Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Jeritan si Kecil

7 Januari 2014   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03 51 0
Dahulu saat aku masih dalam kesucian, kejernihan, dan kefitrahan manusia, saat itulah semua mulai terjadi.
Semua berawal dari hubungan seorang wanita yang katanya, ia sebagai Malaikatku, ia bilang, bahwa ia akan selalu menjagaku sampai akhir hayatku, sebut sajalah namanya “Ratu Nisa”, ia biasa dipanggil dengan sebutan ”Icha”, ia seorang mahasiswi yang sedang menjalani kuliahnya pada smester akhir, di fakultas Hukum di sebuah Universitas swasta di Jakarta, ia tinggal di sebuah tempat Kost di daerah Kelapa Gading. Ia memang ibuku, namun bagiku ia adalah ibu yang kejam. Ia berhubungan dengan seorang pria yang katanya, ia mencintai wanita itu, pria itu bernama ”Jhoni” atau ”Jhon”, ia seorang mahasiswa smester akhir Universitas swata, di fakultas Bisnis Management, ia tinggal di sebuah rumah yang megah, di garasi mobilnya terdapat sebuah mobil berlogo BMW dan sebuah motor Harley berwarna hitam, yang sering ia gunakan untuk pergi ke Kampusnya. Namun ia tinggal sendirian di rumah yang terlihat seperti istana itu, karena kedua orang tuanya pergi ke Singapore untuk keperluan bisnis. Dia adalah ayahku, tapi dia adalah ayah yang tak bertanggungjawab.
Icha memang dikenal sebagai seorang wanita yang anggun, sederhana, cantik, simpel, ramah, dan baik, dengan kulit putih merona, tubuh yang tinggi dan ideal, bibirnya selalu terlihat merah alami, bahkan di kampusnya, banyak lelaki yang menjulukinya dengan “Bidadari kampus”. Banyak yang menginginkan hatinya, bahkan tak jarang kata-kata manis meluncur dari mulut para mahasiswa di kampusnya, seperti anak panah yang lepas dari busurnya, atau seperti timah panas dari senapan, tetapi tak satupun yang mengenai sasarannya, hanya Jhon lah seorang lelaki kaya, tampan, bermata sipit, berkulit putih, dengan jaket coklat atau hitam yang biasa ia gunakan ke kampusnya, dengan mobil BMW Sport berwarna hitam yang menjadi kuda kendalinya ke kampus, yang berhasil membidik hatinya tepat pada sasaran. Awalnya mereka bertemu saat Jhon pulang dari Kampusnya yang seperti biasa menggunakan mobil kesayangannya, yang hampir menabrak Icha yang sedang menyeberang jalan bersama Reny, sahabatnya. Namun pertemuan itu seolah menjadi surat pengantar hubungan mereka.
Awalnya, mereka memang hanya memiliki hubungan antar hati mereka, namun karena seringnya mereka bertemu dan berdua, akhirnya sang Durjanalah yang menjadi pihak ke tiga di antara mereka.
Semua terjadi saat Icha berada di kamar Kostnya sendirian. Biasanya ia ditemani oleh sahabatnya satu fakultas yang sangat baik padanya, tak jarang ia juga memberikan masukan, kritikan, nasihat, dan ia juga menjadi tempat bersandarnya Icha, saat Icha sedang dalam masalah, sebut saja namanya ”Reny”. Namun saat itu ia sedang pulang ketempat kelahirannya di Bandung. Saat itu, Icha yang biasanya bersama dengan temannya, ia sendirian. Ia pun merasa kesepian karna tidak ada tempat untuknya melepas kepenatannya, ia juga merasa resah saat ia sendiri di tempat kostnya. Kemudian ia memutuskan untuk menghubungi Jhon, kekasihnya, untuk menemaninya sebelum ia merasa tenang. Ia pun menekan nomor hp Jhon, menggunakan telepon genggamnya, pemberian kekasihnya, Jhon.
”Halo, nalem A” Icha menghubungi Jhon melalui HP-nya.
”Iya sayang, kenapa?” balas Jhon di seberang sana.
”Enggak A, aku sendiri di Kostan, kamu bisa temenin sebentar?”
”Oke, tunggu ya... Dah sayang...”
”makasih...” Icha pun menutup teleponnya. Ia menunggu Jhon yang sedang dalam perjalanan ke tempat Kostnya, dalam rasa takut dan gelisah. Tak lama kemudian, terdengarlah suara langkah kaki dari luar, yah suara kaki Jhon, kiranya.
”Malam...” Jhon sambil mengetuk pintu kamar kost Icha yang terasa senyap dan terlihat gelap, seperti tanpa penghuni.
”Ya, malam...” Icha pun perlahan mendekati pintu kamar Kostnya, dan menyalakan lampu kamar kostnya, kemudian dengan rasa ragu yang berbaur dengan rasa takut, ia membuka pintunya, dan didapatinya Jhon, kekasihnya, yang sedang berdiri memandang taman di depan tempat Kostnya Icha, yang cukup jauh dari rumah pemiliknya, dengan cahaya yang redup, dan kemudian tanpa pikir panjang, Icha langsung mempersilakan ia masuk, dan duduk di atas kasur lantai yang biasa ia gunakan untuk tidur, dan Icha langsung mengambilkan minum dan kue untuk Jhon yang sedang duduk santai di ruang yang cukup sempit, di atas kasur tempat Icha tidur, sambil memandang lukisan yang terpampang di dinding.
”Ini A ada sedikit kue, dicicipi Ya,” Icha mempersilakannya untuk mencicipi kue dan minuman yang ia bawa dari dapur. I
Jhon tersenyum dan mencicipinya. Mereka pun banyak berbincang-bincang dan bercerita tentang hari-harinya di kampus, tentang sahabat-sahabatnya, dan sampai tentang hubungan mereka berdua, di depan pesawat televisi. Kemudian Icha membuka lemari yang tak jauh dari tempat tidur dan TV, untuk mengambil kaset CD yang ia miliki, dan kemudian mereka menonton bersama.
Semakin lama, mereka berdua terlarut dalam film yang mereka putar. Mereka saling berpegang tangan, mereka pun terlarut dalam kemesraan, dan saat mereka hanya berdua, dan mereka berada pada jembatan yang diantaranya adalah jurang kenistaan, sang Durjana hadir dalam kelemahan Iman, ia mencoba menjadi pihak ke tiga di antara mereka, ia pun terus mencoba memutar balikkan fakta, sehingga dibuatnya kebenaran adalah sebuah kerugian, dan kesalahan adalah sebuah keuntungan di mata manusia. Dengan kelincahan lidahnya dalam menciptakan fitna, dan meluncurkan serangan-serangannya, dan terus berusaha berdebat dengan sang Malaikat dalam fitrah kesucian cinta.
Semakin dalam mereka tenggelam dalam lautan kenistaan, Malaikat pun menyerah dalam gelap dan kelamnya hati tanpa cahaya Iman. Sang Durjana tertawa terbahak dalam kebahagiaan kemenangannya, ia berlari setelah mereka terjatuh dari tingginya ngarai kehidupan, kedalam curamnya jurang kenistaan.
Mereka tidur berdua diatas peraduan yang menjadi saksi bisu tingkah mereka di malam itu, bersama dengan hembusan angin yang bertiup bersamaan dengan fitna yang ditiupkan oleh sang Durjana, yang seolah membelai mereka dalam mimpi indah mereka, yang dengan tidak mereka sadari, mereka berada jauh di dalam jurang kenistaan cinta.
Suara ayam jantan terdengar lantang, seolah ia marah dengan tingkah laku mereka. Mereka pun tersadar dari tidurnya, kemudian Icha terkejut, karena melihat di samping kanannya, didapati kekasihnya, Jhon yang sedang terlelap tidur tanpa berpakaian, ia pun terkejut karena melihat dirinya hanya berselimutkan kain tebal tak berjahit.
Malam itulah, aku yang masih berbentuk sebagai sel telur, hanya duduk dan terdiam membisu, di tempat yang hangat dan penuh kasih sayang, yah... orang bilang tempat ini adalah Rahim. Tiba-tiba datanglah sekelompok makhluk yang berebut mendapatkan pasangan, demi sebuah kemenangan dalam kehidupan. Dalam kelompok itu terdapat dua bentuk makhluk yang keduanya sama-sama bersaing, yaitu ada yang berbentuk bulat yang dengan gerakan agak lambat, dan ada yang berbentuk oval, dengan gerakan yang lebih cepat, namun ia cepat hancur dan pupus, jika mereka yang mendapat pasangan dengan sel telur, ia akan membuahinya, dan mereka akan bersatu dalam kasih dan cinta suci Sang Ilahi, yang akan membentuk kehidupan baru, yah.... orang bilang mereka adalah sel sperma. Dan kemudian aku pun terpikat dengan salah satu dari mereka, aku berpasangan dengannya, dan makhluk yang lain pun hilang dalam kekalahan.
*****
Satu minggu kemudian...
Kedua orang tua Icha datang dari kampung halamannya yang berniat untuk menjenguk anaknya. Icha pun menyambut mereka, walau pun sebenarnya, hatinya berada dalam kegelisahan karena tingkahnya tempo hari dengan kekasihnya, saat kedua orang tuanya tidak ada. Mereka pun banyak berbincang-bincang dan bercerita, serta bertukar pengalaman. Icha tertawa dibalik kegelisahannya, ia mencoba menutupi apa yang terjadi saat kedua orang tuanya tidak ada. Kemudian setelah jam di dinding menunjukkan pukul 23.30, mereka pergi untuk beristirahat, dan bersiap menyambut sang surya.
*****
4 bulan kemudian.
Pada malam hari, Icha pulang ke kampung halamannya, di Bogor, untuk melepaskan kerinduannya kepada kedua orang tuanya.
Saat itu, tubuhku mulai dengan perlahan terbentuk dalam kasih dan cinta Sang Ilahi, dan dalam lindungan serta karunia-Nya, saat aku yang baru terbentuk menjadi gumpalan darah yang berasal dari sari pati tanah, di tempat yang sempit namun nyaman, aku merasakan getaran kasih dan cinta dari luar sana.
Esok harinya, keluarga Icha berkumpul di ruang makan untuk sarapan pagi, kedua orang tuanya telah siap di depan meja makan, yang ditemani makanan yang siap santap diatasnya. Namun sudah cukup lama mereka menunggu, tetapi Icha tak juga keluar dari kamarnya. Ibunya pun memanggilnya.
”Icha, ayo keluar nak, ayahmu sudah menunggu di meja makan!”
”Iya bu, sebentar lagi.”
”Ya Robb, apa yang harus aku lakukan? Serapat-rapatnya aku menyimpan bangkai, namun pasti akan tercium juga. Haruskah aku katakan semuanya pada ayah dan ibu? Tapi apa yang akan terjadi pada mereka nantinya? Bagaimana respons ayah nanti? Ya Robb, tolonglah hamba-Mu ini... kuasa-Mu di atas segalanya ya Robb...” Icha pun bermain dalam lamunannya yang berselimut kegundahan dan kegelisahan.
Icha pun keluar dari kamarnya dengan wajah pucat pasi, kemudian tiba-tiba ia mual-mual, dan ia langsung lari ke toilet. Ayah dan ibunya pun merasa khawatir, karena mengira Icha sedang sakit, dan kemudian aku mendengar suara lembut dari luar sana, yah... suara ibunya Icha yang memang sangat penuh dengan kelembutan.
”Nak, kamu ga apa-apa nak?”
”Tak apa ibu... aku hanya mual sedikit”
”wajahmu sedikit pucat, kenapa nak?”
”Tak apa bu, mungkin hanya kurang istirahat.”
”Mungkin kamu sakit, coba kau pergi berobat nak, siapa tahu tuhan tidak memberikan penyakit yang berkelanjutan jika kamu berobat.” ibuya mencoba memberikan saran untuk Icha yang memang tidak merasa nyaman dengan keadaannya saat itu, yah... mungkin karena terbawa keadaan kandungannya.
Aku merasakan detak jantungnya semakin cepat berdetak, karena ia takut, dokter yang memeriksanya mengetahui bahwa ia hamil, dan memberitahukan hal itu pada kedua orang tuanya. Tetapi karena ia takut orang tuanya menaruh kecurigaan padanya, akhirnya ia tak dapat menolaknya.
”I... iya bu...” jawabnya dengan gugup, dan bercampur rasa takut.
Kemudian aku mendengar suara langkah kaki mendekat, dan aku mendengar suara laki-laki yang tak asing di telingaku, aku mendengar ia berkata.
”Ayo nak, ayah antar kamu ke Dokter” terdengar suara ayahnya dengan tenang dan lembut.
”I....Iya pak” Icha menjawabnya dengan lirih.
Kemudian aku merasakan getaran tubuhnya yang melangkah pergi bersama ibu dan ayahnya ke Rumah Sakit yang tempatnya tak jauh dari rumahnya dan hanya berjarak beberapa Kilo Meter.
Sesampainya di sana, aku mendengar perbincangan mereka dari luar, Dokter pun memeriksanya, aku mendengar perbincangan ayah dan ibunya dengan rasa khawatir, yah mereka adalah kakek dan nenekku. Dokter pun keluar dari kamar tempat Icha diperiksa, aku mendengar ayahnya Icha yang menanyakan tentang kesehatan Icha. Dokter tersenyum, kemudian ia berkata.
”Alhmdulillah, selamat pak, anak bapak hamil!” terdengar suara dokter yang begitu lembut dan yakin.
”Apa?” Ayahnya terkejut mendengar pernyataan Dokter.
”Dok, coba periksa kembali! Ini tidak mungkin Dok!” lanjut ayahnya yang tak percaya dengan pernyataan sang Dokter.
Dokter sangat kebingungan melihat respons ayahnya yang terkejut.
”Ada apa pak?” tanya Dokter dengan heran. ”Pak, kami telah melakukan pemeriksaan terhadap anak bapak bahkan kami sedang menunggu hasil laboratorium, untuk mendapatkan hasil yang pasti! Awalnya kami melihat suatu kejanggalan pada keluhan anak bapak, kemudian kami melakukan uji laboratorium!” Dokter mencoba meyakinkan ayahnya.
Aku di kabarkan oleh Malikat yang selalu setia menemaniku, bahwa kakekku terlihat dikuasai oleh emosinya. Kemudian ia menarik Icha, anaknya, dengan penuh amarah, menuju rumahnya. Sedangkan ibunya menuju tempat administrasi Rumah Sakit, untuk menyelesaikan semua administrasinya. Saat itu semua Malaikat menjauhi kakekku karena sedang dikuasai oleh api yang dikobarkan oleh sang Syetan Durjana, yang dibawanya dari tempatnya tinggal.
Sesampainya di rumah, ayahnya langsung melemparnya pada sofa panjang yang ada di ruang tamunya. Kemudian terdengar suara yang sangat lantang, dan dikuasai dengan amarah.
”Icha, sekarang jawab pertanyaan ayah! Apa yang telah kamu lakukan? Siapa yang telah melakukannya Icha?” Tanya ayahnya dengan penuh emosi.
”Ampun ayah, a....mpu...n” Icha sambil menangis, dan berlutut di hadapan ayahnya.
Ayahnya melepaskan genggaman Icha, dan menghempaskannya, kemudian ia berkata.
”Jawab Icha! Siapa yang melakukannya?!” Ayahnya merenggut rambut Icha dengan penuh kemarahan, kemudian disusul dengan tangannya yang melayang tepat ke wajah Icha.
”A....mpun ayah....” Icha terhempas dan terkulai, sambil berteriak, air matanya tak lagi terbendung dan membasahi wajahnya.
”Jawab!!!” suara ayahnya semakin terdengar lantang.
Kemudian saat ayahnya hendak melayangkan tangannya kembali, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cukup cepat, kemudian ia menahan tangan ayahnya.
”Cukup ayah, cukup!” suara ibunya terdengar lemas melihat anaknya yang sudah terkulai tak berdaya, dengan suara terbata-bata, dengan mata yang berkaca-kaca.
”Istghfar ayah! Istighfar!”
Kemudian ayahnya terdiam lemas, dan duduk di atas sofa, sambil menunduk dan mulutnya tak terhenti melantunkan asma-asma Agung, dan saat itulah para Malaikat kembali membawakan air telaga dari surga, untuk padamkan api yang berkobar dalam hatinya. Ibunya membawa Icha masuk ke dalam kamarnya, yang saat itu jam di dinding menunjukkan pukul 16.15, dan kemudian ibunya mencoba menenangkan ayahnya dan mengajaknya untuk sholat Ashar berjamaah.
*****
Pukul 01.00, dini hari.
Icha keluar dari rumahnya melalui jendela, menuju rumah Jhon yang berada di daerah Jakarta, untuk mengadukan semua yang terjadi dan memintanya mempertanggungjawabkan kelakuannya. Selama dalam perjalanan, Icha hanya terhanyut dalam hayalnya yang berselimut rasa takut.
Sesampainya di rumah Jhon, pada pukul 02.45, Icha mengetuk pintu rumah Jhon yang tinggal sendiri, sedangkan orang tuanya tinggal di Singapore untuk kepentingan bisnis.
”A, malam A...” suara Icha terdengar sangat lemas, dan mengetuk pintu rumah Jhon.
”Ya, siapa?”
”Ini aku, Icha...”
Jhon pun langsung cepat-cepat membuka pintu rumahnya.
”Icha?” Jhon terkejut karena melihat Icha, yang saat itu wajahnya yang putih merona, diguyur butiran air bening dari matanya, dan ia pun langsung menangkap Icha yang menangis tersedu, Icha pun menangis dalam dekapan Jhon.
Jhon pun mempersilakannya masuk dan duduk di sofa ruang tamunya. Kemudian, dalam isak tangisnya, Icha menceritakan semua hal yang telah menimpanya kemarin, dan ia pun langsung menyampaikan maksud hatinya, untuk meminta pertanggungjawaban atas yang telah dilakukan Jhon tempo hari. Berbagai solusi di fikirkannya, namun terlalu banyak pertimbangannya. Mereka berfikir untuk menikah, namun mereka belum siap, karena mereka ingin mengejar karirnya. Dan sampai pada solusi yang terakhir, yaitu, Jhon meminta Icha untuk meng-aborsi kandungannya.
Aku pun bingung dengan kata yang terlontar dari mulut Jhon tentang aborsi, karena kata itu terlalu muda terdengar di telingaku.
”Ya Robb, apa yang akan mereka lakukan padaku? Apa maksud mereka tentang aborsi? Aku tak mengerti ya Robb...”
Tak lama dari itu, aku mendengar sebuah pertikaian besar yang terjadi diantara mereka, tentang solusi yang diajukan Jhon pada Icha, dan akhirnya Icha mengalah, Jhon pun berkata.
”Baiklah kelau begitu sekarang kamu istirahat dulu, kumpulkan semua energimu untuk esok”
Icha hanya terdiam yang menyimpan seribu kata dalam ketakutan. Icha pun tidur di kamar orang tuanya Jhon, dan Jhon tidur di kamarnya.
****
Keesokan harinya, Icha bersiap-siap pergi ke dokter kandungan, tanpa diketahui kedua orang tuanya.
Selama mereka dalam perjalanan, Icha bermain dalam lamunannya.
”Ya Robb... betapa besarnya dosaku ini... namun apa yang harus aku perbuat? Ayahku begitu marah padaku, ketika ia mengetahui akan hal ini. Namun disisi lain, aku sangat kasian pada janin yang aku kandung, tolong hamba ya Robb... aku tak tahu apa yang harus aku perbuat? Aku terlanjur malu dihadapan-Mu, karena aku telah bodoh mengikuti kata-kata Syetan, dan aku telah terbujuk oleh tipu dayanya, ya Robb, bantu aku...”
Icha terlarut dalam lamunannya, hingga tak terasa, ia telah sampai di tempat dokter kandungan.
Aku pun merasakan sesuatu yang tak menentu, aku merasa gelisah, para Malaikat merapat menjagaku, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku tak mengerti akan tingkah para Malaikat penjagaku yang semakin ketat menjagaku.
Sampai pada gilirannya, Icha dipanggil bersama Jhon, kekasihnya. Aku mendengar perbincangan mereka, yang sepertinya bernegosiasi soal biaya yang harus dikeluarkannya. Kemudian sampai pada puncak kesepakatan, dan kemudian Icha diminta berganti pakaian, dan segera dibawa oleh para perawat ke ruang operasi. Icha pun berteriak saat ia disuntik obat penenang. Jhon pun diminta menunggu diluar karena operasi akan segera di lakukan.
Tak lama kemudian, Icha tak sadarkan diri karena efek obat penenang yang disuntikkan telah bereaksi, kemudian dokter mulai mengoperasinya. Dokter dan para perawat terdengar sangat sibuk mempersiapkan peralatannya, yang pecahkan kesunyian peristirahatanku, para Malikat pun semakin rapat mendekati dan menjagaku.
