Â
Eyang Jiwatrisna adalah seorang mantan pengusaha kain batik yang memiliki darah bangsawan Keraton, dan tinggal di dalam hutan yang berada di lereng gunung Merapi. Dulunya dia dikenal oleh warga - terutama yang tinggal di tepi hutan lereng gunung Merapi - sebagai orang yang dermawan. Akan tetapi, setelah kematian putri tunggalnya, dia menjadi sangat murung. Ditambah dengan istrinya yang sudah lama meninggal, semakin membuat hati Eyang Jiwatrisna hancur. Rasa sedih; rasa kehilangan; rasa tidak ikhlas telah menguasai dirinya, sehingga dia meminta warga untuk mengubur putrinya di pekarangan belakang rumahnya, agar dia tidak merasa kesepian.
Â
Waktu terus berlalu; Eyang Jiwatrisna masih belum bisa bangkit dari kesedihan dan keputusasaannya. Secara perlahan-lahan, usaha kain batiknya menurun dan bangkrut. Arkian, Eyang Jiwatrisna memilih untuk mengisolasi diri di dalam rumahnya, sekaligus memutus komunikasi dengan warga sekitar. Semenjak itulah mereka sudah tidak mengetahui perihal keadaannya lagi.
Â
Setelah beberapa bulan berlalu, warga - yang tinggal di tepi hutan lereng gunung Merapi - seringkali menemukan berbagai macam keganjilan yang mengganggu; dimana ada sebuah kuburan yang telah dibongkar - dalam beberapa hari sekali secara acak - di pemakaman umum setempat. Hal itu terus berlanjut; hingga pada satu malam, salah seorang warga mendapati - secara samar - Eyang Jiwatrisna sedang mengangkut sebuah mayat dengan mobil pick-up tuanya dan menghilang di dalam hutan yang gelap. Karena kesaksian dan penglihatan yang buram, telah membuat mereka bimbang untuk mengambil tindakan. Mengingat bahwa Eyang Jiwatrisna adalah seorang kakek yang tenggelam dalam duka, sehingga masih banyak warga yang bersimpati dengannya. Akan tetapi, semenjak itulah mulai bermunculan desas-desus mengerikan tentang Eyang Jiwatrisna, yang mengatakan bahwa dia telah kehilangan kewarasannya dan mendalami sebuah ilmu hitam, demi sebuah tujuan mengerikan yang belum diketahui secara pasti.
Â
Bagas, selaku orang yang pernah dekat dengan Eyang Jiwatrisna, merasa iba tapi juga takut dengannya. Dia tidak ingin terbawa arus oleh isu yang berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi malangnya, dia juga tidak bisa menyelidikinya; karena selain takut, tapi juga dengan karakter Eyang Jiwatrisna yang menjaga jarak dari orang lain, selain bagian dari keluarga dan saudaranya. Maka dari itulah, Bagas meminta bantuan orang yang berasal dari pihak keluarga atau saudara Eyang Jiwatrisna untuk bersedia menyelidiki kebenaran dari isu tersebut.
Â
Namun nahas, keluarga besar Eyang Jiwatrisna banyak yang sudah meninggal. Sedangkan saudara-saudaranya telah tenggelam dalam kesibukan mereka sendiri, sehingga tidak memiliki waktu untuk bersinggah. Alhasil, hanya aku - selaku saudara jauh dari beliau - yang bersedia untuk datang. Sebetulnya aku juga tidak dapat memenuhi permintaan Bagas, jika dia memintaku saat masih di minggu kuliah. Tetapi beruntungnya, minggu kuliahku sudah selesai dan sedang menjalani libur transisi semester yang panjang. Walhasil, aku bisa menerima panggilannya dan mengajak kedua orang tuaku untuk ikut. Tetapi sangat disayangkan, mereka sedang sibuk mengurusi pekerjaannya yang padat, sehingga memaksaku untuk datang seorang diri.
Â
****
Â
Setelah melalui perjalanan yang membosankan, akhirnya aku tiba di stasiun Yogyakarta. Lantas aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Selain itu, kedatanganku di Yogyakarta juga disambut oleh awan rendah yang gelap, serta mulai menurunkan rintik air dingin seperti es. Kalakian aku segera melaju ke pintu keluar utama stasiun; di sanalah aku bertemu Bagas yang sudah menunggu kedatanganku. Dia menyambutku dengan hangat dan langsung mengantarku ke mobil kijangnya, lalu bergegas membawaku ke gunung Merapi. Selama di perjalanan, aku saling berbagi cerita dengannya. Akan tetapi, topik pembicaraan kami lebih terfokus pada isu mengerikan dari Eyang Jiwatrisna, seperti yang telah diceritakan oleh Bagas.
Â
Kami terus melaju ke gunung Merapi; menerjang hujan yang lebat dan pendek; hingga kami mulai meninggalkan jalan yang terang dan ramai akan aktivitas warga, serta memasuki sebuah jalan yang gelap dan mati. Sebuah tanda bahwa kami telah memasuki area hutan di lereng gunung merapi. Lebih tepatnya, area hutan yang menjadi tempat Eyang Jiwatrisna berdiam.
Â
Saat itu juga, secara perlahan-lahan, hujan mulai mereda dan berganti dengan kegelapan yang mengaburkan. Tidak ada lampu penerang jalan, sehingga lampu mobil kijang Bagas menjadi satu-satunya penerang yang ada. Ditambah dengan jalan yang masih terbuat dari tanah dan dikelilingi oleh hutan lebat - tidak ada perumahan warga atau tanda-tanda kehidupan - sehingga menciptakan bayangan horor yang mengintimidasi.
Â
****
Â
Setelah cukup lama kami menelusuri hutan yang lebat dan gelap, akhirnya mataku menangkap sebuah bayangan rumah yang diselimuti oleh kegelapan malam. Ketika kami sudah mendekati rumah tersebut, aku mendapati sebuah rumah Eyang Jiwatrisna yang besar dan melankolis. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat; sebuah rumah bangsawan dengan arsitektur campuran Jawa dan Eropa yang lusuh dan menyiratkan sebuah kesenyapan dan duka; dikelilingi oleh pepohonan yang menyerupai bayangan malaikat berjubah muram dan berdoa dengan bahasa murung.
Â
Arkian, Bagas menurunkanku di depan rumah Eyang Jiwatrisna. Dia tidak ingin berlama-lama, karena takut dengan suasana di sekitar rumah tersebut. Lantas Bagas berpamit dan meminta maaf kepadaku; lalu pergi dan menghilang di dalam kegelapan malam; meninggalkanku seorang diri yang sedang berdiri mematung di depan rumah Eyang Jiwatrisna dengan penuh keraguan dan ketakutan yang sulit diungkapkan.
Â
Aku melihat pemandangan di depan mataku; sebuah rumah besar yang terdiri dari dua lantai; memiliki dinding yang suram dan ditumbuhi oleh tumbuhan merambat; jendela-jendela rumah yang tampak seperti tatapan mata kosong; tidak ada lampu penerang di sekitar rumah, sehingga keadaan menjadi sangat gelap; pekarangan rumah telah ditumbuhi oleh alang-alang liar yang tak beraturan; serta bau petrichor yang menusuk hidung. Semua itu membaur menjadi satu dan menciptakan sebuah bayangan jiwa depresi dengan nada yang sensitif.
Â
Selang beberapa waktu kemudian, keluarlah seorang pria tua dari pintu utama rumah tersebut. Dia memiliki tinggi sekitar 5'7 kaki, dengan tubuh yang kurus dan pucat; berusia sekitar kepala enam awal; mengenakan Surjan Lurik dan celana panjang hitam yang lusuh; berkomunikasi dengan bahasa duka. Pria itu adalah Eyang Jiwatrisna. Dia lantas menyambutku dengan hangat, selayaknya sebuah keluarga yang telah lama berpisah. Kemudian, dia mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah, sambil melempar senyuman sayu.
Â
****
Â
Setibanya di dalam rumah, aku banyak sekali berbincang dengannya; bertukar kabar; hingga dia mengajakku untuk melakukan tur rumah. Saat itulah aku menyaksikan seisi rumah Eyang Jiwatrisna yang terlihat bagaikan rumah pengasingan untuk bangsawan Keraton yang berkhianat, dengan campuran desain Eropa yang melankolis, sehingga menciptakan keharmonisan yang misterius atau - mungkin bisa dibilang - kengerian terselubung. Selain itu, hampir di setiap sudut ruangan terdapat lukisan minyak, hiasan kayu dari tokoh pewayangan, serta beberapa foto keluarga Eyang Jiwatrisna. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada salah satu foto besar yang terpajang di dinding ruang tamu. Foto itu adalah foto Eyang Jiwatrisna bersama istri dan putrinya.
