Mama dan Papa memiliki tiga orang anak perempuan. Aku anak pertama. Adikku yang kedua bernama Inneke dan yang ketiga bernama Astrid. Kedua saudaraku terlahir dengan wajah yang mirip dan cantik. Mereka memiliki hidung yang mancung dan dagu yang agak lancip. Tubuh mereka juga tinggi dan seksi. Meskipun mereka kini duduk di bangku SMP, namun kecantikan mereka sudah terlihat.
Namaku Kiannette. Meskipun kini sudah duduk di kelas tiga SMA. Namun tubuhku masih terlihat kecil. Tinggiku hanya 150 cm. Tubuhku tidak seksi seperti kedua saudaraku. Kulitku cokelat seperti Mama orang jawa tulen. Hidungku mancung ke dalam alias pesek. Bibirku tipis. Apalagi Papa keturunan Tionghoa, lengkap sudah musibah dalam hidupku, dengan memiliki mata yang sipit. Beda dengan kedua saudara perempuanku yang memiliki mata yang besar seperti punya Mama.
Teman-teman sekolahku selalu mengejekku. Mereka mengatakan bahwa aku anak malang, tidak cantik seperti kedua saudaraku. Aku seperti si buruk rupa, pembawa sial karena siapapun yang mendekatiku akan mendapatkan musibah. Aku benar-benar kecewa, mengapa aku diciptakan seperti ini. Sejak aku kecil, aku selalu mendapatkan penghinaan dari teman-teman sekolahku. Sikap mereka menyebabkan aku menjadi anak yang minder. Aku jadi kurang percaya diri.
Suatu hari, Mama mengajakku ngomong berdua di ruang tamu. Ia kasihan dengan keadaanku. “Kian, Mama mau bicara denganmu.”
Ku tatap wajah Mama yang serius. “Ada apa Ma?”
“Berjanjilah pada Mama kau tidak akan marah.” Mama berbicara sambil mengangkat kedua jarinya.
Aku mengangkat jariku mengikuti gaya Mama. “Yup, aku tidak akan marah.”
Mama memelukku. “Mama sedih melihat kamu selalu murung dengan kondisimu yang sekarang. Mama punya usul.” Mama terdiam sejenak sambil menarik nafas panjang. “Bagaimana kalau kamu operasi plastik saja. Mama 100% akan mendukungmu?”
Aku merasakan tubuhku mengejang saat itu. Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Sumpah mati aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan operasi plastik. Ku tatap mata Mama dengan tatapan yang kosong.
“Mama!” aku hanya bisa menyebut nama itu. Aku tidak menyangka bahwa Mama yang telah melahirkanku dan membesarku, kini memberikan ide yang paling gila. Ternyata Mama juga tidak nyaman dengan anaknya yang berwajah monster. Oh Tuhan, kepada siapa lagi aku mengadu. Ternyata mereka yang melahirkanku saja begitu risih dengan keadaanku. Aku berdiri. Kutatap mata Mama dengan perasaan yang hancur. Air mataku kini mengalir dengan derasnya.
“Tidak. Tidaaaaaaak!” Aku berteriak kencang sambil berlari ke kamarku. Di atas bantal berwarna kuning, aku menumpahkan semua rasa sakit hati dan kekecewaanku.
Operasi plastik?
Operasi Plastik?
********
Perkataan Mama selalu membuatku tidak nyaman. Meskipun semuanya telah berlalu, hampir setahun.
Kini aku telah lulus ujian akhir SMA.
Sekolahku mengadakan pesta dansa yang harus dihadiri oleh siswa yang lulus dengan membawa pasangannya masing-masing. Sepertinya kini aku menerima pukulan kedua setelah mama memintaku operasi plastik. Syarat itu terlalu berat bagiku. Berarti aku tidak bisa mengikuti acara ini. Siapa yang mau menjadi pendampingku? Meskipun aku juara umum di sekolah, kalau wajahku buruk rupa, siapa yang mau menggandeng aku?
“Kian.” Aku mendengar Rangga memanggilku. Dia adalah anak yang jahil di kelasku. Aku menatapnya.
“Kamu ke pesta dansa dengan siapa? Siapa yang mau berdansa dengan anak berwajah musibah ini? Apakah dengan Pak Damian tukang kebun kita hahaha.” Kata-kata Rangga yang sangat menghinaku, membuat semua teman-teman di kelasku tertawa.
“Sial” Aku bicara di dalam hatiku.
Air mataku kini sudah tidak bisa dibendung lagi. Aku tidak dapat membalas perbuatannya. Aku mengambil tasku dan berlari keluar kelas.
Aku menghibur diriku dengan berjalan-jalan ke toko buku terbesar di Jakarta. Menghabiskan waktu dan kemudian pulang dengan berjalan kaki, berhubung rumahku dekat dengan toko buku tersebut.
Aku berjalan melewati rumah-rumah yang mewah yang ada di kompleks tempatku tinggalku, dengan perasaan yang masih dongkol. Tanpa kusadari ada seekor anjing pudel putih yang mengikutiku dari belakang. Anjing itu kini mendekati kakiku dan menjilat sepatuku. Hatiku sangat gembira, seekor anjing cantik ada di hadapanku. Aku menggendongnya. Kami duduk bersama di bawah sebuah pohon.
“Hai nama kamu siapa?” Aku seperti orang bodoh bertanya kepada seekor anjing yang tidak bisa bicara dan tidak mengerti dengan pertanyaanku.
“Anjing yang lucu. Di mana rumahmu?” Anjing itu mengonggong dua tiga kali. Kemudian tiba-tiba terdiam. Ketika aku sadar, anjing manis itu sudah tidur di pangkuanku.
“Aku rasa kau adalah anjing yang paling bahagia. Bulumu putih bersih. Kukumu juga terawat dengan baik. Tubuhmu harum. Pasti pemiliknya adalah seseorang yang sangat baik hati.” Aku berbicara sambil mengelus-ngelus bulunya yang putih bersih.
Tiba-tiba perasaan sedih menghinggapi perasaanku. “Kau beruntung mendapatkan orang yang mencintaimu. Sedangkan aku, teman-teman di sekolah selalu menghinaku sejak kecil. Begitu pula dengan kedua orangtua dan saudaraku. Mereka tidak menginginkan aku. Bahkan Mama pernah memintaku untuk operasi plastik.” semua rasa kecewa, aku ungkapkan pada anjing ini. Air mataku masih terus memgalir dengan derasnya.
“Tiga hari lagi pesta dansa di sekolah. Aku satu-satunya siswa yang tidak akan hadir. Syaratnya terlalu berat. Aku harus membawa pasanganku. Siapa yang mau menggandeng tangan gadis berwajah musibah seperti aku?”
Aku sudah menceritakan seluruh kekecewaanku kepada si manis ini. Kini aku merasa bebas. Hatiku yang sendu kini sedikit membaik.
Aku duduk dengan santai sambil terus mengelus bulu anjing cantik ini. Karena nyaman, dia semakin merapat ke tubuhku. Angin sepoi-sepoi yang mengelus wajahku dengan lembut membuatku tertidur dengan lelap.
*****
Tidurku sangat pulas. Aku tersadar dari tidurku karena dibangunkan oleh seorang pria. Anjing yang tidur dipangkuanku kini telah berada dalam pelukannya.
“Hai. Kamu sudah bangun?” Ucapnya dengan santai.
Aku mengucak mataku. Apakah aku sedang bermimpi? Tanyaku dalam hati. Makhluk sempurna ini mengapa ada di hadapanku? Wajahnya sangat tampan. Matanya bulat. Rahangnya kekar. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. L Tubuhnya atlestis dan tingginya kira-kira 180 cm. Siapapun yang melihatnya pasti akan memujanya, sama seperti aku.
Makhluk tampan ini memegang pundakku. “Hai, bangun. Tidak baik seorang gadis tidur di bawah pohon di waktu maghrib. Pamali kata orang.” ucapnya lagi, menyadarkanku yang terlihat bengong.
“Ups, maaf aku sudah merepotkanmu.” Sikapku dengan agak malu-malu.
“Tidak apa-apa. Justru aku yang harus mengucapkan terima kasih karena kamu sudah menjaga anjingku. Pada hal sejak siang tadi aku mencarinya. Ternyata dia sedang tidur di pangkuanmu.” Ia terdiam dan menatapku sambil tersenyum.
“Sama-sama, aku suka dengan anjing kamu. Namanya?” Aku bertanya supaya menghilangkan perasaan gugup yang membuatku salah tingkah.
“Namanya Molly. Sejak aku pindah ke Indonesia bersama kedua orangtuaku. Mereka membelikanku seekor anjing yang manis dan sangat baik. Jarang sekali ia dekat dengan orang asing. Tetapi denganmu, beda, bahkan ia sampai tidur di pangkuanmu. Berarti kamu adalah wanita yang baik hati dan istimewa.”
Whaaat? Jika dia tidak berdiri di depanku, aku pasti sudah lompat-lompat bahagia. Hatiku berdetak dengan kencang. Wajahku merah karena malu. Seumur hidupku ini pertama kalinya aku mendapatkan pujian dari seorang pria tampan.
“Molly, Nama yang manis.” Ucapku sambil mengelus bulu anjingnya. Aku menyembunyikan kegugupanku dengan mengalihkan perhatiannya.
“Aku sampai lupa memperkenalkan diriku. Namaku, Alexander Dion. Ayahku orang Indonesia dan ibuku orang Inggris. Kami sudah delapan tahun tinggal di Indonesia. Aku kuliah, semester tiga dan mengambil jurusan ekonomi. Baru beberapa bulan kami pindah di kompleks ini.” Makhluk manis itu memperkenalkan dirinya dengan sangat sopan dan komplit. Ia mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan suasana hati yang berwarna-warni.
“Namaku, Kiannette. Beberapa hari yang lalu aku baru lulus dari bangku SMA. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku keturunan Tionghoa dan ibuku Indonesia asli. Rumahku beberapa blok dari sini, Nomor 81. Senang sekali bertemu denganmu dan anjing manismu.” Ucapku dengan lancar.
Dia tersenyum. “Sudah malam. Lebih baik kamu pulang saja. Kapan-kapan kita akan bertemu lagi.” Ucap Alexander dengan sopan.
“Okey, aku harus pulang.” Aku berpamitan dengan Alexander. Tidak lupa dengan anjing manis yang telah mempertemukan aku dengan pria sempurna ini.
Ehm, tubuhnya kurus dan tinggi. Aku berdiri di hadapannya seperti seorang anak SD yang sedang meminta uang jajan kepada papanya.
Aku pulang ke rumah dengan hati yang sangat gembira. Perasaan dihargai dan dihormati dengan tulus sebagai manusia, baru pertama kali kurasakan. Dan peristiwa ini membangkitkan rasa percaya diriku.
*******
Hari ini adalah hari yang paling menegangkan. Malam ini pesta dansa di sekolah dilaksanakan. Semua siswa diharuskan untuk hadir dengan membawa pasangannya masing-masing.
Aku bangun di pagi hari dengan hati yang diliputi kebahagiaan. Hatiku masih bersorak gembira dengan peristiwa dua hari yang lalu, di mana aku bertemu dengan Alexander. Pertemuan itu sangat berpengaruh bagiku. Membuatku tidak terlalu sedih dengan pesta mewah yang dilaksanakan sekolah bagi para lulusan.
“Selamat pagi semuanya.” Aku keluar dari kamar dengan wajah yang bahagia. Ku kecup pipi Mama, Papa dan kedua saudaraku yang menungguku di meja makan untuk sarapan bersama.
“Selamat pagi juga.” Mama membalas ucapan dengan senyuman di kulum.
Wajah mereka penuh dengan tanda tanya karena kaget dengan sikapku. Mereka mengira bahwa aku pasti terlihat murung. Apa yang membuatku menjadi seperti ini. Sudah tiga hari ini aku berbeda. Aku lebih ceria dan tidak cepat tersinggung. Mereka hanya bisa tersenyum namun tidak berani bertanya.
Papa menyodorkanku sebuah piring. Adikku yang kedua memberikan aku sendok dan garpu. Adikku yang ketiga memberikan aku nasi goreng. Dan Mama, orang yang paling berbahagia dengan perubahanku. Ia mengambil telur mata sapi goreng spesial untukku. Tidak lupa mengatakan. “Untuk anak pertama Mama yang paling Mama sayangi.” Semua yang hadir tersenyum bahagia. Papa juga menuangkan aku sari buah jeruk. “Untuk anak pertama Papa yang hebat, pintar dan baik hati.”
Kedua adikku bangun dari bangku masing-masing. Mereka berdua berdiri di samping kiri dan kananku. Mereka mengecup pipiku secara berbarengan. “Untuk kakak tercinta yang paling baik, paling manis dan paling imut. Kami semua menyayangimu.”
Karena terharu dengan semua yang terjadi di pagi ini, aku tidak dapat membendung air mataku. Akupun menangis. “Maafkan aku karena telah mengecewakan kalian selama ini. Aku janji, aku harus bahagia dengan semua yang Tuhan sudah berikan buatku. Aku juga sangat mencintai kalian!”
Kami semua tertawa dengan penuh sukacita dan melanjutkan sarapan yang tertunda.
Kami baru selesai sarapan ketika bel pintu rumah kami berbunyi. Adikku Astrid membuka pintu. Dia sangat kaget dengan wajah tampan yang ada di hadapannya. Terlalu sempuna.
“Hallo, apakah Kiannette ada?”
Astrid menjawab dengan agak terbata-bata. “Mbak Kian ada .... Silahkan masuk!”
Laki-laki itu berjalan ke ruang tamu langsung duduk di sofa biru.
“Siapa Astrid?” Papa bertanya sambil membaca koran.
“Teman Mbak Kian, Pa!” Astrid menjawab sambil berjalan ke belakang. Ia memberitahukan kepada orangtuaku dan Inneke adikku, bahwa pria yang ada di depan adalah pria paling tampan yang pernah ia temui.
“Mbak Kian ada tamu tuh. Mbak siapa tuh? Ehm tampan banget!”
“Oya, teman aku? Siapa?” Aku bertanya kembali karena sama seperti mereka, aku pun tidak percaya dengan tamu tampan yang ada di ruang tamu.
Pertanyaan silih berganti di kepalaku. Untuk menemukan jawabannya aku harus ruang tamu.
Papa, Mama dan kedua adikku menyusulku dari belakang.
Aku benar-benar terkejut. Alexander ada di rumahku. Ya Tuhan, ini benar-benar keajaiaban. Dia terlihat lebih gagah dengan kemeja putihnya dibandingkan kemarin saat dia memakai tshirt dan celana pendek. "Alexander." Ucapku sambil melihat senyuman manisnya. "Ada angin apa kamu datang pagi-pagi ke rumahku?"
“Selamat pagi Kian. Aku sengaja datang menjemput kamu untuk jalan-jalan.” Alexander menatapku dengan tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman yang paling manis juga. Ia menatap orangtuaku dengan hormat “Kalau orangtuamu mengizinkan!” Alexander berbicara sambil menatap hormat kepada Papa dan Mamaku.
“Hampir lupa, akan kuperkenalkan keluargaku kepadamu. Papa, Mama, adikku Inneke dan Astrid. Dan ….. ini Alexander Dion.”
Mereka semua berjabat tangan. Kulihat senyuman kebahagiaan di wajah Papa dan Mama. Terutama Mama, kulihat air matanya sudah mengenang di pelupuk matanya.
“Kami setuju saja. Terserah Kian?” Papa menanatapku dengan bahagia.
“Ok, yuk kita pergi.” Aku langsung mengajak Alexander untuk pergi.
“Permisi om, tante, saya akan menjaga Kian dan akan membawanya kembali ke rumah ini dalam keadaan sempurna.”
Kami berdua berjalan menuju mobil sedan hitam yang di parkir di depan rumahku. Aku menatap kedua orangtuaku, kulihat Mama menyeka airmatanya. Papaku tersenyum sambil mengangguk mendukungku. Kedua adikku, mereka mengangkat ke jempolnya masing-masing, memuji kehebatanku bisa bersama-sama dengan pria tampan ini.
******
Alexander membawaku ke sebuah bangunan megah dan mewah. Kami berjalan menuju lift yang berhenti di lantai delapan. Aku membaca di depan resepsionis, bertuliskan Beauty n Skyn international Center. Tanganku di pegang oleh Alexander dan membawaku masuk ke sebuah ruangan kantor yang lux dan elegan.
“Hai Mom!” Alexander memanggil wanita tinggi layaknya seorang peragawati. Dan wajahnya sangat cantik dengan sebutan Mom. Aku melihat Alex mencium pipi mamanya dan memeluknya dengan erat. Wanita itu membalasnya dengan penuh kasih sayang.
“Mom, this is Kiannette. My friend. Did I told you about her yesterday?”
“Yes!” Wanita itu menatapku. Sorot matanya sangat lembut. Aku merasakan dia menerimaku dengan tulus. Wanita yang ramah.
“Hai, Im Vanessa.” Ia menyodorkan tangannya dan aku menjabat tangannya.
“Im Kiannette. Nice to meet you.” Aku bicara dengan mata yang masih menatap kagum kepadanya.
“Alexander meminta saya untuk mendandani kamu. Karena nanti malam kamu ada acara ya?” Mama Alexander berbicara bahasa Indonesia dengan sangat fasih.
Aku menatap Alexander dengan tanda tanya yang besar.
“Nanti kita bicara. Sekarang ikuti Mama!”
Aku menuruti saran Alexander dengan tanda tanya besar dikepalaku.
*******
Pesta dansa di sekolah telah dimulai. Semua sudah hadir dengan membawa pasangannya.
Aku sedikit gugup berada di mobil Alexander. Alexander sudah tahu semuanya, tanpa aku sadari bahwa pada waktu aku curhat dengan anjingnya, Alexander telah berdiri di balik pohon itu. Ia mendengar semua kisah sedih yang di hadapi oleh gadis malang ini.
Awalnya Alexander kasihan mendengar kisahku. Namun ketika ia berbicara denganku beberapa hari yang lalu, ia terpesona dengan wajahku yang unik dan lucu. Ia sangat yakin bahwa kecantikan dari dalam itulah yang paling penting. Ia sudah terlalu bosan dengan wajah-wajah cantik dan sempurna, namun hatinya tidak cantik.
Sejak hari itu Alexander bertekad akan membuatku menjadi wanita yang paling bahagia. Ia minta bantuan Mamanya untuk menonjolkan kecantikan yang aku miliki. Ia yakin bahwa aku punya kelebihan sendiri. Tuhan tidak pernah salah menciptakan kita. Di matanya kita adalah ciptaanNya yang paling sempurna. Dan anugerah terindah buatku Alexander akan menjadi pendampingku di pesta dansa.
Alexander membimbingku turun dari mobil. Dia semakin tampan dengan kemeja biru yang dibalut dengan jas hitam beserta celana bahan berwarna hitam juga.
“Malam ini, aku akan membuatmu menjadi seorang putri di pesta dansa itu. Jangan pernah merasa takut atau minder, ada aku di sampingmu.” Ucapnya dengan sungguh-sungguh. Ah mimpi apa aku semalam. Membayangkan dalam mimpi saja aku tidak berani. Tapi sekarang semuanya nyata.
“Thanks Alex.” Aku menyambut tangan Alexander yang siap menggandengku.
Kami adalah tamu terakhir yang melewati pintu utama. Pada awalnya semua mata menatap dengan sangat kagum kepada Alexander. Dia seperti seorang Pangeran yang paling sempurna sekaligus paling tampan. Rasa kaget mereka semakin bertambah ketika mereka melihat wanita yang ia gandeng.
Benar kata Alexander. Hari ini aku seperti seorang Putri mungil dan sangat manis. Dengan gaun sebatas lutut berwarna kuning gading. Dandananku sangat pas, membuat semua yang hadir hampir stop jantung karena kaget melihat perubahanku. Apalagi kini aku berjalan dengan seorang pangeran, itu panggilan kesayanganku yang hanya tersimpan di hatiku.
Dengan senyuman yang nakal dan menggoda, aku melihat teman-temanku yang selalu menghinaku sampai membuatku menangis.
“Kau paling cantik. Wajahmu paling sempurna. Apalagi hatimu sangat baik. Kau adalah cahaya yang tidak boleh tersembunyi dalam kekalutan hidup.” Alexander berbisik di telingaku ketika kami berdua berdansa.
Aku terharu mendengar kata-katanya yang menghibur dan menguatkanku.
Alexander menarik tanganku dan membawaku agak menjauh dari teman-temanku. Kemudian ia menatapku dengan senyumannya.
“Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Maukah engkau menjadi pacarku?” Alex menanyakan pertanyaan yang membuat jantungku hampir meledak.
“Aku…..!” Aku terdiam dan menunduk.
Alex menunggu jawabanku. “Katakanlah aku siap mendengarnya.”
“Aku …. Aku suka denganmu tetapi aku tidak berani untuk mencintaimu!” Suaraku hampir tidak terdengar.
“Mengapa?”
“Karena aku berwajah jelek dan pembawa musi…...”
Belum selesai aku berbicara demikian, dengan dua jarinya ia menutup bibirku dan kemudian ia memelukku. Aku sepertinya berada di langit ketujuh. Kurasakan bintang-bintang berjatuhan menerangi hatiku yang kini bersinar karena cinta.
Wajah keberuntunganku. Membuat aku mendapatkan pangeran sempurna dan sangat tampan. Kini aku tidak akan pernah minder dengan apapun yang Tuhan sudah berikan buatku. Karena setiap orang selalu mempunyai keberuntungannya sendiri-sendiri.
Apakah kamu percaya???? (ERK)