Suatu ketika dunia sedang digemparkan oleh sebuah pandemi, sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan perintah karantina mandiri. Alhasil peristiwa ini memberikan dampak buruk bagi semua orang, tak terkecuali terhadap Tejo yang berprofesi sebagai sopir ojek online, yang beroperasi di wilayah Jakarta. Selain seorang sopir ojek online, Tejo juga seorang kepala rumah tangga yang berjuang menafkahi keluarganya.
Kini dia hanya bisa mendapatkan - paling banyak - empat penumpang dalam sehari. Sebuah penurunan yang drastis akibat pandemi yang memaksa orang untuk tidak bepergian keluar rumah.
Hingga pada satu hari, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, sedangkan Tejo masih belum mendapatkan penumpang. Dia menjadi bimbang untuk memilih bertahan untuk menunggu pesanan masuk atau memilih pulang ke rumahnya yang berada di Bekasi. Ketika teringat sang istri sedang sendirian di rumah sembari menjaga anaknya yang masih bayi, membuat hatinya tidak tega untuk terlalu lama meninggalkan keluarganya. Akan tetapi, dia akan merasa bersalah bila pulang dengan tangan hampa.
Saat di tengah kebimbangannya, ponsel Tejo mengeluarkan suara notifikasi masuknya sebuah pesanan. Seketika hatinya menjadi senang, karena pada akhirnya dia mendapat pemasukan. Lebih-lebih lagi, si pemesan menggunakan sistem pembayaran secara tunai.
Tanpa berpikir panjang, Tejo langsung menerima pesanan tersebut - tanpa memperhatikan lokasi tujuan si pemesan yang terletak di suatu tempat di wilayah Jakarta Timur, tepatnya di wilayah perbatasan antara kecamatan Cipayung dengan Jawa Barat - yang berasal dari seorang pemesan perempuan bernama Dhini. Lokasi si pemesan berada di sebuah taman yang jaraknya sekitar 500 meter dari lokasi Tejo berada. Lantas Tejo bergegas menuju ke lokasi si pemesan.
****
Setibanya Tejo di lokasi si pemesan, tampak seorang perempuan muda yang sedang berdiri di bawah pohon sembari menenteng sebuah tas jinjing besar berwarna putih kemerahan. Perempuan itu mengenakan sebuah masker kain berwarna hitam, dengan kemeja putih polos dan rok panjang bermotif batik merah maroon.
Tejo mendekati perempuan itu dan bertanya;
"Mbak Dhini ya?"
Dia hanya menganggukkan kepala.
Lantas Tejo memberikan helm penumpang kepadanya. Kemudian perempuan itu mengenakan helm tersebut dan langsung duduk di bangku belakang motor.
“Permisi mbak, lokasi tujuannya ke mana ya?”
“Kampung Rawabelis, mas.”
“Kampung Rawabelis?”
Terukir jelas raut kebingungan di wajah Leman setelah mendengar nama kampung itu. Sebab, sebagai sopir ojek online yang sudah setahun beroperasi di Jakarta - terutama Jakarta Timur - seharusnya dia sudah mengetahui banyak lokasi, termasuk Kampung Rawabelis. Minimal dia tahu dari teman seprofesinya. Bahkan nama kampung itu juga tidak tertera di dalam peta maupun internet.
“Maaf mbak, saya belum pernah dengar. Itu di mana ya?”
“Itu wilayah perkampungan, mas. Tempatnya memang terpencil di perbatasan dengan Jawa Barat, jadi kurang diketahui banyak orang.”
“Tapi mbak tahu arah jalannya?”
"Tahu, mas. Jalannya searah ke Cileungsi. Nanti biar saya bantu arahkan.”
Tejo hanya mengiyakan dan langsung menjalankan motornya.
****
Satu jam telah berlalu, Tejo masih mengendarai motornya - dengan mengikuti petunjuk jalan dari Dhini - hingga memasuki suasana jalan yang sudah berbeda dengan suasana jalan - pada umumnya - di Jakarta.
Banyak perumahan dan pertokoan kecil yang menghiasi pinggir jalan yang sepi dan sempit. Selain itu juga, masih terdapat beberapa lahan kosong yang ditumbuhi oleh rerumputan dan pepohonan liar. Tempat ini sangat berbeda dari suasana kota Jakarta pada umumnya - yang lebih didominasi bangunan jangkung, kafe, maupun pertokoan - seakan sudah mendekati perbatasan antara Jakarta dengan Jawa Barat.
“Di depan kiri sana ada jalan. Nanti masuk ke jalan itu ya.” ujar Dhini sambil menunjuk sebuah jalan kecil yang gelap dan terhimpit oleh pepohonan bambu yang lebat, sehingga sedikit menutupi jalan tersebut.
Tejo mengikuti perintahnya dan masuk ke dalam jalan itu. Tidak jauh di dalam sana, terdapat sebuah jembatan gantung bambu yang arkais. Panjangnya kurang lebih sekitar 50 meter yang menyeberangi sebuah sungai dan menghubungkannya ke suatu tempat yang gelap.
Tejo merasa heran saat melihat jembatan itu. Sebab dia tidak pernah melihatnya di Jakarta. Maka itu, dia menyeberanginya dengan kewaskitaan, karena sebagian besar bambunya sudah lapuk.
Setelah Tejo melewati jembatan itu, terlihat sebuah plang besi tua berkarat yang terletak tidak jauh dari pintu jembatan, dengan bertuliskan;
“Selamat Datang di Kampung Rawabelis”
Lantas Tejo melaju masuk ke dalam kampung tersebut dengan perasaan cemas, bingung, dan penasaran.
Tempatnya sangat gelap karena tidak ada lampu penerang jalan, sehingga lampu motornya menjadi satu-satunya alat penerang yang ada. Jalanannya masih terbentuk dari tanah yang dihiasi oleh berbatuan kerikil. Rerumputan liar dan pepohonan besar masih bertumbuh subur di sekeliling jalan. Di pinggir jalan banyak dihiasi oleh batu-batu yang berbentuk seperti nisan - tertata bagaikan area pemakaman tanpa nama - dan patung-patung batu yang berbentuk dedemit. Perumahan yang berdiri di pinggir jalan juga masih berbentuk rumah kebaya yang memiliki corak warna suram daripada rumah kebaya pada umumnya dan terlihat tidak terawat.
Selain itu, Tejo merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan di sepanjang jalan, terutama dari balik jendela rumah-rumah kebaya itu. Ditambah dengan suasana lingkungan yang sepi - bagaikan kota mati - semakin membangun atmosfer horor. Walhasil Tejo merasa sangat tidak nyaman selama berada di dalam kampung itu.
“Berhenti mas! Kita sudah sampai. Rumah saya ada di sebelah kanan.” ujar Dhini.
Lantas Tejo langsung menepi ke bahu kanan jalan dan memarkirkan motornya di depan sebuah rumah kebaya yang berwarna nila dan cokelat tua yang pudar, serta pepohonan dan tanaman kering yang menghiasi halaman rumah itu, sehingga memberi kesan melankolis.
Dhini turun dari motor dan berkata;
“Mas, bisa bantu bawakan tas jinjing ini ke dalam rumah? Sama sekalian, saya mau ambil uang.” ujarnya sambil mengembalikan helm penumpang yang telah digunakannya kepada Tejo.
Awalnya Tejo ingin menolak, karena perasaannya yang sudah diselimuti oleh rasa takut. Akan tetapi, dia tidak ingin pulang tanpa hasil, sehingga dia terpaksa mengiyakan permintaan Dhini dan ikut masuk ke dalam rumah itu sembari membawakan tas jinjingnya - berisi kantong plastik hitam yang terikat - yang cukup berat.
****
Setibanya di dalam rumah, Dhini meminta Tejo untuk menaruh tas jinjingnya di atas meja kayu yang ada di ruang tamu dan menyuruhnya untuk menunggu di sana. Dia beralasan ingin mengambil uang dan membuatkan secangkir kopi hangat untuknya.
Kemudian Dhini masuk ke dalam ruang keluarga, sembari membawa kembali tas jinjingnya yang sudah ditaruh Tejo di atas meja. Tejo hanya mengiyakan permintaannya, meskipun dalam hati dia merasa ganjil dengan gelagat Dhini. Namun Tejo berusaha untuk tidak berburuk sangka dan menunggunya.
Seraya menunggu, dia melihat-lihat furnitur yang ada di ruang tamu yang lembab dan kotor. Hampir di semua sudut ruangan telah ditumbuhi oleh lumut. Selain itu banyak sekali hiasan batu yang berbentuk ganjil dan sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Seketika mata Tejo tertuju pada sebuah foto keluarga - bergaya era kolonial - yang berdebu, di dalam sebuah lemari hias yang terletak di tembok ruang tamu, di sisi kiri pintu masuk ke ruang keluarga. Kemudian dia mendekati dan melihat foto itu, lantas Tejo menjadi bergidik.
Semua orang yang berada di dalam foto itu berbentuk seperti humanoid. Ada yang berbentuk seperti manusia setengah reptil, ikan, serangga, dan sebagainya yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Yang paling mengerikan adalah foto itu terlihat asli dan tua, sehingga tidak menunjukkan hasil editan digital.
Tiba-tiba tercium aroma bau anyir darah - yang sangat menyengat - di sekitar Tejo, selayaknya di lokasi kecelakaan atau tempat penyembelihan hewan kurban. Ditambah dengan perpaduan bau sangit dan amis, sehingga membuatnya menjadi mual.
Lantas Tejo bergegas masuk ke ruang keluarga - dengan harapan dapat menemui Dhini - untuk memintai uang bayaran dan bergegas pulang. Tetapi setibanya di pintu masuk ruang keluarga, langkah Tejo terhenti dan dia melihat sebuah pemandangan - yang seharusnya tidak dia lihat - di sebuah kamar yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada.
Tejo melihat sesosok makhluk yang berbentuk seperti humanoid sedang terbaring di atas kasur, dengan diselimuti oleh secarik kain batik cokelat. Makhluk itu memiliki mata yang besar seperti ikan, mulut yang lebar dan tak memiliki bibir, dan tidak memiliki hidung. Kepalanya botak tidak beraturan - seperti orang pengidap kanker - dengan beberapa sisa rambut tipis yang terurai panjang di kepalanya. Mukanya mengkerut sehingga menambah kesan yang menakutkan sekaligus menjijikan. Kulit makhluk itu berwarna putih kehijau-hijauan dan berlendir bagaikan kulit amfibi.
Di lantai kamar itu berserakan berbagai macam gumpalan daging bersama potongan tangan, kaki, kepala, dan organ dalam manusia. Darah berceceran di lantai ruangan itu. Arkian, banyak tumpukan kerangka manusia yang tidak utuh - berserakan di beberapa sudut ruangan - dengan di antaranya terlihat pakaian-pakaian yang diduga milik korban. Di antaranya terdapat jaket sopir ojek online, lengkap dengan logo perusahaannya.
Tidak lama kemudian, terlihat Dhini memasuki kamar itu dari pintu lain - penghubung ke dapur - yang berada di dalam kamar tersebut. Dia tidak menggunakan masker, sehingga memperlihatkan wajahnya yang memiliki mulut lebar dengan bibir yang menyatu dengan gigi tajam tidak beraturan, yang berbentuk seperti paku. Lalu dia duduk di tepi kasur dan menyodorkan sebuah mangkuk berisi potongan tubuh manusia dan daging mentah - masih berlumuran darah segar - kepada makhluk itu. Lantas makhluk itu memakannya dengan rakus bagaikan babi yang kelaparan.
Pemandangan horor itu membuat bulat hati Tejo untuk pergi dari rumah itu, tanpa mempedulikan uang bayaran. Ketika Tejo hendak berpaling, mata makhluk itu berhasil menangkapnya dan menjerit melengking dengan suara ganjil - yang kemudian - diikuti oleh jeritan Dhini dengan ekspresi yang menakutkan. Sesudah itu, terdengar rentetan suara jeritan yang serupa dari dalam rumah-rumah tetangga Dhini, seakan membalas jeritan mereka berdua.
Lantas Tejo langsung berlari keluar menuju motornya dan bergegas meninggalkan rumah kebaya itu. Seketika semua warga keluar dari rumah mereka masing-masing sembari membawa parang, garpu tanah, sabit, dan benda tajam lainnya. Mereka semua berbentuk seperti humanoid - serupa dengan orang-orang yang ada di dalam foto - dengan sebagian besar memiliki wujud serupa dengan makhluk yang berada di rumah Dhini. Semua mata mereka memancarkan cahaya berwarna hijau zamrud, sehingga mereka mampu melihat di dalam kegelapan.
Mereka semua mengejar Tejo - dengan penuh amuk - menggunakan langgam yang beragam. Ada yang berjalan seperti manusia normal yaitu dengan dua kaki, ada yang berjalan dengan tangan, ada yang merangkak, ada juga yang berjalan dengan perut, dan bahkan ada juga yang melompat-lompat.
****
Sekilas dari kejauhan, lampu motor Tejo berhasil menangkap sebuah plang besi tua berkarat yang terletak di depan jembatan penghubung keluar kampung. Hatinya merasa lega karena sudah mendekati jalan keluar dari kampung yang terkutuk ini. Lantas, dia langsung menaikan laju motornya ke arah pintu jembatan itu. Tetapi nahas nasibnya, di pintu jembatan sudah ada dua warga kampung yang memblokade jalan dengan potongan batang pohon.
Warga kampung itu berwujud manusia setengah kadal dengan sebilah celurit di tangannya. Sedangkan yang satunya lagi berbentuk setengah kalajengking dengan khas ekornya, berwajah setengah manusia dan setengah serangga, serta kedua tangannya yang berbentuk penjepit. Lantas kedua humanoid itu berlari ke arah Tejo dan hendak menyerangnya dari depan.
Seketika Tejo melihat sebuah pintu jalan kecil di tepi jurang sungai, yang terletak di bahu kanan jalan. Dengan tanpa rasa ragu, Tejo bergegas melaju ke jalan kecil tersebut.
Sontak makhluk yang berbentuk setengah kadal itu langsung melompat dan mengayunkan celurit ke tubuh Tejo. Sedangkan yang satunya lagi - makhluk yang berbentuk setengah kalajengking - langsung mengarahkan mata jarum ekornya ke arah kepala Tejo. Namun beruntung, Tejo masih dapat menghindari semua serangan tersebut dan menaikan laju motornya, sehingga dia berhasil masuk ke jalan kecil itu. Walhasil kedua humanoid itu menjerit melengking, seakan memberi sinyal - kepada warga kampung yang lainnya - mengenai keberadaan Tejo.
****
Setibanya di dalam jalan kecil - selebar dua meter - di tepi jurang sungai yang gelap dan dihiasi pepohonan liar di bahu kanan jalan, hati Tejo merasa sedikit tenang - meskipun dia tidak tahu ke mana jalan ini akan mengantarkannya - dan berharap dapat menemukan jembatan lain yang menghubungkan keluar kampung.
Tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hitam melompat tepat di depan Tejo, sehingga dia menjadi terkejut dan kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya dia terjatuh dari motornya. Saat Tejo berusaha bangkit dan melihat ke lingkungan sekitar - dengan bantuan cahaya lampu motornya - tampak Dhini sedang berdiri di hadapannya. Kini dia terlihat tidak jauh berbeda dengan makhluk yang berada di rumahnya, kecuali rambutnya yang lebih lebat.
Lantas Dhini membuka mulut selebar-lebarnya dan mengeluarkan jeritan khas warga kampung, yang kemudian diikuti oleh rentetan suara jeritan dari berbagai arah. Sesudah itu, mulai bermunculan sepasang cahaya berwarna hijau zamrud dari berbagai arah di balik pepohonan liar pinggir jalan, yang menandakan bahwa para warga kampung sedang menuju ke arah Tejo berada.
Tejo memohon belas kasihan kepada Dhini, namun hanya direspon dingin. Seketika leher Dhini membesar - seperti balon - dan mengeluarkan seekor belut besar - berkepala seperti hiu jumbai yang tidak memiliki mata dan bergigi seperti jarum - dari mulutnya. Tejo menatap belut itu dengan penuh kengerian tak ternilai. Sontak belut itu langsung menyerang Tejo dengan mulutnya. Akan tetapi, Tejo berhasil menghindari serangan tersebut dan melompat ke dalam jurang. Lalu menghilang dalam kegelapan yang diselimuti oleh jeritan para warga kampung.
****
Keesokan harinya, Tejo ditemukan oleh aparat keamanan - yang sedang berpatroli - di sebuah sungai dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Kemudian jasad Tejo dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan autopsi.
Hasil dari autopsinya, pihak berwajib menyimpulkan bahwa Tejo meninggal akibat mengalami benturan keras dengan bebatuan sungai - hingga menghancurkan helmnya - di beberapa bagian vital di kepalanya. Namun mereka tidak menemukan jejak kekerasan di tubuh Tejo, kecuali luka lecet akibat terjatuh dari motor. Walhasil mereka mengambil kesimpulan, bahwa Tejo mengalami kecelakaan saat berkendara, sehingga terjatuh ke dalam sungai.
Di hari yang sama, jasad Tejo dimakamkan - secara protokol kesehatan - di Bekasi. Pemakamannya meninggalkan rasa duka yang mendalam terhadap keluarga dan teman-teman seprofesinya. Bahkan mereka semua tidak diizinkan untuk hadir di pemakamannya, dengan alasan situasi yang masih pandemi. Kini tubuh Tejo terkubur dalam-dalam bersama kesaksiannya akan Kampung Rawabelis.
****