Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Karena Internet itu Candu

24 Maret 2015   09:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 124 2
Masyarakat Indonesia saat ini memiliki tuan baru. Sebagai tuan, sosok ini sangatlah kuat, mempesona, membuat candu sekaligus posesif. Kita menyebut tuan baru ini telepon pintar atau smartphone. Sebuah alat komunikasi yang benar-benar tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Tanpa ponsel pintar di genggaman, dunia terasa hampa bahkan seakan gelap gulita. Sakaw anak-anak gaul menyebutnya. Berapa banyak dari kita yang kelimpungan saat ikon baterai di sudut atas smartphone kita memerah dan tersisa satu bar?

Dengan kemajuan teknologinya, smartphone kini bukan lagi sekadar alat untuk berhalo-halo atau berkirim pesan pendek (SMS). Bahkan bisa dikatakan dua fungsi  ini justru telah turun derajatnya jadi nomor dua atau tiga.Hayo, kapan kita terakhir kali ber-SMS via smartphone? Sejak kenal instant messaging (entah Line, BBM, atau Whatsap), saya sangat jarang berkirim pesan pendek yang menyedot pulsa Rp 150 sekali kirim itu.

Makin murahnya biaya produksi, juga mengubah smartphone jadi kebutuhan primer dengan harga sangat variatif. Jika kuat tahan gengsi, cukup dengan Rp 500 ribuan sudah kita bisa bergaya dengan ponsel pintar android versi Jellybean, lengkap kamera, full music, dan bisa mengunduh beragam aplikasi di googleplay.

Smartphone yang punya kemampuan komputasi dan internet secara mobile, juga menggeser peran berbagai gadget pendahulu seperti pc, laptop, kamera digital, konsol game portable  dan music player.

Didukung harga paket internet mulai dari Rp 30 ribuan, makin eksislah masyarakat dari berbagai kelas ekonomi dengan si ponsel pintar. Walau jaringan internet negeri kita tidak terlalu kencang, asal bisa jejaring social, nonton di youtube dengan sedikit buffering, dan yang terpenting lancar instant messaging, sudah mantaplah itu.

Penetrasi smartphone di tengah masyarakat, diakui pemerintah ikut mendongkrak pertumbuhan internet tanah air. Murahnya smartphone plus bervariasinya harga paket internet telah membuat pemakaian internet meningkat. Pertumbuhan internet di Indonesia  sangat luar biasa. Kita kini tercatat sebagai negara nomor 6 terbesar di dunia yang masyarakatnya melek internet. Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi) menyebutkan, hingga September 2014 lalu pengguna internet tanah air mencapai 71 juta orang.

Sementara menurut perusahaan riset e-Marketer jumlahnya lebih tinggi lagi, sepanjang 2014 ada 83,7 juta pengguna internet di Indonesia. Padahal pada tahun 2006, pengguna internet di tanah air masih berkutat di angka 20 jutaan.

Angka-angka itu langsung menempatkan Indonesia di jajaran enam besar pengguna  internet terbesar di dunia. Untuk urusan klik dan browsing di jagat maya ini, Indonesia hanya kalah dari Tiongkok, Amerika Serikat, India, Brazil, dan Jepang. E-marketer memprediksi dalam tiga tahun ke depan setengah penduduk Indonesia akan mengakses internet.

Apa yang Dilakukan Netter Indonesia?
Dikutip dari portal techinasia.com edisi 21 November 2014, menurut Senior Forecasting Analyst eMarketer, Monica Peart dari 83,7 juta orang yang melek internet, 41 juta di antaranya mengakses lewat smarthphone. Tapi apa saja sih yang dilakukan kebanyakan orang Indonesia saat asyik klak klik klak dengan smartphone atau tabletnya?

Hasil survey mengungkapkan 70 juta warga Indonesia ternyata lebih banyak menggunakan si ponsel pintar untuk mengakses sosial media seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, LinkedIn, Google+ dan sejenisnya.

