Menurut saya, jakarta adalah tempat melatih diri, mematangkan karakter, penguji kesabaran, pengasah intuisi, pelatih menejemen diri, pencetus strategi untuk orang-orang yang siap ‘tempur’ dan tahan uji.
Hidup dijakarta dengan segudang problema awalnya hanya saya simak lewat media massa dan televisi. Dianggap sebagai topik berita monoton yang sudah tidak aneh lagi. Kemacetan, kriminalitas, persaingan pekerjaan, gelandangan, sampai masalah birokrasi dan politik yang banyak diangkat kepermukaan. Seperti tak ada habisnya mengangkat topic ini.
Jakarta dulu lain dengan Jakarta sekarang. Jakarta yang dulu dianggap sebagai kampungnya orang betawi, terus berpacu sebagai kiblatnya pemerintahan dan pergerakan ekonomi. Menjadi titik akses ratusan kegiatan beragam yang menggiring pemikiran setiap individu untuk mencoba peruntungannya, berbekal pendidikan atau tidak sama sekali.
Atas dasar itu juga mengapa banyak orang lebih mengesampingkan gambaran-gambaran negative tentang Jakarta. Karena terpatok pada acuan baku yang terlanjur tersegel tentang Jakarta yang sudah maju dibidang ekonomi, penyedia lapangan pekerjaan dan wadah usaha yang ‘mudah ditemukan’. Benarkah demikian?
Saya disini akan sedikit berbagi tentang pengalaman singkat yang banyak saya ambil pembelajaran didalamnya.
Tahun 2000 silam, saya menemukan jawabannya sendiri. Bersama empat orang teman, kami yang anak mama (terbiasa deket ibu dan keluarga terus hehehe) mencoba peruntungan melamar pekerjaan disebuah perusahaan asing yang bergerak dibidang elektronik. Untungnya, kami bisa diterima diperusahaan tersebut secara bersama-sama dengan masa training tiga bulan. Itupun harus dilicinkan oleh uang senilai satu juta ( pembelajaran buat saya bahwa untuk mendapat uang harus keluar uang dulu). Dengan gaji yang minim ( karena karyawan training hanya mendapat gaji setengahnya), kiat berhemat sangat dibutuhkan. Untuk membayar kamar kost yang berukuran kecil kami menyiasatinya dengan ‘patungan’. Itupun dengan resiko berdesakan. Sedikit sumpek juga untuk ditempati oleh empat orang. Belum lagi kalau harus antri mandi (karena kebetulan jam kerja kami sama masuk jam delapan pagi), nyuci baju, atau ada keluarga dan teman lain yang berkunjung. Dalam hal ini, butuh kesabaran dan toleransi tinggi. Untuk makan biasanya kami makan di warteg dengan menu sederhana. Ingin liburan akhir pekan? Siap-siap saja pertengahan bulan harus mengencangkan ikat pinggang. Alih-alih mendapat uang lebih untuk ditabung, saya harus memutar otak mendapat uang tambahan.
Menyelesaikan kuliah adalah keinginan terbesar saya waktu itu. Dengan tekad tersebut, waktu luang yang biasanya saya gunakan untuk liburan akhir pekan dengan teman-teman, saya gunakan untuk mengajar les computer untuk pemula. Pada kesempatan luang yang lainnya, digunakan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan dari usaha MLM yang saya jalani. Lelah? Tentu saja. tapi saya tidak ingin mengeluh karena waktu terbuang sia-sia dengan hura-hura dan menghabiskan uang dengan percuma. Tempat ini tidak membiarkan kita untuk bersantai dan berleha-leha. Kita harus bergegas memanfaatkan peluang yang ada dengan intuisi yang kita miliki.
Persoalan lainnya adalah saat saya melawan kejenuhan dengan rutinitas harian yang cukup menyita tenaga, pikiran dan waktu. Saling sikut atau cari muka di sebuah perusahaan, itu sudah biasa. Hasil kerja kita yang sungguh-sungguh malah orang lain yang mendapat kesan baik, belum lagi kalau diserobot ide atau kesalahan yang sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan kredibilitas kita. Hal ini terkadang mengalahkan penatnya kemacetan dan panasnya suasana berdebu dijalanan. Menyikapinya? Bersaing secara sehat sangatlah dibutuhkan. Saya mencoba menemukan hal-hal baru yang dapat saya pelajari untuk meningkatkan mutu kerja. Hubungan dengan beberapa rekan kerja dan atasan saya anggap sebagai pengenalan terhadap karakter mereka. Tak kenal maka tak sayang bukan? Kalau sudah kenal, masih disikut juga, itulah hidup dijakarta. Harus tahan banting.
Setahun tinggal diperantauan, bukanlah waktu yang singkat bagi saya. Komunikasi yang hanya bisa dilakukan lewat telefon, kian menambah kerinduan pada keluarga dan tanah kelahiran. Makanya saya memutuskan untuk pulang kerumah, memanfaatkan liburan akhir tahun. Tapi sepulangnya dari rumah, kejadian yang bikin shock memberikan saya pembelajaran baru. Dikawasan cakung, dalam sebuah angkutan umum (bis) tiga perempat yang minim penumpang, empat orang pemuda bertato menodongkan pisau dan mengancam agar kami menyerahkan semua perhiasan dan uang yang kami bawa. Kami shock, sementara sopir bis tersebut hanya diam saja, tidak berusaha membantu. Uang dan perhiasan yang kami bawa raib. Salah satu teman malah mendapat pelecehan seksual. Masih dalam keadaan shock, kejadian tersebut kami ceritakan pada dua orang teman yang sudah kami kenal 6 bulan ssebelumnya. Bukannya ikut simpati dan menolong, mereka memanfaatkan kelabilan kami. Disodorkannya sebungkus ‘rokok’ dan beberapa butir pil yang katanya untuk menenangkan kami. Oh my god, kami hampir saja terjebak mencoba benda narkotik tersebut. Untung saja Tuhan segera mengembalikkan kesadaran kami. Dengan kejadian itu, saya jadi tahu teman seperti apa mereka. Memilih teman memang perlu tapi waspada dan tetap punya control dan proteksi pribadi, lebih penting lagi. Hmmm..jadi ingat pepatah “menjadi ikan tawar dilautan yang asin” hehehe.
Jakarta memang keras. Sekeras kita mencoba untuk tetap bertahan hidup dengan berbagai permasalahan didalamnya. Macet, panas, polusi, persaingan, ajang spekulasi, kriminalitas dan persoalan lainnya. Tapi kita bisa menyikapinya dengan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran terbaik untuk mematangkan daya hidup dijakarta.
Dengan kondisi tersebut, semoga jakarta bisa menjadikan pribadi-pribadi yang waspada, pandai memanfaatkan peluang, berintuisi tajam, pandai berstrategi, berani berspekulasi, pandai beradaptasi dengan multi karakter individu, mengajarkan proteksi pribadi yang sehat. Bukan sebagai pribadi yang temperament, putus asa, tertekan, dan pencipta peluang agar orang menghalalkan berbagai cara untuk bertahan hidup.