Â
Lantas, Eyang Jiwatrisna langsung menceritakan kenangan manis yang ada di dalam foto itu, dengan sebuah tatapan nostalgia yang dibalut senyuman kuyu. Aku yang melihat itu jadi ikut terbawa suasana dan hanya bisa terdiam larat. Istrinya telah meninggal di saat putrinya berusia 14 tahun karena kecelakaan. Kemudian putrinya menyusul di usia 18 tahun karena Leukimia. Alhasil, aku tidak dapat membayangkan rasa kehilangan dalam diri Eyang Jiwatrisna.
Â
Setelah melakukan tur rumah, Eyang Jiwatrisna mengajakku makan malam bersama. Tanpa rasa sungkan aku langsung menerima ajakannya, karena aku juga belum makan malam. Arkian, dia mengantarku ke ruang makan yang dikelilingi oleh lilin kecil yang menyala, serta beberapa foto dan lukisan yang dipajang di dinding, sehingga memberi kesan klasik. Lalu Eyang Jiwatrisna menyajikanku seporsi gudeg dengan nasi kuning. Dia melakukan semua itu seorang diri, karena sudah tidak memiliki pembantu rumah tangga; terutama setelah usaha kain batiknya bangkrut. Walaupun begitu, makanan yang dihidangkannya tetap terlihat lezat dan mengeluarkan aroma yang menggoda.
Â
Lantas aku melahap semua hidangan itu, sembari melempar beberapa pertanyaan kepadanya. Salah satunya adalah kebenaran dari isu mengerikan - tentang dirinya - yang berkembang di kalangan masyarakat. Namun, Eyang Jiwatrisna menepis semua tuduhan tersebut dengan dingin, serta mengutuk si pembuat isu sebagai orang bodoh dan pengangguran yang tidak memiliki kesibukan untuk dijalaninya. Setelah mendengar jawaban itu, aku hanya bisa mengangguk puas.
Â
****
Â
Setelah selesai makan malam dan membantu Eyang Jiwatrisna membersihkan piring dan meja makan; lantas dia mengantarku ke sebuah kamar tidur tamu yang terletak di lantai dua. Setibanya di sana, aku mendapati kamar berukuran empat kali enam meter yang sudah tersedia sebuah kasur, sebuah meja hias, dan sebuah lemari kayu. Eyang Jiwatrisna hanya mengantarku sampai di depan kamar; lalu meninggalkan pesan untuk tidak keluar rumah di malam hari, karena banyak binatang liar yang berkeliaran dari dalam hutan. Kemudian dia memberiku sebuah kunci kamar kuno yang besar dan terbuat dari logam hitam. Setelah itu dia pergi dan menghilang di ujung lorong rumah yang gelap.
Â
Arkian, aku langsung menaruh semua barang-barangku di dalam lemari. Kalakian membaringkan tubuhku di atas kasur; berharap untuk segera mengakhiri malam yang melelahkan ini. Tetapi semua itu sirna, setelah aku mendapati empat foto potret besar yang terpajang di dinding kamar dengan posisi mengelilingi kasur. Semua foto potret itu berisi orang-orang yang memiliki rupa mengerikan; seperti mayat dalam kondisi berantakan dan tidak utuh. Mereka semua melempar tatapan terkutuk dengan mata yang pucat. Perihal yang membuatku gamang adalah foto itu terlihat sangat hidup.
Â
Aku tidak pernah tahu bahwa Eyang Jiwatrisna memiliki hobi mengoleksi foto potret menyeramkan. Bahkan aku juga tidak menyangka bahwa dia juga memiliki humor yang buruk, dengan menaruh semua foto tersebut di kamar tidur tamu. Alhasil, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya, sekaligus merencanakan untuk meminta izin kepada Eyang Jiwatrisna untuk memindahkan semua foto itu di keesokan harinya. Lantas aku memaksa diriku yang tidak nyaman untuk tertidur, sehingga malam kulalui dengan penuh pergulatan melawan kengerian yang mengintimidasi.
Â
Keesokan harinya, setelah aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, aku mendapati perihal yang mencengangkan dan mengerikan daripada apa yang telah kupikirkan sebelumnya. Semua foto potret itu telah menghilang dan berubah menjadi jendela kamar yang menghadap hutan. Walhasil, aku bergidik ngeri dan pikiranku mulai dipenuhi oleh imajinasi liar yang buruk.