Versi Kemenkominfo tidak jauh berbeda. Menurut kementerian yang saat survey masih dipimpin Tifatul Sembiring itu, 82 jutaan pengguna internet di Indonesia lebih banyak menggunakan smartphone, tablet, juga laptop untuk mengakses jejaring sosial (38 persen), chatting (28 persen), mendengarkan musik (21 persen), bermain game (19 persen), dan membaca konten internet (17 persen).

Global Web Index Survei, sebuah lembaga yang gemar melakukan survey pada tahun 2013 menyatakan, Indonesia adalah negara  tertinggi yang warganya tergila-gila media social. Kegilaan kita pada Facebook, Twitter, Instagram, Path dan sejenisnya jauh mengungguli negara lain.

Penggila socmed Indonesia menyentuh 79,72 persen dari total pengguna internet. Mengalahkan China (67 persen), Malaysia (72 persen), dan Filipina (78 persen). Uniknya kegilaan itu bisa terjadi, meski kecepatan internet Indonesia hanya 2,5 Mbps. Kecepatan yang jauh lebih rendah dari semua negara yang dikalahkan di atas.

Dari seluruh survey itu, satu yang seragam dan menonjol. Orang Indonesia ternyata menggunakan si ponsel pintar masih sebatas hiburan! Meski ada beberapa orang yang menggunakan jejaring social hal-hal produktif (berdagang, berdiskusi, promosi perusahaan, dan sejenisnya), namun angka pengguna semua aplikasi itu untuk entertainment tetaplah lebih dominan.

Keranjingan ngobrol dan ingin eksis di dunia maya, membuat Indonesia selalu masuk lima besar pengguna berbagai media social. Pada tahun 2013 menurut Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, warga Indonesia yang gemar main Facebook mencapai 65 juta orang. Dari angka itu, 33 juta diantaranya terdata sebagai pengguna aktif tiap hari.

Selain keranjingan Facebook, masyarakat kita juga gemar berkicau di Twitter. Di sosmed 140 karakter ini, kita pun masuk tiga  besar dunia. Sementara untuk Path yang lagi naik daun, Indonesia menyumbang 700 ribu pengguna dari total populasi Path yang mencapai 5 juta user.

Awas  Sakaw Internet
Mobile Internet harus diakui melahirkan revolusi dunia. Merevolusi cara kita bermasyarakat, berkomunikasi, bahkan merevolusi keakraban kita di rumah.Revolusi yang melahirkan candu baru. Pernahkan kamu mengalami suasana, dimana kumpul-kumpul bersama teman justru membosankan atau beku beberapa saat, karena masing-masing kita sibuk dengan smartphone di genggaman?

Conecting people kita kerap memplesetkan suasana ini. Kita dekat tapi jauh. Kita berkumpul tapi di saat bersamaan, kita justru terhubung dengan orang-orang di ranah maya. Suasana ambigu atau paradox.

Perkawinan internet, smartphone dan social media-nya benar-benar mengubah gaya hidup kita. Memantik ketagihan yang tidak sehat. Menciptakan orang-orang individualis di tengah rapat. Melahirkan orang-orang yang sibuk sendiri, di tengah moment yang seharusnya akrab.

Lihatlah di ruang tunggu bandara. Di peron-peron stasiun kereta api. Di koridor-koridor mal atau plaza. Kita akan mudah menyaksikan, orang-orang yang secara serempak meng-scrolling layar ponselnya. Terlihat sibuk dan tenggelam dalam dunianya sendiri.

Kondisi ketagihan internet, tidak bisa lepas dari smartphone. Sakaw social media. Candu meng-update status atau keranjingan mengintip status orang lain, akan lebih menjengkelkan jika sudah terkait keselamatan kerja. Pernah melihat sopir angkot akrobat? Mengemudi sambil jari jemari tangan kirinya mengirim pesan via seluler? Atau malah suami sendiri yang menyopir sambil update status? Dua contoh yang saya tulis ini nyata lho.

