru sehingga benar memahami peran dan fungsi sebagai guru perlu mendapatkan perhatian khusus sebelum merevolusi kurikulum.” [17]
Krisna Ramdhani, pegiat di bidang pendidikan, berkomentar, Siap gak siap, mau gak mau, kita sebagai guru harus selalu siap berubah. Always ready to change! Status FB guru-guru aja selalu ganti setiap ada moment/heart feeling. Masak kurikulum gak boleh ganti karena tuntutan zaman? [18]
Sigit setyawan, M.Pd menyatakan, semua terpulang kepada gurunya, mau kemana dibawa anak-anak kita.” [19]
Welly H. N. Seran, S.Pd, menyatakan, menarik menantikan evaluasi dari Kemendiknasbuddasmen terkait implementasi K’13 nantinya. [20]
Kalau Anda kaya [21,22] raya, apakah Anda akan membangun Sekolah Kehidupan? Siapa bilang guru tidak bisa kaya? Nina Krisna Ramdhani, alumni IKIP UNJ dan IPWI Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia) sekaligus selaku guru SD, menasehati, bahwa jadi guru harus kaya.
Sekolah kehidupan ditopang oleh ekonomi sejahtera. Sehingga relatif tidak ada lagi dikotomi antara dunia pelajaran dan dunia nyata. Keduanya menyatu oleh persepsi bahwa kita bisa belajar kepada siapapun, di mana pun dan karenanya kapanpun bisa belajar. Itulah sekolah kehidupan. Remaja sejak dini bekerja yakni berniaga. Demikian ditegaskan, sekolah kehidupan ditandai dengan tidak ada bersekolah sebelum bekerja dan tidak ada bekerja setelah sekolah.
Sekolah kehidupan adalah bekerja menyatu dengan bersekolah. Janganlah dikotomi mengarah ke alienasi. “Kita di rumah ketika kita tidak bekerja, dan ketika kita bekerja kita tidak di rumah.” [1]
Kelihatannya solusi yang tidak muskil diaplikasikan. Namun, memang mengubah karakter, khususnya entitas pemikiran tidak segampang membalikkan telapak tangan. Karenanya jika sulit melihat perubahannya, maka nanti waktu yang akan membantu. Bersabar adalah niscaya, artinya tetaplah mobile di kala kesulitan-kesulitan mendera!
Dari sekaranglah dimulai, mobilisasi pendidikan non-formal, merehabilitasi dunia pendidikan keluarga untuk menstimulus minat yang luas terhadap hidup dan tujuannya. Sehingga tidak ada lagi dikotomi dunia nyata dengan dunia pelajaran, kemudian, siswa belajar dengan senang hati. Mungkin, tidak ada lagi guru memanipulasi nilai hanya untuk meluluskan siswa, baik nilai ulangan harian, ujian mid semester, ujian akhir semester, maupun ujian akhir sekolah.
Diperlukan kesiapan semuanya, baik siswanya, gurunya, manajemen sekolahnya, negara dan bangsanya serta keluarga (masyarakat umum). Keluargalah penyangga sekaligus benteng terakhir dari sebuah pertahanan ditengah terpaan kultur riba-isme, judi-isme, tawuran-isme, rusuh-isme, narkoba-isme, hedonisme, plagiarisme, liberalisme, atheisme, malas-isme dan seterusnya.
(Maka) terakhir, jangan jadikan kurikulum sebagai subjek! Kitalah yang subjek. Mari sedikit-banyak peduli dengan ibadah saudara kita, lebih-lebih ibadah pribadi. So, dalam demokrasi, janganlah alergi ngomongin religi.
Read more:
[1]http://economics.about.com/cs/moffattentries/a/marx_4.htm
[2]http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/079626628/Menteri-Anies-Baswedan-Stop-Kurikulum-2013
[5] http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-1
[8] http://edukasi.kompasiana.com/2014/12/05/kurikulum-2013-690380.html
[7]http://sosbud.kompasiana.com/2014/08/25/pendapat-kurikulum-2013-682821.html
[10] http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1309
[11]http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-3
[12]http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2
[13]http://edukasi.kompasiana.com/2014/10/26/kurikulum-2013-diujung-tanduk--682721.html
[15]http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2014/09/17/hakikat-harta-688530.html
[16]http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/siaranpers/3590
[17]http://jagaddhita.org/menyikapi-penerapan-kurikulum-2013
[18]http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/28/alasan-ganti-kurikulum-533065.html
[19]http://edukasi.kompasiana.com/2014/09/30/kurikulum-2013-terasa-janggal-682063.html
[21]http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/10/guru-juga-bisa-kaya-51587.html