Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Tahun Baru, Lowongan Baru, Tes Psikologi yang Sama

20 Januari 2011   10:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:22 285 1
Lowongan pekerjaan mulai bermunculan baik di media massa dan internet. Teringat saya akan saat dimana saya telah lulus Sarjana kemudian melamar banyak lowongan pekerjaan. Beberapa lamaran tidak ada kabarnya, dan sejumlah lamaran ada pemanggilan. Setiap pekerjaan memiliki proses perekrutan yang berbeda, seperti jumlah tahapan dalam proses tersebut. Semakin besar perusahaan biasanya semakin sulit dan panjang prosesnya.

Tahapan dalam perekrutan karyawan atau pegawai biasanya meliputi tes pengetahuan umum, tes psikologi, tes pengetahuan khusus terkait pekerjaan, FGD (Focus Group Discussion), tes kesehatan, hingga wawancara. Panjang dan rumit, bukan? Lelahnya mencari pekerjaan, dimulai dari tahap pencarian, mengirim lamaran, hingga mengikuti tahapan-tahapannya. Bayangkan jika satu lowongan kerja harus mengikuti tahapan-tahapan yang telah disebutkan. Berarti jika ada tiga lamaran yang dijalankan, berarti lebih banyak tes yang kita harus jalani.

Katakanlah wawancara dan tes pengetahuan (umum dan khusus) memang suatu tahapan yang berbeda antara satu pekerjaan dengan lainnya. Sedangkan, sepengetahuan saya, tes psikologi sejauh ini tidak jauh berbeda bentuk dan isi tesnya. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana saya harus berpikir menggambar apakah saya dari sebuah titik, garis, atau lengkungan. Kalau tidak salah itu disebut "Wartegg Test." Kemudian, bagaimana otak dan tangan saya harus berkerja cepat untuk mengkalkulasikan angka dalam "Kraepelin Test." Ada lagi tes menggambar pohon, orang dengan aktivitasnya, dan tes-tes yang berisi karakter pribadi kita dengan berisikan dua jawaban, A dan B.

Saya masih hapal buku yang berisi pertanyaan apakah Anda suka hal yang detail, dan lainnya. Ada kurang lebih 100 pertanyaan yang terkait hal tersebut yang dimuat dalam buku berukuran A5. Hal yang sempat terlintas dalam pikiran saya saat itu, adalah mengapa tes psikologi tidak diadakan seperti halnya tes IQ atau tes TOEFl dan semacamnya. Hanya sekali dengan ditetapkan masa berlaku hasilnya, misalnya setahun.

Bayangkan jumlah tes psikologi yang kita lakukan dalam mencari pekerjaan, bayangkan jumlah waktu yang dibutuhkan, bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menyelenggarakan tes psikologi tersebut baik sendiri atau melalui institusi tertentu. Dalam mengerjakan tes ini hal yang sangat menentukan adalah kondisi fisik dan mental pelamar. Bukan tidak mungkin terjadi kejenuhan atau lelah karena baru beberapa hari yang lalu melakukan tes yang sama. Mengingat sumber soal tes ini, sepengetahuan saya, berasal dari institusi yang sama, yaitu Universitas Indonesia.

Katakanlah pelamar memang harus berkorban dengan membayar sendiri tes psikologinya pada sebuah institusi yang memiliki legalitas dari UI, misalnya, untuk mengadakan tes ini. Dengan cara seperti halnya tes TOEFL tentu pelamar dapat memilih waktu yang sesuai dengan kondisinya, dan dapat menggunakan hasilnya beberapa kali sesuai jangka waktunya. Bukankah ini lebih efisien dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Karena tahapan lamaran pun dapat diperpendek. Namun demikian, ini hanya opini saya mengingat hasil psikologi yang terkadang tidak bisa maksimal dengan kondisi seperti yang telah disebutkan. Posisi saya dalam tulisan ini adalah sebagai pelamar, tentunya bersedia menerima masukan atau tanggapan dari pembaca yang bekerja sebagai pegawai SDM atau konsultan psikologi. Sehingga mungkin bisa ditemukan solusi terbaik bagi hal ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun