Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kutukan Nyi Antasura

12 Februari 2022   13:43 Diperbarui: 13 Februari 2022   12:33 904 2
Sebagai seorang wartawan pemula dari sebuah media cetak lokal di Jayaprasasti, Banten, aku mendapatkan tugas meliput bencana angin lesus yang melanda di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta. Aku merasa antusias saat mendapatkan tugas ini. Namun siapa sangka bahwa tugas ini mengantarku pada kejutan mental yang datang secara tidak terduga, daripada mendapatkan informasi bencana alam. Meski aku tidak menyaksikan horor visual secara utuh, tapi itu sudah cukup menciptakan ketakutan akut terhadap ular.
 
Tatkala bulan Februari di tahun 2007, aku pergi ke Yogyakarta dari Banten melalui jalur darat - lebih tepatnya jalur selatan - dengan menggunakan mobil pribadi. Awalnya pihak kantor ingin membelikan tiket penerbangan atau kereta ke Yogyakarta untukku, tapi mereka membatalkannya karena alasan cuaca dan teknis. Walhasil, aku terpaksa harus meluangkan waktu lebih dari 12 jam di perjalanan. Lebih-lebih di masa itu belum ada peta digital yang bisa mengarahkan jalan, sehingga aku harus menggunakan peta kertas, serta bertanya ke penduduk setempat untuk bisa tiba di Yogyakarta. Belum lagi kondisi hujan badai yang mengganggu penglihatanku pada jalan.
 
Saat hari sudah malam - sekitar pukul setengah 11 kurang - aku sudah berada di Jalan Daendels Pantai Selatan, lebih tepatnya di Kabupaten Kebumen. Suasana di sana sangat gelap karena tidak ada lampu penerang jalan. Selain itu juga tidak ada aktivitas penduduk maupun kendaraan, sehingga hanya ada aku seorang diri di jalanan yang gelita. Suasana ini membuatku merasa tidak nyaman.
 
Ketika aku sedang berada jalan yang berada di antara hutan dan perkebunan, seketika lampu mobilku menangkap sebuah objek organik panjang yang melintasi depan mobilku. Kontan aku menginjak rem dan membanting setir. Untungnya tidak terjadi perihal yang tidak diinginkan. Lantas aku bergegas keluar dari mobil dan memeriksa keadaan sekitar. Di situlah aku mendapati jejak aneh - dari lumpur - di atas aspal. Lalu aku segera mengikuti jejak itu yang mengarah ke hutan dan masuk ke dalam rerumputan lebat. Secara samar aku melihat sebuah pergerakan di dalam rerumputan itu, sehingga memancing rasa penasaran untuk melihatnya lebih jelas. Kalakian aku segera mengambil sebuah senter yang ada di dalam mobil, dan mengarahkan cahaya ke pergerakan tersebut.
 
Sontak tubuhku bergetar tanpa sebab, saat cahaya senter berhasil menangkap sosok di balik rerumputan itu. Aku tidak tahu apa yang sedang kulihat ini. Sosok itu merangkak dan menggeliat di atas rerumputan serta mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Sesekali sosok itu mengeluarkan suara desis yang terdengar seperti sedang menerorku. Kemudian sosok itu mulai menciptakan garis-garis bayangan dan membentuk sebuah entitas yang memiliki kemiripan dengan bentuk fisik manusia. Aku berusaha menopang tubuhku agar tidak terjatuh pingsan saat melihatnya.
 
Sosok itu hampir seukuran manusia dewasa dan sama sekali tidak mengenakan pakaian di tubuhnya. Dia tidak berbulu. Punggungnya tampak berwarna hijau kecokelatan dan agak pipih saat cahaya senter meneranginya. Di sekitar bahunya berbintik-bintik dan berwarna agak kecokelatan, serta kepalanya sangat datar. Dia mendesis ke arahku. Di saat itu juga, aku dapat melihat matanya yang berwarna hitam seperti manik-manik. Dia bergerak mendekatiku, sedangkan tubuhku hanya bisa bergetar dan mematung. Namun sebelum sosok itu sampai di tubuhku, secara tiba-tiba dia berbalik arah dan menggeliat masuk ke dalam semak-semak, lalu menghilang dari pandanganku.
 
