Dr. Antie Soleman
Dari namanya bisa diketahui, Dr. Antie Soleman (60) bukanlah orang Papua. Ibunya dari Jogja dan ayahnya dari Kemayoran, Jakarta. Dia kelahiran Jakarta. Namun cintanya pada Papua sangat besar. Bersama Yayasan Pijar, untuk pertama kalinyaia datang ke Papua pada tahun 1986. Dia masuk ke Biak, lalu lanjut ke Jayapura dan Wamena. Sejak itu hingga kini melalui berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan, Antie selalu ada di antara masyarakat Papua.
Dari intensitas kehadirannya di pulau terkaya di Indonesia itu, dia sangat hafal berbagai tempat di sana, bahkan tempat-tempat yang sangat terpencil. Dia juga tahu dengan persis kekhasan masing-masing daerah dan suku sebab setiap kali mengunjungi sebuah tempat, dia berusaha memerhatikannya secara detail. Dia juga terbiasa menyusuri sungai dan pengunungan. Badannya kecil tetapi tenaganya besar. Itulah Antie.
Beberapa nama tempat yang sangat lekat dalam ingatannya antara lain Ransiki, Oransbari, Myambouw, Neniyei, Prafi, Warmare, dan Warkopi. Dia juga menyusuri pegunungan Arfak untuk melakukan penelitian tentang kehidupan perempuan Arfak di sekitar Danau Anggi dan Danau Giji. Desa-desa yang dikunjunginya adalah desa Iray, Sururey, Inyoup, Testega, Kobre, dan Dugani.
Sejak tahun 2006-2011 ia lebih banyak di Papua Barat. Dia sempat menetap di Dabra, Abepura dan menyekolahkan anak laki-lakinyadi sana. Namun tempat ini ia tinggalkan karena serangan malaria yang hebat. Serangan di Dabra ini adalah yang kedua dalam tempo 6 bulan. Serangan kedua ini menyebabkan dia harus dirawat di RS Doyo, kabupaten Sentani. Sebelumnya ia sudah mendapat serangan di Merauke.
Menceritakan Papua
Kini, ia merasa semua pengalaman mendampingi masyarakat pedalaman di Papua selama dua puluh lima tahun itu adalah kekayaan yang harus dibagi kepada orang lain. Karena itu ia menggagas mendirikan Pusat Studi Papua (PsP) di Universitas Kristen Indonesia (UKI). PsP ini diluncurkan pada 11 April 2011.
Di matanya, Papua yang begitu mempesona dari berbagai aspek perlu ‘diceritakan’ kepada dunia. “Cara yang kami pilih adalah lewat kajian-kajian ilmiah dan program-program pemberdayaan, baik yang bersifat advokatif maupun edukatif,” ujarnya.
Untuk itu Antie dan kawan-kawan menyelenggarakan berbagai event, baik yang murni akademik maupun yang non-akademik yang sifatnya mewadahi semangat siapa saja mengenai apa saja tentang Papua. Sebagai contoh, begitu PsP berdiri, mereka segera menggelar seminar tentang “Papua dan Pembangunan”. PsP juga ikut menyumbangkan pikiran dalam usulan draft RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Beberapa penelitian pun sudah dilakukan.
Pengalaman Antie di pedalaman sangat membantu dalam merumuskan modul “Healthy Village”. Dia dengan mudah bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi dari dalam honay di Pegunungan Tengah, di rumah-rumah Kaki Seribu di Pegunungan Arfak, atau di rumah-rumah pohon di wilayah Papua Selatan. Ini sangat berguna untuk menjabarkan program-program kesehatan dan tenaga kesehatan seperti apa yang cocok di sana.
Dari aneka pengalamannya berada di tengah masyarakat Papua yang miskin, terpinggirkan dan terabaikan, Antie menyimpulkan bahwa di tempat itu pemerintahan tidak hadir.Di sana terjadi pembiaran, ketidakadilan dan pembodohan yang massif. Juga terjadi pelanggaran hak-hak dasar yang sangat kasat mata.
Di bidang kesehatan dia mencontohkan, sampai hari ini di Papua, ibu melahirkan masih dengan cara “tradisional” dalam arti tidak ada pendampingan yang membangun dan menyelamatkan. Di Pegunungan Arfak ungkap Antie memberi contoh,di saatseorang ibu akan melahirkan, dia akan pergi sendiri ke sebuah gubuk yang telah disiapkannya. Tidak ada teman. Di sana ia berjuang sendirian untuk melahirkan. Dua minggu kemudian dia akan keluar menggendong bayinya pulang ke kampung. Atau dia pulang sendiri, artinya bayinya mati dan dia telah kuburkan.
Yang menyedihkan lanjutnya, kalau bayi lahir kembar, maka sang ibu harus mengambil keputusan untuk membunuh yang satu lalu membawa pulang yang lain. Ini mengingat “pesan” bahwa salah satu dari saudara kembar sebetulnya adalah musuh yang akan mencelakai sesama kembarnya. “Saya baru sadar bahwa di Papua, anak kembar ternyata langka. Sebenarnya hal ini bisa dihindari bila ada petugas kesehatan yang datang dan memberikan pencerahan. Bayangkan! Apa yang terjadi jika ibu yang melahirkan seorang diri itu terlalu banyak mengeluarkan darah?Dia bisa mati di gubuk itu.”
Hal yang sama dialami oleh ibu yang akan melahirkan di Mamberamo. Setelah terasa akan melahirkan, seorang ibu akan turun ke sungai, berdiri di atas batu yang kokoh, dan berpegangan pada pohon yang tumbuh di pinggiran sungai. Ketika pembukaan rahim mulai dan darah menetes, buaya-buaya sudah menanti. Dan begitu anak keluar, ia harus segera meraihnya. Setelah menaruhnya di tepian, ia memotong sendiri placenta. “Dengan cara begini, kematian ibu dan anak adalah tinggi sekali di Papua,” tegasnya.
Program Sederhana
Menurut Antie, yang dibutuhkan orang Papua adalah pendampingan. Mereka perlu diberi pendidikan dasar secara menyeluruh, dengan guru yang berkualitas dan buku-buku yang tersedia secara cukup. “Tidak ada alasan tentang pembiayaan. Kekayaan Papua cukup bahkan berlebih untuk membiayai 1 juta penduduk asli. Berikan kepada mereka pelayanan kesehatan dan pendidikan,” tegasnya.
Antie yakin, program semacam ini akan berhasil meretas masa depan Papua yang gemilang. Ia lalu menunjuk hasil yang dicapai Prof. Yohanes Surya yang membawa puluhan anak-anak Papua menyabet medali-medali bergengsi di berbagai forum bergengsi tingkat internasional. “Mereka hanya butuh makanan yang baik, dan guru yang berkualitas. Tapi tidak ada kepedulian dari Pemerintah. Warga dibiarkan saja begitu selama berpuluh-puluh tahun,” ungkap Antie prihatin.
Yang menjangkau mereka di gunung-gunung dan memperkenalkan peradaban adalah kaummisionaris. “Kalau pemerintah masih punya niat baik, pemerintah bisa bergabung dengan para misionaris itu mengunjungi rakyatnya. Tapi itu tidak dilakukan! Apa artinya dana missi dibandingkan dengan uang pemerintah yang bermilyard-milyard bahkan bertrilyun itu dalam program Otsus? Para misionaris itu datang hanya dengan buku dan obat,” urainya masgul.
Dari kenyataan yang ada Antie menilai, akar masalah ketertinggalan orang Papua bukan karena kemiskinan atau kebodohan, tetapi penelantaran, pembiaran. Mereka sama sekali tidak miskin karena makanan cukup banyak dan diperoleh dengan mudah. “Mereka juga bukan orang bodoh, buktinya belajar satu tahun saja sudah bisa melejit dapat medali Matematika, Kimia, dan Fisika. Memang mereka punya hambatan dalam hal ilmu, tapi itu karena tidak ada sekolah di tempat mereka tinggal. Di wilayah-wilayah pedalaman yang saya sempat tinggali, bahkan tidak ada apa-apa! Di Dabra, tidak ada jalan, tidak ada listrik, tidak signal, tidak ada …, tidak ada. Tidak ada, tidak ada! Masyarakat masih nomaden. Tapi heran, sudah ada pemekaran di mana-mana,” ujar jebolan S2 Filsafat Amerika UI ini.
Menurutnya, dalam keadaan seperti di atas, Gereja menjadi satu-satunya agen. Mengapa? Karena Gereja-lah yang sanggup mengumpulkan orang, membuka hati, dan mengajarkan sesuatu tentang hidup. Bahkan kaum perempuan belajar banyak dari pertemuan-pertemuan setelah kebaktian seperti bagaimana merebus makanan, baca-tulis, dan bicara dengan sub-suku lain. Tapi aneh, Pemerintah tidak pernah menitipkan apa-apa kepada gereja. Bantuan mungkin mengucur kepada Pesantren, tapi tidak kepada Gereja. Pesantren memberikan pelayanan kepada penduduk migran, bukan untuk orang asli Papua.
Ancaman Kepunahan
Menyangkut Freeport, Antie menyarankan agar pemerintah Indonesia bersikap jujur dan terbuka. “Beberkan apa yang terjadi di masa lalu. Tinjau ulang perjanjian dan audit secara benar, dan utamakan kemanusiaan,” sarannya.
Menurutnya, Freeport sudah mengambil terlalu banyak, sementara hasil penambangan dan pembagian keuntungannya tidak pernah dilaporkan secara terbuka baik di DPRP, DPR RI, maupun di forum-forum lain. Freeport menjadi wilayah yang sangat tertutup, dijagai secara luar biasa, tanpa alasan yang bisa secara terbuka didiskusikan.
Masih Antie, kalau Indonesia merasa Papua adalah bagian dari dirinya, maka sudah seharusnya Jakarta memikirkan ancaman kepunahan yang membayangi orang-orang suku Amungme dan Kamoro. Sebab partikel-partikel perusak yang ke luar dari lubang-lubang tambang mengancam suku-suku tersebut. Pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka sudah wajib diperhatikan.
Pencemaran Freeport sudah bukan rahasia lagi. “Kalautidak ada penanggulangan dari Jakarta, maka secara adat orang Papua berhak menutup Freeport dan mengusir investor atau management itu pulang. Masih banyak investor lain yang tidak menindas dan memperbudak (bahkan membunuh masyarakat dengan polusinya) bisa diajak kerjasama secara adil,” tandas doktor Etika Sosial dari Satya Wacana, Salatiga.