Sudah beberapa minggu ini beliau tidak nampak di kampus. Aku rindu dengan sapaan dan senyum ramahnya. Kabar terakhir yang kudengar, Pak Najwan tengah mempersiapkan ujian doktoralnya. Aku memberikan dukungan doa untuknya, semoga beliau diberi kemudahan dalam semua urusannya.
Tak bisa kupungkiri sayatan hatiku sering muncul demi menahan rindu yang kian membuncah. Namun, aku cukup tahu diri. Aku tak lebih dari mahasiswanya. Tak pantas rasanya aku memiliki bongkahan rindu yang salah ini.
Hari ini seluruh keluarga kakak-kakak ibuku berkumpul. Malam ini akan dilangsungkan akad nikah ibuku. Aku bahagia karena akhirnya ibu akan memiliki sandaran dalam kehidupannya. Aku tahu ibu sangat memerlukannya. Kehidupan ibu semakin berat dan memerlukan kehadiran seorang suami yang membuatnya tegar.
Selepas Isya rombongan calon pengantin pria datang. Aku sibuk menyiapkan meja prasmanan bersama sepupu yang lain. Setelah semua beres aku berkumpul dengan semua keluarga di belakang rombongan mempelai lelaki. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Badannya cukup tinggi dan berisi.
Tidak banyak acara yang dilalui. Paman Darwis mengambil perannya sebagi wali yang akan  menikahkan ibu dengan lelaki yang saat ini berjarak beberapa meter di depanku. Semua hadirin terdiam saat calon mempelai pria mengucapkan qabul.
"Saya terima nikahnya Fauzah Binti Almarhum Ruswanto dengan mas kawin dua puluh gram emas dibayar tunai."
Suara merdu yang beberapa minggu ini kurindukan, kali ini terdengar seperti bom atom yang meluluh-lantakkan hidupku.