Sore itu, aku berkunjung ke rumah seorang sahabat karib yang sudah hampir 20 tahun merantau di Jakarta. Sambil menikmati secangkir kopi dan mengisap rokok di halaman rumahnya, aku membuka obrolan dengan menanyakan bagaimana dia memilih Jakarta sebagai tempat merantau. Dengan wajah yang murung, dia mulai menceritakan kisah perjalanannya.
 "Jakarta dulu dan sekarang sangat jauh berbeda," katanya. Aku penasaran dan bertanya, "Apa yang membedakannya? Bagaimana perasaanmu melihat perubahan ini?" Dengan nada serius, dia mulai menjelaskan. "Dulu, udara di Jakarta bersih, tidak seperti sekarang. Kemacetan juga tidak seburuk ini. Jakarta dulu masih nyaman untuk ditinggali," ujarnya. Kami kemudian membahas berbagai masalah yang dihadapi Jakarta saat ini:
1. Kemacetan Lalu Lintas
   Kemacetan sekarang sudah tak tertahankan. Dulu, jalanan masih lengang di beberapa tempat. Sekarang, hampir di setiap sudut kota, kendaraan berjejal,  katanya. Aku mengangguk, membayangkan betapa frustasinya hidup dengan kemacetan setiap hari.
2. Â Polusi Udara
   "Udara dulu lebih bersih. Sekarang, setiap hari kita hirup polusi dari kendaraan dan pabrik. Asap rokok kita ini mungkin lebih sehat dibandingkan udara luar sana," katanya sambil tersenyum pahit. Aku teringat berita-berita tentang kualitas udara Jakarta yang buruk dan berbagai penyakit pernapasan yang mengintai warganya.
3. Banjir
   "Banjir sekarang sudah menjadi langganan tahunan. Dulu, banjir ada, tapi tidak separah sekarang. Pemerintah memang sudah berusaha mengatasinya, tapi rasanya masih kurang," katanya. Kami sama-sama menghela napas, menyadari bahwa banjir adalah masalah yang tidak mudah diatasi.
4. Â Kepadatan Penduduk
   "Dulu, penduduk Jakarta tidak sebanyak sekarang. Sekarang, kota ini sepertinya sudah tidak mampu menampung penduduk yang terus bertambah," ujarnya. Kami berdiskusi tentang bagaimana urbanisasi yang pesat dan kurangnya perencanaan yang matang membuat Jakarta semakin sesak.
 Aku bisa merasakan kegetiran dalam nada bicaranya. Sahabatku ini merindukan Jakarta yang dulu, kota yang memberinya harapan saat pertama kali datang. "Apakah kamu masih melihat harapan untuk Jakarta?" tanyaku. Dia tersenyum tipis. "Masih ada harapan, selama ada kemauan untuk berubah. Pemerintah dan warga harus bekerja sama. Kita harus mulai dari hal kecil, seperti menjaga kebersihan dan tertib berlalu lintas," katanya dengan penuh harap. Obrolan kami sore itu ditutup dengan secangkir kopi yang mulai dingin dan puntung rokok yang bertumpuk di asbak. Meski banyak tantangan yang dihadapi, aku bisa melihat bahwa cinta sahabatku terhadap Jakarta tidak pernah pudar. Harapan untuk Jakarta yang lebih baik masih ada, selama ada usaha dan keinginan untuk berubah.