Resensi Buku tentang Papua
Membangun Papua dari Dalam
Meski realitas mempertontonkan secara kasat mata “nasib” terbelakang masih sangat mencengkeram orang Papua, namun Papua, negeri Cendrawasih beserta isinya itu selalu saja menarik perhatian banyak pihak. Atau jangan-jangan, daya pikat itu justru terletak pada kenyataan keterbelakangan tersebut? Kalau jawabannya memberi afirmasi atas pertanyaan itu, maka pertanyaan lanjutan yang bisa muncul adalah, mengapa demikian, sebab daerah miskin milik Indonesia bukan hanya Papua? Apa yang “istimewa” dengan Papua?
Jawabannya, karena alam Papua sangat kaya—ibarat berkelimpahan dengan susu dan madu—namun anugerah alam semacam itu seakan-akan tidak pernah berpihak kepada orang Papua sendiri. Sebagai contoh, siapa yang tidak tahu Free Port dengan berbagai hasil tambangnya? Tapi nasib orang Papua tetap saja mengenaskan. Bahkan tidak jarang di sana terjadi kematian massal akibat kelaparan seperti tragedi Yahukimo beberapa tahun lalu dan sejumlah tragedi lain.
Kematian mereka ibarat kematian ayam dalam lumbung. Sang ayam hanya bisa menonton dan tahu adanya makanan enak di sekitarnya namun sama sekali tidak bisa meraihnya. Kenyataan “irasional” ini kemudian memunculkan berbagai “pemberontakan” yang acapkali berujung atau berbau separatisme yang oleh Pemerintah Indonesia selalu dinilai layak atau bahkan wajib ditumpas. Dan tampaknya, “solusi” penumpasan inilah yang sampai hari ini masih menjadi senjata utama Pemerintah dalam menyelesaikan “pemberontakan” yang kerap meletus di sana.
Bangun dari Dalam
Pendekatan teritorial yang yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah dalam membangun Papua harus ditinggalkan. Sejauh ini, Papua hanya dipertahankan secara kewilayahan sambil secara sadar mengabaikan kesejahteraan penduduknya. Karena itu, meski terkesan lambat, tidak ada cara lain yang perlu Pemerintah selain mengubah paradigma atau pendekatan dalam membangun atau memberdayakan orang Papua. Papua harus dibangun dari dalam, berangkat dari potensi lokal dan SDM-nya. Setiap orang yang datang ke sana, termasuk LSM, komunitas agama dan pemerintah harus berpikir untuk memulai pembangunan dari potensi lokal yang dikembangkan bersama masyarakat lokal pula. Artinya, setiap orang yang datang tidak boleh merasa sebagai sinter klas atau pihak yang paling tahu lalu membawa bahkan “memaksakan” segala sesuatu yang baru untuk diikuti atau diadopsi oleh masyarakat setempat. Sebab, bisa saja maksud hati mau menolong, tapi kalau salah strategi, maka bantuan itu akan mubazir dan bahkan menjadi sumber masalah. Harus benar-benar disadari bahwa orang Papua harus menjadi tuan rumah dan pemilik isi perut bumi mereka.
Dengan kata lain, yang perlu dilakukan adalah bantulah mereka mengenal potensi yang mereka miliki lalu ajak mereka bangkit dengan potensi yang mereka miliki itu. Setelah itu secara perlahan namun pasti lakukan berbagai improvisasi agar potensi yang ada kian produktif. Sebab kalau sesuatu yang ditawarkan itu bersifat asing, ia hanya akan menempel di permukaan dan selekas mungkin akan terlepas dan hilang tanpa bekas.
Papua memiliki aneka keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Semua ini bisa menjadi kekuatan lokal dalam membangun Papua. Noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Sebuah Noken dihargai antara Rp 15.000 - 100.000. Kalau noken dan berbagai acesoris lain dikembangkan secara serius, tentu saja akan meningkatkan pendapatan penduduk. Sayangnya, pemerintah pun masih abai terhadap hal ini.
Dengan demikian, para pendatang pemberdaya tidak perlu dengan gagah menawarkan atau “memaksakan” pembuatan tas ransel atau jenis tas lainnya. Yang masyarakat perlukan hanyalah bagaimana mereka bisa menghasilkan noken secara lebih produktif dengan kualitas yang baik dan karena itu memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Buku ini secara terang benderang menunjukkan deskripsi nyata terhadap hidup dan kehidupan orang Moni, salah satu suku di Tanah Papua yang tinggal di distrik Sugapa, Jogatapa, Kabupaten Paniaii, Provinsi Papua. Buku yang berisi hasil penelitian PKPM Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ini dengan jelas menunjukkan potensi, peluang dan tantangan yang menyertai kehidupan orang Moni. Semua itu memberikan harapan untuk sebuah Papua yang jauh lebih baik ke depan.
Tanahku, Ibuku
Orang Moni memiliki penghargaan yang besar terhadap tanah. Hal ini terlihat dari sistem kepemilikan tanah di suku ini. Bagi mereka, tanah ibarat seorang ibu atau mama. Mai go I ama, demikian sebuah ungkapan dalam bahasa Moni yang berarti tanah adalah mama kita. Tanah dianggap sebagai mama yang melahirkan dan memberi hidup bagi seseorang. Hal ini mengandung makna bahwa orang Moni menganggap tanah sebagai sumber kehidupan mereka, sumber segala sesuatu yang bisa menyuburkan keberadaan mereka. Orang Moni juga menganggap hubungan mereka secara personal dan emosional sangat dekat dengan tanah tempat mereka hidup. Orang Moni menganggap tanahbernilai sangat tinggi, bahkan jauh di luar hitungan ekonomis, karena itulah tanah tidak bisa diperjualbelikan.
Keyakinan ini secara implisit menunjukkan wawasan lingkungan mereka sangat baik. Hanya memang, di satu sisi pemahaman semacam itu sangat positif namun di sisi lain bisa menimbulkan “persoalan” tersendiri. Mengapa? Akibat semangat mempertahankan tanah yang nilainya disejajarkan dengan nilai seorang ibu itu, mereka tidak segan-segan mempertaruhkan nyawa. Persis di sini soalnya. Kepemilikan tanah masih sangat “tradisonal”, belum ada hukum yang mengaturnya dengan baik. Pada sisi ini negara perlu masuk namun harus dengan hat-hati dan tetap mengindahkan sistem yang mereka anut selama ini.
Pada umumnya, di Papua, tanah dimiliki secara komunal. Di sistrik Sugapa misalnya belum ada Kantor Badan Pertanahan Nasional yang bisa menampung pendaftaran tanah-tanah masyarakat adat. Saling klaim di antara fam di desa Bilogai dan desa Jogatapa terjadi sejak zaman nenek moyang masih terjadi hingga saat ini dan kerap kali menjadi sumber konflik horisontal. Salah satu pemicu utamanya adalah kebiasaan hidup berpindah tempat.
Tanah yang pernah ditinggali atau dihuni sebuah fam dalam hidup berpindah-pindah, tetap diklaim sebagai tanah milik fam itu. Karena itu, ketika pada suatu masa beberapa anggota fam tersebut datang kembali ke tempat yang pernah ditinggali, mereka tetap merasa berhak memiliki kembali tanah tersebut. Menurut istilah suku Moni, di mana pun tete moyang sebuah fam pernah melepaskan noken, maka di semua tempat itulah tanah milik fam tersebut berada. Melanggar batas tanah berarti perang pecah.
Seperti di daerah lain, bagi orang Moni, kepemilikan terhadap sebidang tanah menunjukkan keberadaan mereka. Tidak mengherankan kalau Mansfred Sondegau, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa, Distrik Sugapa dengan tegas mengatakan, “Kami, orang Moni, punya tanah dan tanah ini milik kami. Dari nenek moyang sampai keturunan nanti, tanah ini tetap ada dan kami juga ada. Tidak ada manusia yang bisa mengaku sebagai orang Moni kalau dia tidak ada tanah di wilayah hidup kami ini….” (halaman 127).
Penelitian yang menghasilkan buku ini melibatkan delapan orang tim inti dibantu tim enumerator sensus sebanyak lima orang dan delapan asisten lokal. Tim menerapkan metodekualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan kultural dan partisipatif. Prinsip pendekatan semacam ini mengharuskan peneliti untuk tinggal di antara masyarakat, dan dari situ mereka dapat memahami budaya setempat dari tangan pertama. Penelitian ini merupakan bagian dari pre-feasibilitystudy PT Mineserve International.
Sebelum buku ini, PKPM Universitas Katolik Atma Jaya dengan tim yang sama telah menghasilkan sebuah buku tentang suku Mee. Dengan kata lain, tim ini sudah cukup makan asam garam menyangkut berbagai hal di tanah Papua. Karena itu merupakan sebuah kelemahan buku ini tatkala tim tidak memberikan rekomendasi apa pun menyangkut penanganan berbagai persoalan di Papua. Sebenarnya, metode yang tim penulis gunakan dalam penelitian sangat memungkinkan mereka merekam dengan jelas denyut nadi hidup dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, mereka pun memiliki catatan-catatan penting dan kritis menyangkut penanganan Papua sekarang dan ke depan.
Untuk itu penulis menyarankan kepada tim ini dan mungkin tim-tim lain yang melakukan penelitian di Papua agar berusaha memberi rekomendasi. Sebab secara intelektual-akademik, seorang peneliti tidak memiliki tujuan politis apa pun dan karenanya ia pasti memberikan rekomendasi secara jujur dan obyektif. Dan satu hal lagi, mestinya buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris agar semakin banyak orang yang mengerti kondisi real beserta tantangan dan harapan yang dikandung oleh tanah Papua dan masyarakatnya. Selamat membaca!
Judul Buku: Budaya dan Tanah Adat Orang Moni di Distrik Sugapa, Papua
Penulis: George Martin Sirait, dkk
Penerbit: PKPM Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Tebal Buku: XVII+204 halaman