Saya lebih senang menyebut kondisi sibuknya kita dengan smartphone ini sebagai sakaw ngenet (sakaw internet.red). Sebuah keadaan, dimana kita seolah kosong, hampa bin galau jika semenit saja tidak meng-scroll touchscreen smartphone atau tablet kita. Bila semua pengguna mobile internet tanah air seperti ini, maka Indonesia dalam ancaman bahaya!

Waspadai Dampak Sakaw Internet
Ketagihan adalah hal buruk. Begitu juga ketagihan pada internet, dan social media. Dikutip dari merdeka.com, Trisha Lin, seorang asisten profesor bidang komunikasi di Nanyang Technological University, Singapura,  mendefinisikan kecanduan digital melalui sejumlah gejala: ketidakmampuan mengontrol keinginan, gelisah jika jauh dari smartphone, menurunnya produktivitas belajar atau bekerja, dan merasa tidak bisa lepas dari keinginan mengecek telepon.

Dampak paling nyata dari sakaw internet adalah renggangnya  hubungan social. Membekunya kehangatan di rumah tangga. Sungguh tidak enak rasanya, saat kita tiba di rumah justru menyaksikan anak-anak kita lebih asyik dengan ponselnya dibanding menyambut kita. Sangat menyebalkan, saat waktu kita berduaan dengan pasangan justru ada jeda yang hampa, karena tiba-tiba masuk bbm, line dan beragam notifikasi lain.
Di kantor, kecanduan serupa bisa terjadi. Karyawan-karyawan yang terjebak situasi senyum-senyum sendiri sambil mantengin layar ponsel, jelas harus dicurigai sedang tidak 100 persen bekerja. Atau lebih parah, kerap terjadi konsumen tidak terlayani baik karena para karyawan gara-gara sibuk dengan smartphone mereka.

Kondisi terburuk dari sakaw internet adalah meningkatnya ketidakstabilan emosi dan pikiran. Penulis punya seorang teman yang sehari-hari bekerja sebagai cybertroop seorang politisi. Sesuai namanya, sebagai tentara cyber dia wajib bergelut dengan beragam taktik, strategi membangun pencitraan sang politisi di ranah internet.

Hari-harinya tidak lepas dari lalulintas pesan di jejaring social, blog, situs berita, hingga forum-forum diskusi. Dari tempat tugasnya dia dibekali sejumlah gadget. Mulai dari laptop, tablet hingga smartphone yang jumlahnya lebih dari satu.  Lazimnya cybertroop dia pun memiliki account socmed lebih dari satu. Saat ditanya berapa jumlah account twitternya, dengan pede dia menjawab punya lebih dari 300!

Dampak dari tugasnya itu, teman saya berubah menjadi sangat sensitif. Cenderung asosial, negative thinking, dan gampang marah. Emosinya fluktuatif mengikuti positif negative pesan yang menerpanya di Twitter juga Facebook. Dipaksa sakaw internet oleh tugasnya, membuat dia berubah menjadi sosok yang tidak mengasyikkan.

Penutup
Melihat dampak negatif sakaw internet via smartphone, maka sudah saatnya kita punya kesadaran bersama untuk mengatasinya. Harus ada sebuah gerakan untuk mengatur penggunaan smartphone secara wajar.Sudah waktunya,  kita pakai smartphone seperlunya saja.

Sudah saatnya membangun hubungan social yang hangat dan  nyata. Boleh saja memiliki banyak teman di ranah maya, namun tentu tidak elok jika kita karena ketagihan berteman dengan entah siapa saja di social media memakan korban hilangnya kemesraan di rumah tangga.

Boleh saja keranjingan update status di social media, asal semua pesan yang kita update bersifat positif, dan jauh dari fitnah. Silakan eksis dengan foto-foto selfie di internet, yang penting foto-foto kita santun dan sehat. Kita pasti bisa!(*)



(*) Tulisan ini pernah dilombakan dalam sebuah writing contest
(*) Diizinkan untuk copas, asal sebut sumbernya ya...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun