Walaupun telah berlangsung sejak zaman Belanda, isu yang selalu saja muncul di daerah adalah bagaimana putra daerah bisa berkerja di perusahaan-perusahaan migas didaerah mereka tinggal, tidak hanya sebagai pegawai kontrak namun sebagai pegawai tetap.
Kegiatan migas memiliki 3 ciri utama yaitu high cost, high tech dan high risk. Ketiga karakteristik kegiatan hulu migas ini sudah pasti memerlukan sumber daya yang mumpuni. Kegiatan hulu mgas juga mempunyai ciri padat modal yang artinya operasional dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang tinggi dan cenderung menggunakan sumber daya manusia yang terbatas. Sumber daya manusia digantikan dengan penggunaan-penggunaan teknologi.
Jika kita mencoba mencari informasi dengan Google mengenai sumber daya manusia di daerah operasional migas, maka kita akan menemukan fakta-fakta yang mencengangkan dan cenderung memprihatinkan. Daerah-daerah operasional migas terutama di luar pulau Jawa, banyak memiliki sumber daya manusia yang tertinggal. Pengelolaan sumber daya alamnya justru lebih banyak diisi oleh bukan penduduk daerah tersebut.
Penulis tidak mengatakan bahwa pengelolaan migas hanya boleh dilakukan oleh putra putri daerah. Jika itu dilakukan sama saja melarang seorang warga negara berkerja di wilayah Republik Indonesia. Namun, hal yang menjadi fokus penulis adalah bagaimana memberikan akses kepada putra putri daerah dengan meningkatkan daya saing mereka.
Salah satu upaya meningkatkan daya saing putra putri daerah adalah melalui pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan salah satu 'saringan' awal yang diberlakukan oleh banyak perusahaan migas di Indonesia. Akibatnya, putra putri daerah mengalami kesulitan untuk bersaing.
Pendidikan merupakan kunci bagi seseorang untuk bekerja. Kita mungkin lupa, banyak mahasiswa yang berasal dari daerah migas yang masuk jurusan migas karena perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan tersebut ada di kota-kota tertentu yang sebelumnya tidak pernah tahu atau melihat menara rig, jalur pipa ataupun jalan-jalan lokasi. Namun kita lupa, banyak putra putri daerah yang telah menjadikan hal-hal tersebut sebagai bagian dari kehidupannya, namun karena pendidikan formal yang tidak ada di daerahnya menyebabkan mereka tidak mungkin bekerja di perusahaan migas tersebut.
Sekali lagi, pendidikan menjadi kuncinya. Daerah-daerah migas sudah seharusnya memiliki sekolah tinggi migas. Memiliki sekolah migas bukan akhirnya, namun menjadi pintu masuk karena selanjutnya yang menjadi fokusnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikannya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan migas umumnya berasal dari beberapa kampus saja terutama yang berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, agar putra putri daerah memiliki kesempatan bersaing, mereka harus mendapatkan kualitas pendidikan yang seimbang dengan kampus-kampus tersebut.
Kita tidak usah lagi berbicara tentang keistimewaan bagi putra-putri daerah. Namun saat nya kita sekarang berfikir bagaimana membuat putra-putri daerah memiliki kesempatan untuk bersaing bekerja di sebuah perusahaan. Suka tidak suka, pendidikan formal harus diperhatikan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi migas yang berkualitas di daerah migas menjadi sebuah kebutuhan. Ini adalah jalan bagi putra-putri di daerah migas untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan migas.