Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Mental Politikus Dalam Persepakbolaan Indonesia

14 Januari 2011   21:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 335 0
Dalam dunia perpolitikan di tanah air, apabila seseorang atau sekelompok orang tidak terakomodasi keinginannya dalam sebuah partai politik, biasanya seseorang atau sekelompok orang ini akan mendirikan partai politik baru. Media di tanah air biasanya menyebut partai politik tandingan atau partai kubu A dan kubu B. Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia di jaman orde baru. Atau Partai Kebangkitan Bangsa, terdapat PKB versi Muhaimin Iskandar atau versi Yenni Wahid putri dari almarhun Gus Dur. Akibatnya di dalam masyarakatpun terjadi pro dan kontra. Yang pada akhirnya merugikan partai politik itu sendiri.

Ternyata yang namanya “Tandingan” tidak hanya di monopoli oleh dunia politik saja. Dalam dunia sepakbola, yang merupakan olah raga paling populer di tanah air ini pun terjadi hal-hal seperti yang terjadi di dalam dunia politik. Munculnya Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas pengusaha Arifin Panigoro dapat diartikan sebagai tandingan dari Liga Super Indonesia (LSI) yang dikelola oleh PSSI.

Merujuk kepada tujuan LPI sebagaimana dikatakan oleh Arifin Panigoro adalah sebagai langkah awal menuju profesionalisme dan kemandirian sepak bola Indonesia yang juga dapat berarti untuk menghilangkan ketergantungan klub sepakbola kepada APBD yang merupakan uang rakyat. Selain itu dengan adanya LPI, para insan sepakbola, baik pemain dan pelatih sepakbola yang menggantungkan hidupnya dari sepakbola dan tidak ikut dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh PSSI akan kembali mampu mengisi periuk nasinya. Bagi masyarakat pecinta sepakbola dengan adanya LPI akan memberikan alternatif pilihan dalam menikmati tontonan sepakbola selain ISL.

Masalahnya, apakah LPI ini dapat dijadikan tolak ukur pembinaan sepakbola nasional atau hanya sebagai tandingan akibat kekecewaan terhadap PSSI. Otorisasi sepakbola di Indonesia berada di tangan PSSI. Artinya semua pembinaan sampai dengan pembentukan tim nasional berada di tangan PSSI. Kalau PSSI menganggap LPI ini illegal mau dikemanakan pemain-pemain sepakbola berbakat yang memperkuat LPI. Sungguh sayang apabila LPI melahirkan pemain-pemain berbakat tetapi tidak mampu memperkuat Tim Nasional. Padahal setiap pemain sepakbola pasti memimpikan untuk dapat memperkuat Tim Nasional negaranya. Lalu klub juara LPI apakah dapat menjadi wakil Indonesia berkompertisi di tingkat Asia atau dunia?

LPI sebagai sebuah kompetisi sepakbola di tanah air patut kita acungi jempol. Tetapi kalau tujuannya hanya untuk membentuk klub sepakbola yang mandiri dan professional, mengapa para deklarator LPI yang mempunyai kelebihan dana tidak mensponsori klub-klub sepakbola yang telah ada. Terlepas dari ketidaksukaan kepada pengurus PSSI yang sekarang, mungkin akan lebih baik apabila para deklarator LPI membentuk sebuah tim yang mandiri dan professional yang berada dalam kompetisi PSSI. Para deklarator LPI dapat memberikan contoh pengelolaan klub yang baik sehingga menjadi masukan bagi pengurus PSSI. Selain itu para pemain sepakbola terutama pemain sepakbola yang berusia muda tidak hanya menjadi pemain yang mendapatkan bayaran saja tetapi juga berkesempatan untuk memperkuat Tim Nasional Indonesia.

Kehadiran LPI seharusnya menjadi cermin bagi pengurus PSSI terutama sang ketua umum Nurdin Halid bahwa masih banyak orang-orang yang peduli kepada sepakbola nasional. Prilaku Nurdin Halid yang menuai banyak kontroversi dan menimbulkan kecaman pecinta sepakbola nasional seharusnya membuat beliau legowo untuk segera mundur sebagai ketua umum PSSI. Kalau Nurdin Halid mengatakan bahwa yang menyuruh dia mundur pada saat final Piala AFF 2010 di Gelora Bung Karno itu dibayar, itu adalah salah besar. Sebab sebelum Piala AFF 2010 digelarpun sudah banyak pecinta sepakbola nasional yang tidak menginginkan beliau duduk sebagi ketua umum PSSI.

Sebuah partai politik selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukannya semata-mata untuk kepentingan rakyat. Begitupun yang terjadi dengan LPI dan LSI, semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memajukan persepakbolaan nasional. Kalau sudah mempunyai tujuan yang sama mengapa harus berjalan masing-masing. Bukankah kebersamaan itu lebih baik. Berbeda pendapat adalah suatu kewajaran tetapi jangan sampai merusak tujuan awal yang telah ditetapkan. Dunia olahraga bukanlah dunia politik yang saling menjegal dan menjatuhkan lawan untuk mendapatkan kekuasaan. Dunia olahraga adalah dunia sportivitas dan fair play. Buat apa setiap menjelang pertandingan selalu dikibarkan bendera fair play sedangkan dalam kenyataanya sebaliknya.

Dalam dunia politik di negara kita ini, banyak anggota dewan, pejabat atau kepala daerah yang berasal dari partai politik terjerat dalam masalah hukum. Tetapi dengan entengnya mereka selalu mengatakan bahwa mereka tidak bersalah. Pun demikian banyak anggota dewan, pejabat atau kepala daerah yang tidak mampu memenuhi janjinya pada saat berkampanye tetapi mereka tidak mau dikatakan gagal. Anggota dewan, pejabat atau kepala daerah yang seperti itu, jangankan mengakui kegagalannya disuruh mundurpun mereka tidak mau. Mereka selalu mengatakan “ada mekanismenya” Padahal sudah jelas mereka sudah gagal dan tidak dikendaki oleh masyarakat lagi.

Sepakbola adalah olahraga yang paling banyak diminati di negara ini. Dengan sepakbola rasa nasionalisme rakyat Indonesia yang akhir-akhir ini luntur tiba-tiba bergema kembali. Sepakbola telah menjadi perekat seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan agama, ras, dan suku. Munculnya dua kompertisi sepakbola LSI dan LPI jangan sampai membuat rasa persatuan dan kesatuan menjadi terpecah belah lagi. Sepakbola milik semua kalangan. Kalau kita mau benar-benar memajukan sepakbola nasional, hilangkan rasa ego di masing-masing kubu. Hilangkan mental partai politik dalam dunia sepakbola. Sepakbola kita akan hancur kalau terus menerus dikelola oleh bukan ahlinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun