Entah oleh sebab apa, dia bangkit dari duduknya dan mematikan televisi. Di samping tempat duduknya sebuah genangan membasahi lantai. Kenapakah..? Oh, rupanya itu air muntahan liurnya. Ia telah menjadi jengah. Jengah bercampur muak yang telah memuncak. Telah lama ia begitu. Ya, bila muaknya memuncak, ia kan memuntahkan air liurnya dimana saja. Ember yang terletak disamping kanannya menjadi benda tak berguna.
Selepas mematikan televisi itu, ah, masih saja ia mendengar semua tetek bengek berita televisi tersebut. Bahkan lengkap dengan segala bumbu tambahannya. Di Warung kopi. Di ruang kerja pabriknya. Di lingkungan rumahnya. Begitulah. Maka tak ada jalan lain. Tak ada hal lain yang bisa ia pikirkan kecuali.....menjadi siput.
Ia berkata, untuk apa melihat dan mendengar semua kebengalan dan kekacauan itu..? Tak ada kecuali memusingkan kepala dan merasakan muak tak tertahan. Lebih baik, menjadi siput sajalah aku. Tepat setelah kata-kata itu keluar dari bibirnya, ia meraih sebuah cangkang yang terletak disamping kirinya. Dengan cepat ia mengenakannya. Ia masuk kedalam cangkangnya. Tak ada suara dan tak ada apa-apa yang ia lihat. Ketenangan telah menjadi miliknya.
Maka menjadi siputlah aku. He, kata-kata mantera yang selalu ia ucapkan saat jengahnya memuncak. Begitulah siput kambuhan itu. Dasar siput ..!