Qunut masuk pada ranah furu'iyyah atau masalah cabang dalam pandangan Islam. Jadi jika ada perbedaan pendapat di antara umat Islam, bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, apalagi menjadi pemicu perpecahan. Kelompok yang melakukan qunut dan tidak, dua-duanya benar. Yang terpenting adalah kita tidak menjadi taqlid buta atas pilihan kita sendiri. Artinya jika kita memilih untuk menggunakan qunut dalam ritual ibadah, sepatutnya kita mengetahui dasar hukumnya. Sehingga keyakinan kita tidak hanya berada pada lapisan kulit luarnya saja, tetapi menjadi haqqul yakin atau benar-benar percaya.
Begitu pula dengan pemilih tanpa qunut. Carilah dan pahamilah dalil atau landasan yang mendukung hal tersebut. Sehingga kita melakukan sesuatu bukan karena ikut-ikutan atau alasan lainnya. Akan tetapi kita mengetahuinya secara mendalam. Sehingga ketika kita dipertanyakan tentang hal tersebut (qunut), kita mampu menjelaskannya dengan baik.
Satu hal yang lebih keren lagi adalah jika kita mencari alasan dan dasar hukum atas kedua pilihan tersebut, baik yang menggunakan qunut atau yang tidak. Di zaman yang teramat canggih dan modern ini, mencari hal seperti itu bukanlah perkara yang sulit. Hanya dalam satu atau dua kali tekan saja, semua bisa kita perolah.
Dengan mengetahui dua-duanya, wawasan kita akan semakin luas. Kita juga menjadi orang yang lebih bijak dan tidak mudah menghakimi orang lain yang berbeda pandangan. Saling menghormati dan menghargai adalah kondisi terakhir yang akan kita perolah. Bukankah kondisi seperti ini adalah impian semua insan? Terlepas dari apa, siapa, dan bagaimana keyakinan kita semua.
Memasuki hari kelima belas Ramadan, kami akan membacakan qunut pada satu rakaat akhir di salat Witir. Tradisi menyambut qunutan ini ditandai dengan pembuatan ketupat dan beberapa makanan tradisional lainnya. Karena Sebagian besar warga Cilegon adalah golongan yang menggunakan qunut, hari ini menjadi amat spesial. Dalam arti bahwa kita melakukan tradisi ini secara bersamaan.
Memang tidak ada keharusan dalam merayakannya. Namun, tradisi ini sudah turun-temurun sejak nenek moyang kami dan kami bangga serta bahagia melaksanakannya. Niatkan saja untuk membahagiakan keluarga serta sanak famili. Bukankah berbagi makanan pada bulan Ramadan adalah hal yang amat dianjurkan dalam Islam?
Tradisi qunutan yang kami lakukan memiliki banyak makna, yaitu:
1. Mengajarkan nilai kebersamaan
Sejak pagi buta di hari kelima belas, kaum ibu telah sibuk menganyam daun kelapa muda untuk dibuat 'urung kupat' (kerangka ketupat). Beberapa orang tetangga akan berkumpul dan membuatnya. Mereka melakukannya sambil bercerita, bersenda-gurau, dan lain sebagainya. Hal ini semakin mempererat hubungan kami antartetangga.
Dalam sebuah tatanan masyarakat, kebersamaan sangatlah penting. Masyarakat yang memiliki kedekatan, keeratan, dan keterikatan satu dengan yang lainnya, akan menciptakan kerukunan hidup di dalamnya. Jika masyarakat hidup rukun, semua aktivitas warga akan berjalan dengan baik dan normal.
Setelah diisi dengan beras, ketupat akan direbus. Proses memasak ketupat biasanya cukup lama. Waktu yang dibutuhkan kurang-lebih 3 -- 4 jam. Durasi perebusan ketupat cukup lama karena ketupat dimasak saat beras masih dalam kondisi mentah. Berbeda jika kita membuat buras yang proses memasaknya vukup satu atau dua jam. Hal ini dikarenakan buras menggunakan bahan beras yang sudah setengah matang.
2. Media pembelajaran
Anak-anak pun tidak kalah sibuk. Mereka yang belum bisa membuat urung kupat akan belajar pada teman atau orang tuanya. Kegiatan belajar membuat ketupat ini menjadi sangat istimewa bagi mereka. Membuat urung kupat memerlukan tingkat pemahaman yang cukup tinggi karena proses pembuatan ketupat memiliki pola persilangan yang tidak mudah. Akan tetapi para orang tua kita memiliki keahlian itu dengan sangat baik, bahkan sejak mereka anak-anak.
Mampu membuat ketupat merupakan keahlian yang perlu dilestarikan. Kita tidak bisa membayangkan jika satu generasi di masyarakat kita semuanya tidak mampu membuatnya. Bukankah akan membahayakan karena salah satu nilai kearifan lokal kita juga akan terancam punah? Semoag hal tersebut tidak terjadi. Maka, sangat baik dan bujaklah kiranya, para orang tua mengajarkan anak-anaknya ilmu membuat ketupat.
Selain ketupat, ada beberapa makanan tradisional yang juga dibuat, seperti 'lepet' dan 'gemblong'. Jika ketupat berbahan dasar beras biasa, lepet dan gemblong menggunakan bahan dasar beras ketan. Melestarikan budaya adalah kewajiban kita sebagai masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
3. Mengajarkan nilai persatuan
Jika di antara kami ada yang tidak memiliki pohon kelapa, biasanya kami akan saling berbagi. Meskipun di semua pasar banyak yang menjualnya baik dalam kondisi masih daun (janur) atau yang sudah menjadi kerangka ketupat. Namun, tentu ini memerlukan biaya tambahan.
Dengan berbagi sesama tetangga, mengukuhkan nilai persatuan di antara masyarakat. Hal ini sangat baik dan dianjurkan dalam agama kita, Islam. Persatuan masyarakat mampu menciptakan ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini juga bisa menjadi penangkal terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Sebagai kesimpulan, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai qunut, kami memiliki pandangan lain yang sangat sederhana. Bahwasanya sebagai manusia yang merupakan bagian dari sekelompok masyarakat, kita tidak bisa hidp sendiri. Selalu ada ketergantungan dan keterikatan dengan dunia luar. Keterikatan ini mampu mengikis benih-benih keegoisan yang berujung pada perpecahan di masyarakat.
Siapa pun kita dan apa pun pilihan hidup kita, menghargai sesama hamba Allah sepatutnya harus dikedepankan dan dijunjung tinggi.
#Ramadankonsistenmenulis
#Challengedirisendiri