Kemudian kudapati sebuah benda yang panjang menjulur-julur seperti mencari getaran kehidupan, mereka menyebutnya dengan nama canulla alat itu seperti cekungan tube plastik yang dilengkapi dengan alat penyedot yang dipakai untuk membunuh janin dan memenariknya keluar dari rahim. Aku terus menghindarinya, aku terus berputar dalam tempat yang sangat terbatas, yang aku kenal dengan sebutan ”Rahim”. Aku hanya dapat berteriak minta tolong dalam kesunyian, dan terkulai oleh air mataku, namun aku tak berdaya untuk menghindarinya, dan akhirnya kakiku terkena benda itu, tiba-tiba ia menarikku keluar, aku yang telah dibentuk-Nya dengan kesempurnaan, kini aku hancur, tubuhku terpisah-pisah menjadi beberapa bagian, sedangkan kepalaku masih terdapat di dalam rahim. Setelah tubuhku berhasil dikeluarkan dalam keadaan hancur tak berbentuk, Dokter itu memasukkan sebuah benda yang begitu keras, yang berbentuk seperti gunting yang digunakan untuk meremukkan tulang, dan mengambilnya dari dalam rahim, alat itu seperti catut, dan lebih dikenal dengan nama forceps. ia berniat mengambil kepalaku dari dalam rahim.
”Ya Robb... apakah arti dari semua ini? Apakah kesalahanku, hingga tak Kau izinkan aku hidup di Dunia? Apakah karena kehidupanku akan hancur jika aku hidup di Dunia? Apakah jika aku hidup di Dunia, aku akan pergi menjauhi-Mu karena tipu daya dunia yang akan binasa? Ya Robb, semua ini adalah teka-teki-Mu... aku ingin Kau tepati janji-Mu tentang siksa yang abadi yang akan Kau ganjarkan kepada kedua orang tuaku yang begitu kejam menghancurkan harapanku, aku yakin bahwa Kau tak pernah ingkari janjimu, ya Robb...”
Saat Dokter itu memasukan benda itu kedalam rahim ibuku, kekuasaan dan janji Tuhan terbukti, sangat menyakitkan, saat Dokter itu memasukan benda itu, yang niat hatinya ingin mengeluarkan sisa-sisa organ tubuhku yang masih tersisa didalam rahimnya, namun naas, bukan organ tubuhku yang ia dapatkan, namun leher rahim ibuku yang ia tarik dari dalam. Icha pun berteriak histeris karena sakit yang tak tertahankan. Pendarahan yang tak terhentikan pun terjadi, berbagai cara dilakukan Dokter itu, yang saat itu sangat panik karena kesalahan fatal yang ia lakukan, ia terus berusaha untuk menghentikan pendarahannya, dalam suasana kritis, namun darahnya tetap tak dapat terbendung, karena Hemoglobin yang tersedia dalam tubuh Icha tak dapat membendung darah yang terlalu banyak keluar dari tubuh Icha, dan akhirnya detak jantung Icha terhenti, seiring dengan berhentinya hembusan napasnya. Dan ditutupnya wajah Icha dengan kain putih, Icha pun pergi bersama kesalahan besar yang ia lakukan, dan ia pergi tanpa cahaya iman yang akan menjadi pandu bagi kehidupan abadinya.
Ibu dan ayahnya mengetahui berita itu dari salah seorang teman kampus Icha, karena pihak Rumah Sakit menghubungi kampusnya, yang tertera dalam kartu Mahasiswanya. Sedangkan Jhon hanya merasakan kebingungan yang terus menghantuinya, dan semenjak kejadian itu, ia menghilang dari daratan, bak ditelan bumi.
Dan akhirnya harapanku hilang, harapanku sirna dan pergi bersama kepergian ku....
Ya Robb, jangan pernah Kau biarkan aku tenggelam dalam lembah kenistaan cinta semu, jangan pernah Kau biarkan aku terjatuh dari tingginya ngarai kehidupan, setalah aku melewati bebatuan terjal, jalan yang berliku, dan duri perjalanan yang telah lukai kakiku... jangan Kau biarkan aku terjatuh, hanya karena cinta yang dilandasi oleh ego semata... aku inginkan Cinta-Mu yang Agung, yang Abadi, yang Sejati, dalam keagungan cinta, dalam kefitrahan dan kesuciannya... Ami...n

Selesai.....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun