Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Butuh Penghayatan yang Setara, Saat Kita Menerima Seperti Saat kita Memberi

4 Maret 2017   22:21 Diperbarui: 5 Maret 2017   20:00 680 4
Di ruang tunggu sebuah bengkel, saya bertemu orang tua dari murid saya dua tahun lalu. Kami bercengkrama sembari menunggu motor kami diservis. Walau saya datang awal, motornya ternyata selesai lebih dulu. Wajar saja, saat itu motor putih saya memang sedang mengalami komplikasi. Dari spidometer yang rusak, rem yang tak lagi cakram, hingga tarikan yang kasar. Ibu dengan penampilan sederhana itu melangkahkan kaki ke kasir kemudian berpamit. Kami saling melemparkan senyum. Giliran saya tiba. Derap kaki saya ke kasir agak berat mengingat tagihan yang membengkak karena komplikasi tersebut. Di hadapan bapak pemilik bengkel saya siap dengan dompet. Namun bapak dengan kumis garang itu melemparkan senyum seraya mengatakan bahwa tagihan saya telah lunas. Saya terkejut, ternyata mama dari (mantan) murid saya itulah yang telah menraktir ongkos servis motor. Senang, kaget, dan sungkan bercampur jadi satu. Bapak pemilik bengkel lantas menyambung ucapnya, saya kuatir dia akan berkata “cuma bercanda”, namun untungnya tidak. Dia dengan logat Suroboyo-nya justru mengatakan sesuatu yang saya akan ingat seumur hidup: “wajar kamu dibayari, tapi nanti kalau kamu sudah mapan kamu akan gantian bayari orang seusiamu sekarang”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun