Namanya mas Dion, tanpa ‘Wiyoko’. Perawakan hingga cara bicaranya entah mengapa mengingatkan saya pada seorang Agus Mulyadi. Siapa sangka, ia menjadi alasan saya tersenyum sendiri saat mencuci baju pagi ini. Tak ada seragam hijau kebanggaan korporasi tempatnya bekerja, ia hadir menjemput saya justru dengan jeans ramping hitam dan kemeja panjang flannel bermotif kotak-kotak. Saya sendiri saat itu mengenakan dress batik pendek dan duduk menyamping. Bisa dipastikan, orang yang melihat kami ngobrol dengan akrabnya akan mengira kami sejoli muda yang hendak malam mingguan.
KEMBALI KE ARTIKEL