Judul tulisan di atas sama dengan judul sebuah novel karya Mochtar Lubis yang terbit tahun 1952 dan dicetak ulang oleh Yayasan Pustaka Obor tahun 2010. Dalam novel tersebut dilukiskan situasi dan kondisi Bangsa Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945. Walaupun penulis novel hanya mengambil setting di Jakarta saja, tetapi itu cukup mewakili situasi dan kondisi Bangsa Indonesia pada waktu itu. Setelah Jepang angkat kaki dari bumi Indonesia, Negara Indonesia didirikan, tidak lama kemudian Belanda dengan membonceng sekutu berhasrat menguasai kembali Indonesia. Kondisi masyarakat pada waktu itu dilanda oleh kecemasan dan ketakutan akan masa depannya. Harga beras mahal, pendidikan tidak menentu, perang mempertahankan negara baru meletus dimana-mana, setiap hari berhembus kabar tentang orang yang luka dan meninggal dunia. Ada salah satu dialog yang menarik antara tokoh Hazil dengan Guru Isa mengenai perjuangan banga Indonesia. Hazil mengatakan
“Ini musik menyanyikan perjuangan manusia sebagai manusia.” Hazil meneruskan, suaranya kembali gembira,”Manusia seorang-seorang. Tahukah engkau maksudku? Perjuangan manusia yang bukan dalam gerombolan. Bukan salak serigala dan geram, sedu sedan, dan teriak nyaring serigala seekor-seekor yang merebut hidup. Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagian manusia adalah dalam perkembangan seorang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.” Dialog ini menggambarkan tentang arti sebuah perjuangan bagi individu. Setiap individu berhak untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri tetapi kepentingan negara harus tetap berada di atas kepentingan individu-individu. Kebahagian akan didapat apabila setiap individu mampu memberikan sumbangsih kepada negara atau dengan kata lain kebahagiakan akan didapat apabila setiap individu mampu menjalin keharmonisan dengan individu lainnya. Sekarang, kondisi masyarakat Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia pasca dibentuknya republik ini. Harga kebutuhan pokok melambung, pendidikan mahal, biaya berobat tidak terjangkau, nyawa manusia begitu mudah melayang. Yang membedakan hanya situasi yang melatarbelakangi keadaan ini. Atas nama eksekutif, legislatif, dan yudikatif, individu dan golongannya mempermainkan kepentingan rakyat. Kebijakan pemerintah hanya menguntungkan kepentingan golongan tertentu. Wakil rakyat hanya membela kepentingan partai politik yang mengusungnya. Sedangkan hukum dibuat compang camping, hanya berlaku untuk orang-orang pinggiran saja. Yang pada akhirnya membuat kepercayaan rakyat terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif menurun. Semuanya ini terus berputar seperti jalan tidak ada ujungnya. Ernest Renan mengatakan bahwa suatu bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama. Bangsa Indonesia terbentuk karena adanya keinginan bersama untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Tujuan akhirnya adalah membentuk sebuah negara yang bernama Indonesia. Sebuah negara yang berdaulat dan mampu mewujudkan semua cita-cita Bangsa Indonesia. Cita-cita ini pertamakali diwujudkan dengan diselenggarakannya kongres pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan, cita-cita Bangsa Indonesia pun diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar tahun 1945. Cita-cita besar bangsa Indonesia yang termaktub dalam undang-undang dasar ini wajib menjadi rujukan bagi semua pemegang kebijaksanaan yang sedang berkuasa di negara tercinta ini. Untuk mencapai tujuan bernegara, individu dan golongan harus menempatkan kepetingan negara di atas kepentingannya sendiri. Individu dan golongan bukanlah gerombolan serigala yang hanya mengaum, menyalak, sedu sedan untuk kepentingan hidupnya sendiri. Individu tidak harus menjadi serigala bagi sesamanya. Individu harus menghormati perjanjian bersama pada saat mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban sehingga tercapai kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Apabila semua itu dapat dilaksanakan dalam kehidupan bernegara, masyarakat tidak akan tenggelam dalam rasa kecemasan dan ketakutan akan masa depannya. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif akan menjadi lembaga kepercayaan bagi masyarakat untuk mengatur negaranya. Jalan yang tidak ada ujung, perlahan-lahan akan menemukan akhirnya. Negara pun akan menjadi suatu negara yang Baldatun Thayyibatun wa rabbun Ghafur, yaitu sebuah negeri yang subur dan makmur, adil dan aman. Dimana yang berhak akan mendapat haknya, yang berkewajiban akan melaksanakan kewajibannya dan yang yang berbuat baik akan mendapat anugerah sebesar kebaikannya. Tidak ada lagi kezaliman.
KEMBALI KE ARTIKEL