Arkian, ada sebuah tangan yang memegang lenganku secara halus dan membantu menopang tubuhku yang berdiri tidak stabil. Aku terlalu lemah untuk bisa terkejut, karena ketakutanku telah menguras seluruh energiku, sehingga aku hanya bisa menatap si pemilik tangan dengan nafas yang terengah-engah. Dia adalah seorang kakek yang menggunakan kaos putih polos yang diselimuti oleh kain sarung berwarna cokelat dan celana panjang hitam. Dia tidak sendirian, melainkan ditemani oleh beberapa orang warga yang kemungkinan sedang meronda. Itulah pemandang terakhir yang kulihat, sebelum aku terjatuh pingsan.
 
****
 
Setelah siuman, aku mendapati diriku berada di dalam sebuah kamar yang nyaman dan bersahabat; diterangi oleh sinar matahari fajar yang berwarna kemerah-merahan; sekaligus diiringi oleh suara kicauan burung pipit dari luar jendela kamar. Aku tidak sendirian di kamar. Kakek yang kemarin malam juga ada bersamaku dan sedang duduk di sebuah kursi yang terletak di bagian kiri kasur. Dia menatapku dengan ramah, tapi juga tampak raut kekhawatiran yang berusaha ditutupinya. Lantas kakek itu memperkenalkan diri sebagai Aki Sutoyo Kusumo, seorang sesepuh sekaligus tokoh desa setempat.  
 
"Kamu beruntung anak muda." ujarnya, "Jika aku datang terlambat, mungkin kamu sudah disantapnya."
 
"Ma... maksud Aki?" tanyaku terbata-bata sambil berusaha mengingat kejadian semalam, "De... demi Tuhan, apa telah yang terjadi?"
 
Aki Sutoyo tidak menjawab. Dia hanya memintaku untuk beristirahat, lalu pergi keluar kamar. Aku berusaha untuk bangkit dari kasur, tapi gagal karena tubuhku masih terasa berat. Alhasil, aku terpaksa merebahkan kembali tubuhku untuk sementara waktu.
 
Setelah tubuhku terasa membaik, aku segera keluar dari kamar dan mendapati Aki Sutoyo yang sedang duduk santai di teras rumah. Tampaknya dia sedang menikmati suasana pemandangan desa dari halaman belakang rumah, selayaknya orang yang sedang menikmati hari-hari tuanya, dengan ditemani oleh dua cangkir teh hangat manis. Sepertinya salah satu dari cangkir itu sengaja disajikan untukku. Lantas aku menghampiri Aki Sutoyo dan dia langsung mempersilahkanku untuk duduk dan mencicipi teh hangat manisnya. Arkian, aku mengucapkan terima kasih kepadanya, karena dia sudah merawatku selama aku pingsan. Kemudian aku juga menanyakan keberadaan mobilku. Lantas Aki Sutoyo menjelaskan bahwa mobilku terparkir aman di halaman depan rumahnya, berkat bantuan dari salah seorang warga yang ikut menolongku. Sesudah itu, secara tiba-tiba dan tanpa basa-basi Aki Sutoyo bertanya;
 
"Apakah kamu pernah mendengar Nyi Antasura?"
 
"Tidak." jawabku singkat.
 
Lalu dia menjelaskan bahwa Nyi Antasura adalah sosok legenda yang cukup populer di Pulau Jawa. Dia berwujud perempuan setengah ular; sang penguasa hutan; sekaligus ibu dari segala ular. Nyi Antasura sudah lama ada sebelum Pulau Jawa dihuni oleh manusia. Dalam kepercayaan dari sebuah kultus Untul Angkarama, Nyi Antasura adalah salah satu dewa kuno yang memiliki pangkat sebagai Pandita untuk sosok misterius yang sering dipanggil sebagai Raja Hijau. Aki Sutoyo sendiri tidak dapat menjelaskan secara rinci identitas dari Raja Hijau, karena minimnya informasi dan keberadaannya yang masih jadi misteri. Walhasil orang-orang yang mempercayai eksistensinya menjadikan Nyi Antasura sebagai sosok yang dihormati, ditakuti, serta tidak sedikit yang menyembahnya.
 
"Jadi sosok kemarin itu adalah Nyi Antasura?" tanyaku dengan nada sedikit bergetar.
 
"Tidak." jawab Aki Sutoyo, "Dia bukan Nyi Antasura."
 
"Lalu, dia siapa?"
 
