Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hadirkan Dia Dalam Istikarohku

24 Maret 2014   21:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 125 0
Kini usia ku sudah memasuki 33thn, hal yang paling aku tidak sukai adalah ketika banyak mulut membisiki telingaku, menampar hatiku, dan meremukkan jantungku. Dengan bertanya kepadaku “kapan kamu menjalankan sunnah rasul?, apa kamu tidak takut menjadi perawan tua?”, ya tuhan sungguh kata-kata itu berulang kali memasuki telingaku, hingga terkadang itu sudah menjadi hal yang biasa bagiku, tapi kenapa hatiku terus memberontak dengan hal itu. Mulut ku beku dan tak mampu ku kendalikan hanya satu kalimat yang mampu aku ucapkan ketika ada yang menanyakan hal itu “ aku masih istikomah dalam istiharohku”.

Pagi itu, ku isi dengan kebiasaanku, membaca Koran sambil menikmati hangatnya teh manis buatan ibuku, sambil terseyum ibu mendekatiku, dan melontarkan kata padaku.

“nak, kapan mau menjalankan sunnah rasul?, kamu itu dosen, cantik, sudah memiliki rumah sendiri, sudah hajji, dan tentu usia mu sungguh sudah matang untuk menjalankannya, namun mengapa kau masih menundanya?, apa alasanmu nak, kamu anak tertua dari 5bersaudara, semua adikmu sudah menikah dan bahagia dengan pilihannya masing-masing, katakan nak,  laki-laki yang seperti apa yang mampu meluluhkan hati mu?, bapak ibu sudah sangat lelah mendengarkan kicauan tetangga”

Sungguh kata-kata ibu menamparku, membekukan hatiku, semua terasa tidak enaka, Tuhan apa salahku, mengapa seperti ini jalan hidup yang kau takdirkan kepadaku. Tanpa ingin menyakiti hati orang yang sangat menyanyangiku, dan merawatku dari kecil sampai sekarang, ku rangkai kata dan sungguh dengan hati-hati ku katakana padanya, yang sepertinya sangat menunggu jawabnku.

“bu,  bukannya aku menunda, atau tidak ingin menjalankan sunnahNya, namun aku tidak kuasa melawan takdirku, aku masih tetap istikomah dalam istiharohku, bu ibu tahu kan Allah tak pernah tidur?” ku pandangi matanya dalam-dalam, ia hanya menganggukkan kepala, namun masih banyak pertanyaan dalam raut wajahnya, ku lanjutkan ucapan ku itu.

“bu, aku yakin Allah akan mengirimkan laki-laki yang baik untukku, namun aku pun tak mengerti dan tak tahu kapan. Bu aku selalu berdo’a kepadaNya, bukan kah jodoh bukan manusia yang menentukannya tapi hanya sang Maha pecinta, dan manusia itu hanya mampu berusa, dan tentu saja bu, aku sudah berusaha, bu jangan dengarkan kata-kata orang, biarkan mereka berkata sesuka hati mereka, ibu anggap saja itu angin lalu, dan masalah adik-adik ku, aku bahagia melihat mereka bahagia, tak apa bu, aku yakin Tuhan tak akan menguji hambanya jika hambanya tidak mampu menjalankan ujiannya.”

“iya sudah nak, ibu tidak bisa memaksakan kehendak, ibu hanya ingin mengingatkanmu, agar kamu tidak lupa, dengan kewajibanmu ini, ibu, bapak sangat menyanyangimu nak”

Kua nggukkan kepalaku, namun masih saja banyak pertanyaan yang ku temui dalam wajah ibu ku ini, mengapa ibu tak pernah mau mengerti dengan keadaanku Tuhan,.

“bu, hari ini aku mau ke kampus lebih awal, karena hari ini perkenalan dosen dengan mahasiswa baru” segera ku tinggalkan sosok ibu, ya tuhan hatiku terus memberontak, ma’afkan aku ibu..



Suasana kampus mampu sedikit menghapus luka dalam hatiku, inilah rumah kedua ku, dimana aku merasa nyaman dan tenang, meski masih ada yang selalu menanyakan statusku. Tiba-tiba seorang menabrakku sungguh kuat sehingga buku-buku ku terjatuh,..

“ma’af mbak” ku pandangi wajahnya.. oh ternyata mahasiswa baru

“iya, tidak apa-apa”  tapi anehnya anak itu mejulurkan tangannya kepadaku, sepertinya ia mau berkenalan denganku, ah anak kecil bisik ku dalam hati, tak ku hiraukan dia, ku rapikan buku yang berantakan dan ku tinggalkan dia, tampaknya ia mengejarku. Dan menarik tanganku, kurang ajar bisiskku dalam hati

“aku rio” sambil mejulurkan tangannya padaku

“kamu mahasiswa baru kan” kataku singkat

“iya, ko’ kamu tahu?”

Kamu???? Gila ini anak, sangat kurang ajar bisikku dalam hati

“iya, itu kartu namamu” sambil ku tunjukkan kartu nama peserta mahasiswa barunya itu, ia tersenyum

“kamu siapa?” tanyanya lagi padaku, ya ampun apa belum sadar juga ini anak,

“aku Zahra” kataku, sambil ku tinggalkan dia.



Dua bulan sudah berlalu, sudah ku lupakan semua kejadian-kejadian yang ku lewati bulan-bulan yang lalu, seperti tidak ada bulan yang baik bagiku, semua bulan selalu dan pasti diisi dengan pertanyaan yang membuatku bosan dan muak. “kapan nikah”

Malam ini, tepat di sepertiga malam, ku basuhi wajahku dengan air, ku niatkan untuk mengabdi pada tuhaku, inilah hal yang tidak pernah terlupakan dalam hidupku, ketika aku berdua dengan Tuhanku, dan puas mengadu dan bersimpuh kepadaNya, sebab aku tiak pernah bosan dan menyerah untuk bersabar sambil mendekatinya

“ya Tuhanku, jika pertanyaan-pertanyaan semua orang membuatku sakit hati, maka matikan rasa sakit itu, jika kata-kata itu membuat panas telingaku, maka tutuplah telingaku jika ada yang berkata seperti itu, jika kata-kata itu membekukan hatiku, maka kuatkanlah aku”

Hanya kata-kata itu yang mampu kuucapkan.



Pagi ini aku merasa aneh, mengapa semua adik, ibu dan bapak duduk di ruang tamu dengan pakaian rapi, bukankah ini hari minggu? Hatiku terus bertanya-tanya, akhirnya ku dekati mereka, tuhan semua mata tertuju padaku.

“nak , mengapa kau belum mandi?” Tanya ibu padaku

“Ada apa bu, ini hari minggu, aku tidak ke kampus jawabku.” Mendengar jawabanku ibu langsung mendorong tubuhku sampai depan kamar mandi,.

“nak kamu mandi, terus berdandanlah yang rapi, ada tamu yang akan datang” katanya  padaku.

Setelah beberapa menit, aku sudah merasa rapi, tapi perutku sungguh lapar, ku ayunkan kaki menuju dapur dengan niat mau sarapan pagi, sontak sosok ibu mengejutkanku.

“nak, kamu buatkan kopi 12 gelas untuk tamu bapak”

“siapa bu tamu bapak, sebenarnya aku sangat lapar bu, apa aku suruh adik aja, mumpung dia ada di rumah, kan jarang-jarang dia membantu ku bu”

“jangan, adik ada di ruang tamu sama bapak, kamu aja yang buat, nanti aja makannya”

Ku anggukkan kepala, namun mengapa ibu begitu aneh, dan sebenarnya siapa yang menjadi tamu bapak??, segera ku buatkan kopi dan menuju ruang tamu, karena sanggat penasaran dengan tamu bapak itu. Sesampai ruang tamu, sungguh ramai, dan mengejutkanku, lagi-lagi semua mata tertuju padaku, ada apa ini?. Ibu menarik tanganku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya, ku pandangi wajah- wajah tamu bapak itu, tak ada satu pun yang aku kenali, kecuali aaaah Rio, bukannya dia mahasiswa baru yang dulu pernah menabrakku, mengapa dia kesini dengan keluarganya, wah aku yakin ini pasti keluarganya.

“nak, ini keluarga miharja, sahabat bapak” kata bapak singkat, ku anggukkan kepalaku

“nak, kamu tahu ini siapa,?” sambil memegangi tangan Rio.

“iya pak, dia, salah satu mahasiswa di tempat Zahra mengajar, kataku singkat”

“Rio Apa ada yang ingin kamu katakana?” kata bapak padanya

“ma’af  bu, dulu aku pernah tidak sopan kepada ibu, ku kira ibu juga mahasiswa di sana, ternyata ibu seorang dosen, awalnya saya sangat tertarik dengan ibu, sifat ibu dan yang membuat saya kaget adalah wajah ibu yang masih seperti anak-anak itu, sekali lagi ma’afkan saya bu, dulu pernah tidak sopan kepada ibu”

“iya tidak apa-apa” kataku singkat.

“bu. Sebelum saya tahu kalau ibu itu dosen saya, saya mencari tahu tentang ibu, dan akhirnya banyak sekali informasi yang saya dapatkan, saya sungguh menyesal karena perbuatan saya, sekaligus saya sangat ta’jub dengan informasi itu, awalnya saya mau menemui ibu dan minta ma’af kepada ibu, tapi sungguh saya tidak berani dengan itu. Akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada kaka saya tentang hal ini, ternya mendengar cerita saya kakak saya diam-diam tertarik kepada ibu, ma’af bu kami lancang, langsung menemui keluarga ibu”

Mendengar ucapannya itu ku pandangi laki-laki yang berada di sampingnya itu, apa itu kakaknya rio, Tanya ku dalam hati.

“ma’af, mbk, memang kita belum kenal, tapi apakah salah jika saya ingin lebih mengenal mbk” katanya padaku..



Setelah beberapa bulan mengenalnya, akhirnya dia hadir dalam istiharohku, tampa menunda-nunda waktu, ku jalankan sunnah rasul dengannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun