Kondisi SDM dan Pendidikan Bangsa Indonesia Keunggulan dan martabat bangsa ditentukan oleh kualitas Sumberdaya manusia (SDM) bangsa tersebut. SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global. Menurut
World Economic Forum 2007, telah disusun daya saing bangsa oleh Forum Ekonomi Dunia (
World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global (
Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2005-2010. Dalam laporan itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-69 sampai ke-44 dari 125 negara. Sedangkan Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Di antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah. Laporan ini sangat tidak mengejutkan karena penduduk Indonesia yang menyandang buta aksara saja masih begitu banyak. Bambang Soedibyo mantan Menteri Pendidikan Nasional RI melaporkan bahwa jumlah buta aksara pada awal 2005 sebanyak 14,6 juta atau 9,6 persen dari penduduk Indonesia. Bahkan menurut BNP2TKI (2010), 95 % angkatan kerja di Indonesia tidak memiliki ketrampilan yang siap pakai untuk memasuki dunia kerja. Selain itu, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan pada era orde baru dan era reformasi yakni tidak lebih dari 12%. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM dimasa lalu yang berdampak di masa sekarang. Mengapa bangsa Indonesia yang merdeka sejak 66 tahun lalu tapi kualitas SDM dan pendidikannya masih memprihatinkan ?. Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan engan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan. Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya
missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.
Ciri Bangsa Unggul Bangsa yang unggul identik dengan bangsa yang maju. Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan phosphorus) tanpa mengembangkan industri yang beragam dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'. Literasi atau membaca adalah simbol, proses, dan hasil dari sebuah pendidikan. Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura adalah contoh dari bangsa yang maju karena masyarakatnya sudah terbangun budaya literasi. Dalam arti lain, budaya literasi memiliki peran yang begitu penting dalam membangun sebuah kemajuan terhadap suatu negara. Dengan membacalah kita menjadi tahu dan paham, sekaligus memperoleh wawasan maupun pengetahuan baru tentang hal apapun yang menyebabkan kita termotivasi untuk terus melakukan perubahan dalam bidang apa pun. Indikator budaya membaca dapat dilihat dari oplah Koran. Sebagai contoh Singapura yang luas negaranya jauh lebih kecil dari Banten. Perekonomian, pendidikan, maupun kesejahteraan masyarakat Singapura di atas rata-rata negara di Asia Tenggara. Dengan penduduk berjumlah 4,5 juta jiwa, terdapat sekitar tujuh surat kabar dengan oplah semuanya mencapai 1 juta eksemplar per hari. Sedangkan Indonesia, berdasarkan data terakhir Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), terdapat sekitar 2.000-an media cetak, sekitar 150-an di antaranya berbentuk koran harian. Dari sekitar 2000-an media cetak tersebut jika diakumulasi oplahnya hanya sekitar 5 juta eksemplar/hari. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 200 juta jiwa. Perbandingannya, satu surat kabar dibaca oleh 40 orang. Bandingkan dengan Jepang yang rata-rata 1 orang membaca 4 surat kabar. Pendidikan yang berkualitas dan membangun adalah salah satu ciri Negara maju. Mubarok Institute (2010) menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang maju antara lain : 1. Mempunyai kebanggaan terhadap bangsanya, tidak merendahkan bangsa sendiri, right or wrong my country, 2. memiliki etos kerja yang diwujudkan dalam sistem, sehingga hanya orang yang bekerja keraslah yang mempunyai peluang untuk mencapai kesejahteraan tinggi, 3. memiliki keseimbangan antara mengadopsi nilai-nilai universal dengan pemeliharaan niliai-nilai kearifan lokal sebagai jati diri kebangsaan, 4. memiliki program pendidikan sebagai sistem peningkatan kualitas sumber daya manusia, 5. membudayakan fanatisme nasional meski tetap berkomitmen kepada problem global, dan 6. memiliki sistem kepemimpinan nasional yang kuat sehingga menjamin berjalannya konstitusi.
Pendidikan sebagai Cara Mencapai Bangsa Unggul Berdasarkan kondisi tersebut maka bangsa Indonesia harus segera melakukan strategi baru dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang berkualitas. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang unggul, cerdas dan kompetitif. Berdasarkan hal itu maka tema prioritas pendidikan dalam RPJM 2010-2014 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yang menjadi bahan utama dalam penyusunan Rencana Strategi Pembangunan Pendidikan di Indonesia disebutkanlah substansi inti terutama untuk Akses Pendidikan Tinggi terdiri dari Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi dari 18% pada tahun 2009 menjadi 25% di tahun 2014. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa dunia harus dibebaskan dari ketertinggalan. Dia berpendapat, salah satu ketertinggalan yang pertama adalah dalam memahami bahwa tidak ada kemajuan tanpa ilmu pengetahuan dan tidak ada ilmu pengetahuan tanpa bisa membaca. "Jadi apapun cita-cita kita salah satu syarat pokoknya adalah mempunyai ilmu pengetahuan dan syarat ilmu pengetahuan adalah membaca. Bangsa maju dimulai dengan membaca" katanya pada peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-42 di Lapangan Sangkaraeng, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
KEMBALI KE ARTIKEL