Aki Sutoyo terdiam sejenak dan menarik nafas dengan berat, seakan dia sedang berusaha mengingat suatu kejadian di masa lalu yang tidak menyenangkan. Setelah beberapa menit terdiam, lantas dia segera membuka jawaban dengan nada yang membuatku canggung.
 
"Sebetulnya aku tidak suka menceritakannya. Tetapi karena kamu bertanya, maka aku harus menjawab." ujar Aki Sutoyo sambil mengusap kedua matanya, "Sosok itu adalah korban dari Nyi Antasura."
 
"Korban?" tanyaku terkejut.
 
Aki Sutoyo hanya menganggukkan kepala. Kemudian dia mengarahkan jari telunjuknya ke satu tempat di belakangku, dan menunjuk ke sebuah rumah petani kuno yang sudah lama tidak ditempati, sehingga tampak sangat berantakan, melankolis, dan suram. Rumah itu terletak di ujung jalan; di tepi perkebunan tua yang lebat dan tidak terawat; serta berseberangan dengan rumah Aki Sutoyo.
 
"Rakha Engkus." ujar Aki Sutoyo, "Ada sebuah cerita tentangnya yang akan kuceritakan kepadamu. Kisah tragis sekaligus mengerikan. Dia merupakan pelaku pesugihan Nyi Antasura, tapi berakhir menjadi korban fisik dari kutukannya."
 
Kata-kata yang keluar dari mulut Aki Sutoyo itulah, seketika membakar jiwaku sebagai seorang wartawan, sehingga menciptakan rasa antusias untuk mendengarkan ceritanya.
 
****
 
Semua bermula pada tahun 1964, ketika Indonesia berada di tengah ketidakjelasan dan ketidakstabilan politik - baik itu secara internal maupun eksternal - yang besar, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kekacauan yaitu hiperinflasi. Orang kaya menjadi miskin, sedangkan orang miskin makin melarat. Lebih-lebih dengan pembangunan yang hanya terfokus di Jakarta, sehingga membuat daerah-daerah lain tampak arkais. Salah satunya adalah sebuah desa di Kabupaten Kebumen. Di sana ada sepasang petani yang hidup sangat miskin, bernama Rakha Engkus dan Lati Paramastri. Mereka masih berusia muda dan belum dikaruniai anak.
 
Rakha tidak pandai bertani, sehingga hasil taninya selalu buruk dan tidak dapat menghasilkan uang. Walhasil, mereka harus melewati hari-hari dengan penuh kesulitan dan kemiskinan. Bahkan mereka juga tidak mampu membeli pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampai pada satu waktu, Rakha mendengar kabar burung di kalangan warga mengenai pesugihan Nyi Antasura. Berdasarkan dari kabar yang didengar, itu adalah solusi efektif untuk mendapatkan uang secara instan. Kebanyakan dari mereka berhasil melakukannya, sehingga mereka banyak yang jadi kaya mendadak.
 
Karena Rakha tidak memiliki latar belakang pendidikan, maka dengan polosnya dia mempercayai kabar burung tersebut. Ditambah dengan kondisi keuangan rumah tangganya yang sangat memprihatinkan, sehingga makin menggoda Rakha untuk melakukan pesugihan. Lantas Rakha mulai menggali-gali informasi dari orang-orang yang telah melakukan pesugihan Nyi Antasura.
 
Ketika informasi sudah cukup didapatkan dan tekad yang bulat, Rakha segera berpamit kepada Lati, istrinya, dengan alasan ingin mencari pekerjaan di Yogyakarta. Sesudah itu dia mencari beberapa materi untuk sesajen; lalu bergegas pergi ke Gunung Wadas Putih; demi mencari sebuah gua yang diyakini sebagai salah satu pintu gerbang gaib menuju Istana Nyi Antasura; sebab istananya berada di dalam perut pegunungan yang terbentang di tengah-tengah Pulau Jawa. Setibanya di sana, Rakha mulai mencari-cari sebuah gua yang tampak seperti gerbang candi yang terbuat dari bebatuan dan tersembunyi di balik semak-semak belukar berwarna kombinasi cokelat, hijau, dan kuning. Arkian - setelah menemukannya - Rakha segera masuk ke dalam gua tersebut.
 
Rakha melaju masuk ke dalam gua yang gelap itu sambil menahan ketakutannya, sekaligus menyaksikan stalakmit dan stalaktit yang menghiasi seisi gua, sehingga terkesan mencekam tapi juga indah. Setelah sudah masuk cukup dalam, lantas Rakha segera mencari titik tempat untuk melakukan semadi. Kalakian dia mendesain sesajennya, setelah itu dia memulai semadinya sambil membacakan mantra yang telah dia pelajari untuk memanggil Nyi Antasura. Rakha melakukannya dalam waktu yang cukup lama, sampai pada akhirnya muncul sebuah cahaya terang secara gaib, sehingga mengganggu semadi Rakha - sekaligus membuat penasaran - sehingga menggodanya untuk membuka mata.
 
Betapa terkejutnya Rakha saat mendapati sebuah panorama di depan matanya yang sulit dijelaskan oleh akal sehat manusia. Gua itu tampak seperti sebuah ruang utama istana yang megah, tapi berdesain sangat tidak wajar, sehingga membentuk sebuah bangunan purba bergaya surealisme yang menyeramkan. Para stalakmit dan stalaktit itu berubah menjadi pilar-pilar aneh. Di dinding-dinding ruang utama istana itu terdapat banyak sekali lubang-lubang yang berisikan berbagai jenis ular yang berjumlah sangat banyak. Ular-ular itu keluar dari lubang-lubang di dinding dan menyabut Rakha, dengan mengeluarkan suara desis yang terdengar seperti alunan musik seruling.
 
"Siapa yang berani datang ke istanaku?"
 
Seketika terdengar suara perempuan yang penuh karisma durjana; menggema di seluruh ruangan; sehingga membuat Rakha bergidik ngeri. Kemudian dari sebuah lubang yang paling besar - berbentuk seperti singgasana - di tengah-tengah ruang utama istana itu, keluarlah sebuah sosok hibrid manusia ular yang sangat mengerikan dan belum pernah dilihatnya. Sosok itu tampak seperti seorang perempuan dengan tubuh bagian bawahnya adalah ular. Kulitnya dipenuhi sisik dengan variasi warna hijau, kuning, dan cokelat. Dia tidak memiliki rambut, apalagi buah dada - karena ular tidak menyusui - sehingga terlihat absurd dan menyeramkan. Rupanya sangat jauh dari kesan cantik yang sering digambarkan secara hikayat oleh orang-orang. Matanya yang keji berwarna kuning membara dan memiliki pupil hitam yang tajam, sehingga terkesan mengancam.
 
Sosok itu mendesis sambil mendekati Rakha yang bergetar ketakutan. Lalu sosok itu kembali bertanya;
 
"Mau apa kamu datang ke sini, wahai anak muda?"
 
"A... ak... aku ingin... bertemu dengan... Nyi Antasura." jawab Rakha terbata-bata.
 
Lantas sosok itu tertawa lepas - diikuti oleh ular-ular di sekitarnya - dengan suara yang eksentrik menakutkan. Setelah itu dia membalas;
 
"Aku adalah Nyi Antasura. Mau apa kamu?"
 
Rakha langsung menjelaskan tujuan dari kedatangannya. Lalu dibalas dengan tertawa menohok dari Nyi Antasura, seakan dia sudah tidak asing dengan tujuan Rakha. Kemudian Nyi Antasura mengatakan bahwa dia akan mengabulkan permintaan Rakha, tapi dengan tiga syarat. Pertama, Rakha harus menyembah dirinya. Kedua, Rakha harus bersedia untuk bersetubuh dengan Nyi Antasura setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, demi melahirkan anak-anaknya. Ketiga, Rakha harus merawat anak-anaknya selama dua tahun penuh, dan tidak boleh diketahui oleh orang lain termasuk keluarganya. Jika Rakha mampu melakukan tiga syarat tersebut, maka Nyi Antasura akan mengabulkan permohonannya. Tetapi jika Rakha berani melanggar, maka dia dan keluarganya akan mendapat hukuman.
         
Rakha sangat risau dengan segala syarat dan konsekuensinya; tapi jika mengingat kondisi keuangan rumah tangganya; maka dia memberanikan diri untuk menyetujuinya. Akhirnya terjadilah kesepakatan di antara mereka berdua, dan kesepakatan itu diakhiri dengan sebuah gigitan ular di tangan kanan Rakha, sebagai simbol perjanjian sakral, sekaligus bukti fisik bahwa dia merupakan bagian dari pengikutnya. Lantas Nyi Antasura segera meminta Rakha untuk segera pulang; menyiapkan kamar khusus untuknya; serta menunggu kedatangannya di malam Selasa dan Jumat Kliwon.
 
Rakha segera menurutinya dan dia segera keluar dari gua, serta kembali pulang. Setibanya di rumah, Rakha langsung disambut oleh Lati dengan perasaan cemas. Hal itu terjadi karena Lati bermimpi buruk tentang Rakha, bahwa dia melihat tubuh suaminya sedang dikerumuni dan terbelit oleh ular-ular yang cacat menakutkan. Hati Lati kian panik saat melihat bekas gigitan ular di tangan Rakha. Perihal itu terjadi bukan sekedar kasih sayang istri ke suami, tapi juga dengan pengalaman buruk di masa kecil Lati saat menyaksikan peliharaan kesayangannya mati digigit ular. Alhasil, peristiwa itulah yang menanamkan trauma, ketakutan, sekaligus kebencian akut terhadap ular. Namun Rakha segera menghibur Lati, dengan menjelaskan bahwa mimpinya itu hanya sekedar bunga tidur, sedangkan luka gigitan itu hanyalah luka akibat sebuah kecelakaan kecil saat perjalanan menuju Yogyakarta, dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ular. Walhasil, suasana hati Lati jadi tenang dan dia langsung mempercayainya.
 
Setelah beberapa hari kemudian, Rakha membuat satu kamar kosong yang terletak di bagian depan rumah. Dia melarang keras Lati untuk masuk ke dalam kamar itu tanpa seizinnya. Bahkan Rakha juga meminta pisah ranjang dari Lati di setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon. Lati tampak kebingungan dengan permintaan Rakha, tapi dia terlalu sungkan untuk meminta kejelasan darinya.
 
Ketika malam Kliwon tiba - lebih tepatnya di malam Jumat Kliwon - Rakha berada sendirian di dalam kamar barunya, dan sedang menunggu kedatangan Nyi Antasura. Ketika waktu mendekati tengah malam, seketika terdengar suara desis yang khas di telinga Rakha dari arah langit-langit ruangan. Dengan spontan dia melihat ke arah suara itu datang dan sangat terkejut. Nyi Antasura sudah berada di dalam kamar. Dia menggantung di langit kamar; tubuhnya yang seperti ular melilit kerangka langit ruangan; dia turun secara perlahan-lahan ke atas tubuh Rakha.
 
Nyi Antasura sama sekali tidak mengubah wujudnya menjadi manusia - terutama perempuan cantik - seperti yang diceritakan oleh orang-orang pada umumnya. Tetapi mata Nyi Antasura mengeluarkan sebuah cahaya sihir kepada Rakha, sehingga membuat dirinya tergoda dan bergairah. Walhasil, mereka-pun mulai bersetubuh dengan sangat intens. Namun, perihal yang ganjil, Lati sama sekali tidak mendengar persetubuhan mereka yang hebat dan berisik, padahal kamar tidurnya bersebelahan dengan kamar mereka berada. Seolah-olah kamar mereka kedap suara. Aktivitas itu berlangsung selama hampir empat jam, hingga akhirnya Rakha tertidur lelap di atas kasur yang berantakan.
 
Keesokan paginya, Rakha terbangun dan mendapati sebuah telur di sampingnya. Lalu telur itu menetas dan keluar seekor bayi ular derik. Sedangkan pecahan telur itu berubah seketika secara gaib menjadi kepingan emas. Fenomena itu berhasil membuat Rakha terkejut kegirangan. Lantas Rakha segera pergi ke toko emas dan setibanya di sana, si penjual emas tampak terkejut saat melihat kepingan emas itu, karena jenis dan bentuknya yang tidak lazim dan terlihat langka. Saat si penjual menanyakan asal emas tersebut, Rakha membuat cerita palsu bahwa itu adalah peninggalan dari leluhurnya. Alhasil, tanpa ada rasa curiga, si penjual menerima kepingan emas itu dan membelinya dengan harga yang tinggi.
 
Semenjak itulah, kondisi keuangan rumah tangga Rakha mulai membaik. Dia bisa membeli cukup pangan; merenovasi rumah; membeli beberapa barang mewah; serta menikmati kehidupan yang glamor. Meski semua itu didapatkan dengan cara bersekutu dan bersetubuh dengan Nyi Antasura; sekaligus melahir anak-anaknya yang terdiri dari berbagai macam jenis ular; tapi kenikmatan duniawi telah membutakan matanya. Untuk mencegah kecurigaan dari si penjual emas, maka Rakha menjual setiap kepingan emas - dari setiap telur Nyi Antasura yang menetas - di toko emas yang berbeda-beda. Namun sayangnya, keadaan berubah setelah melewati malam Kliwon yang kesembilan.
 
Lati sebagai istri Rakha ikut berbahagia dengan jumlah uang yang didapatkan suaminya. Akan tetapi, dia juga penasaran akan rahasia yang ditutupi oleh Rakha. Terutama alasan Rakha memilih tidur di kamar yang berbeda dengannya di setiap malam Kliwon, serta isi dari kamar terlarang. Ditambah dengan sikap Rakha yang sangat tertutup, kian membuat Lati berprasangka buruk bahwa suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain yang kaya dan menyimpannya secara diam-diam di dalam kamar terlarang.
 
Hingga pada satu waktu, saat Rakha sedang tidak ada di rumah, Lati memberanikan diri untuk menyelinap masuk ke kamar terlarang. Pertama-tama dia mengambil kunci kamar itu dari sebuah kotak di dalam lemari suaminya yang berada di kamar tidur mereka. Lati sangat tahu persis letak kunci kamar itu, karena Rakha tidak pandai menyembunyikan barang. Sesudah itu, Lati bergegas pergi ke kamar terlarang, dan membuka pintunya.
 
Di dalam sana Lati hanya mendapati sebuah ruang kamar tidur biasa; tidak ada benda-benda yang mencurigakan; hanya ada kasur yang berantakan dan berbau amis. Walhasil, Lati dapat bernafas lega dan merasa bahwa dia terlalu berburuk sangka terhadap suaminya. Secara naluri seorang istri, Lati segera merapikan kasur yang berantakan itu. Tetapi saat Lati mengangkat kain selimutnya, dia dikejutkan oleh sembilan ekor anak ular dengan berbagai jenis. Dari ular derik, ular piton, ular kepala merah, ular welang, hingga ular sendok. Mereka semua menggeliat-geliat di atas kasur.
 
Lati mengira ular-ular itu menyusup dari luar rumah, sehingga dia bergegas pergi keluar kamar untuk mengambil sebuah golok - biasa dipakainya untuk bertani - yang digantung di sebuah dinding pemisah antara ruang tamu dengan ruang belakang rumah, lalu dengan tanpa keraguan dia segera membantai binatang-binatang kecil yang menggeliat itu dengan bengis. Setelah aksinya telah usai, Lati segera membersihkan mayat-mayat binatang kecil itu, serta membuangnya di hutan yang ada di belakang rumah.
 
Saat Lati kembali ke dalam rumah, seketika terdengar suara langkah kaki cepat melaju ke arahnya.
 
"Lati! Apa yang telah kamu perbuat?" teriak Rakha.
 
Dia segera menangkap Lati dan mencengkram kedua lengannya dengan penuh emosi. Ekspresinya menggambarkan sebuah murka yang bercampur dengan ketakutan parah. Lati yang tidak tahu apa-apa hanya menjelaskan bahwa dia hanya mengusir ular-ular yang ada di dalam kamarnya. Penjelasan itu membuat Rakha makin marah, sehingga dia melempar berbagai macam makian kepada Lati. Walaupun begitu, Lati berusaha melawan balik dengan meminta kejelasan tentang perihal yang disembunyikan Rakha.
 
Akhirnya Rakha membuang nafas yang sangat berat dan menjelaskan secara rinci urutan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Dari melakukan pesugihan dengan Nyi Antasura, hingga bagaimana dia mendapatkan uang. Setelah Lati mendengar itu, seketika dia menjadi murka. Lati tidak menyangka bahwa suaminya telah melakukan perbuatan yang sangat terkutuk dan menjijikan. Tetapi itu masih belum seberapa saat dia mengetahui Rakha telah bersetubuh dengan Nyi Antasura - si perempuan ular - hingga melahirkan anak-anaknya. Sebab Lati sangat membenci perihal yang berhubungan dengan ular. Namun Rakha berdalih bahwa dia melakukan ini demi memperbaiki keuangan rumah tangganya. Alhasil terjadilah perselisihan di antara mereka berdua, sehingga membuat hubungan mereka jadi renggang.
 
Di malam harinya, Lati menolak untuk tidur bersama Rakha, karena dia masih marah dengannya. Di malam itu jugalah, Lati bermimpi buruk tentang Nyi Antasura dengan wujud setan seperti yang digambarkan oleh Rakha; sebuah eksistensi mutlak dari sebuah mimpi buruk; sehingga membuatnya terbangun dan melompat keluar dari kasur dengan jerit kengerian.
 
Setelah Lati berhasil mengatur kembali nafasnya, dia mendapati suara aneh - secara samar terdengar seperti suara desir - dari luar kamarnya, terutama dari arah pintu belakang rumah yang menghadap hutan. Rasa ngeri, penasaran, sekaligus khawatir mulai menguasai batin Lati. Sampai pada akhirnya dia mengambil sebuah lampu minyak kecil dan pergi keluar kamar untuk melihat keadaan.
 
Setibanya di ruang belakang rumah - dengan bantuan iluminasi kecil dari lampu minyaknya - Lati mendapati satu kumpulan ular yang menggeliat, merayap ke arahnya, dan memutar kepala mereka yang menjijikan untuk mengancamnya. Lantas batin Lati langsung terguncang saat melihatnya. Reptil itu memiliki ukuran yang beragam, jumlah yang tidak terhitung, dan tampak seperti varietas. Lati bahkan melihat beberapa di antara mereka - yang dekat dengan kakinya - mengangkat kepala seakan ingin menyerangnya.
 
Sontak Lati menjerit histeris dan segera menghindari ular-ular itu. Dia bergegas melaju ke pintu keluar di ruang utama dan mendapati sebuah siluet yang besar; tidak manusiawi; setengah ular; sebagian besar kepala dan bahunya meraba-raba secara perlahan ke arahnya dari pintu keluar. Bergidik ngeri Lati saat melihat siluet itu, karena dia yakin bahwa itu bukan bentuk tubuh Rakha. Lantas dia berteriak racau;
 
"Pergi! Pergilah Nyi! Pergi kau ular iblis! Aku tidak bermaksud membunuh mereka! Jangan dekati aku! Menjauhlah!"
 
Tetapi sosok siluet dengan kepala dan bahu yang setengah tidak berbentuk itu hanya bergerak maju ke arah Lati dengan pelan.
 
Kengerian itu mengubah Lati dari seorang anak yang ketakutan menjadi perempuan gila yang mengamuk. Dia tahu persis letak golok - bekas membantai anak-anak ular di kamar terlarang - yang digantung di dinding pemisah antara ruang tamu dengan ruang belakang rumah. Letaknya mudah dijangkau, sehingga dia mampu meraihnya dengan mudah. Sebelum sosok siluet itu melakukan sesuatu hal yang tidak diinginkan, Lati segera melompat dan mengayunkan golok ke arahnya secara berulang kali, sembari mengeluarkan raut wajah yang tidak menyenangkan.
 
Sesudah melakukan aksinya, Lati tertawa nyaring dan terbahak-bahak. Namun tawanya segera berganti menjadi jerit histeris, saat dia melihat sosok siluet itu dari dekat dan lebih jelas, bahwa itu adalah Rakha. Batinnya hancur seketika saat menyadari bahwa dia telah membunuh suaminya dengan bengis. Meski hubungan mereka sedang renggang, tapi Lati tetap tidak sampai hati untuk melukainya.
 
Tiba-tiba terdengar suara desis dari atap ruangan yang merindingkan. Secara spontan Lati menoleh ke atap ruangan dan mendapati sosok Nyi Antasura dengan tubuh bagian bawahnya - yang berbentuk ular - sedang melilit kerangka langit ruangan. Dia tertawa durjana dengan raut muka penuh murka dan teror.
 
"Kamu pikir kamu bisa membunuhku dengan benda rendahan itu?" tanya Nyi Antasura dengan nada lantang.
 
Lati yang tidak berdaya hanya bisa menangis histeris secara tidak keruan, sambil bergerak mundur dan menjauh dari hadapan Nyi Antasura. Secara tidak terduga, pergerakan Lati malah makin mendekat ke kumpulan ular di belakangnya, sehingga ular-ular itu mulai menyerang dari titik buta dan menggigit sekujur tubuh bagian belakang. Lantas Lati menjerit kesakitan dan berusaha melepas paksa ular-ular yang menggigitnya. Setelah dari itu, secara perlahan-lahan tubuh Lati mulai berbintik-bintik seperti sisik ular; warna kulitnya mulai berubah warna menjadi kehijauan dan kecokelatan; suhu tubuhnya mulai berubah secara drastis dan abnormal; serta muncul sensasi-sensasi menyakitkan di sekujur tubuh yang menyiksanya secara bertubi-tubi. Nyi Antasura tampak menikmati penderitaan dan transformasi pada Lati, sebagai sebuah bentuk hukuman atas perbuatannya.
 
****
 
Kemudian Aki Sutoyo menghentikan ceritanya untuk sejenak, demi membasuh tenggorokannya yang kering dengan menyeruput teh hangat manisnya. Setelah itu Aki Sutoyo melanjutkan cerita; bahwa keesokan harinya tetangga mereka menemukan Lati dalam keadaan mengerikan dan menjijikan. Dia sedang menggeliat-geliat di atas tanah dan tidak jauh dari jasad Rakha yang terbaring dalam kondisi mengenaskan; bermata kosong; membentuk sebuah karikatur gila; hanya bisa mendesis.
 
Lantas para warga sekitar segera mengurung Lati di sebuah kandang ternak milik pemimpin desa, demi mencegahnya melakukan hal-hal buruk. Tetapi sayangnya, setahun kemudian Lati berhasil kabur dari kurungan, akibat gejolak sosial dari dampak pembunuhan para petinggi militer di Jakarta, sehingga orang-orang disibukan untuk memburu para anggota atau simpatisan dari organisasi terlarang - pelaku pembunuhan - daripada mengawasinya. Semenjak itulah Lati hidup bebas di alam terbuka, selayaknya binatang liar. Sesekali para warga berjumpa dengan Lati, tapi tidak ada yang berani mendekat, karena dia suka menyerang makhluk hidup yang ditemuinya, tidak peduli itu hewan atau manusia. Alhasil, jumlah warga yang menjadi korban tidaklah sedikit. Berbagai upaya untuk memburunya sudah dilakukan, tapi tidak pernah membuahkan hasil.
 
Lalu Aki Sutoyo menghentikan ceritanya sejenak untuk menyikat tetes-tetes dingin di dahinya.
 
"Aki tahu semua ini dari mana?" tanyaku.
 
Aki Sutoyo langsung tertawa geli setelah mendengar pertanyaanku, dan dia menjawab;
 
"Ya tahulah! Aku ini tetangganya, sekaligus pernah ikut mengurung Lati di kandang ternak."
 
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum menahan malu akibat pertanyaan bodohku. Lalu aku kembali bertanya;
 
"Jadi... Lati telah membunuh Rakha... apakah itu juga perbuatan dari Nyi Antasura?"
 
"Iya." jawab Aki Sutoyo, "Nyi Antasura memanipulasi penglihatan Lati dengan kekuatan magisnya, sehingga dia tidak dapat mengenali Rakha, dan mengira bahwa dia adalah dirinya."
 
Aku berpikir sejenak, lalu kembali bertanya;
 
"Apakah bentuk fisik Lati berubah di setiap waktunya?"
 
"Tidak sepenuhnya." jawab Aki Sutoyo, "Terakhir aku berjumpa dengan Lati sekitar delapan tahun yang lalu. Dia tampak buruk. Rambutnya telah memutih dan sebagiannya telah rontok. Kulitnya penuh dengan noda. Terus beberapa bulan kemudian, para warga menemukannya di dalam hutan dalam keadaan sudah meninggal..."
 
"Meninggal? Lalu apa yang kulihat kemarin itu?" tanyaku menyelanya dengan terkesiap.
 
Lantas Aki Sutoyo menjawab dengan nada yang serius;
 
"Lati ditemukan sudah meninggal, bersama sembilan butir telur berukuran tidak wajar yang sudah pecah. Tampaknya sebelum meninggal dia sempat bertelur dan menyaksikan anak-anaknya menetas keluar."
 
****

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun