Ada jarak yang memisahkan kita. Jika kuhitung jauhnya, mungkin tak akan sampai umurku mengukurnya. Kalau begitu, kenapa Tuhan menciptakan jarak yang tak bisa kutemukan garis finishnya?
Ada temanku yang bilang, Tuhan menciptakan jarak untuknya agar dia bisa mengejar kekasihnya. Tapi aku lebih suka menganggapnya begini, Tuhan menciptakan jarak agar aku bisa terus bersama rinduku. Kau.
Ya..Kau.
Siapa lagi memangnya?
Kau kan yang mengembalikan hatiku usai gerimis tipis yang berebut turun menciumi bumi. Hari itu, aku sudah hampir menghanyutkan hatiku di tepian sungai, lalu kau datang, mengambil dan mengembalikannya kepadaku.
“Kok dihanyutkan?”
“Sudah tak berfungsi.”
“Kata siapa?”
”Aku.”
“Sini.” Katamu memberiku isyarat mendekat seraya menyodorkan hatiku yang berada di genggamanmu.
“Kau lihat degupnya?”
Aku mengangguk ragu. Tak percaya. ‘Bukankah tadi sudah mati,’ begitu batinku.
“Jadi … tunggu apalagi. Pasang lagi.” Suruhmu pelan.
“Tapi dia menghitam?”
“Itu karena tak kau rawat. Cuci dulu sana.”
“Eng…tapi.. aku.. aku tak tahu caranya” jawabku terbata-bata.
“Hmm… sini kuajari.” Aku merasakan ada kehangatan yang menyusup perlahan dari jemariku. Ah, helaan tanganmu memupus semua ragu.
Untuk pertama kalinya hatiku beresonansi dengan sempurna, menangkap frekuensimu dengan bening. Rasaku mulai berdenting, bunyinya mengisi kolom-kolom kosong desau nafasku.
Ah, ternyata dari sanalah rinduku bermula.
--oOo—
“Pergi dulu ya.”
“Kemana?
“Memberimu jarak untuk merindukanku”
Begitulah penutup percakapan terakhir kita kemarin.
Dan… ya.
Kau berhasil melakukannya. Sebuah lubang telah menganga di dadaku. Aku tak sanggup menutupnya sendiri, tanpamu. Bersamaku, hanya ada dua biji mata, yang akan kupejamkan untuk menciptakan kegelapan. Karena dalam gelap, kau serasa nyata, di sisiku.
Jadi tolong, pulangkan rinduku. Kau membawanya pergi terlalu lama. Halaman hatiku telah habis terpakai untuk menyuratimu. Dan dinding-dinding fikirku juga tak lagi muat menampung bayang-bayangmu. Tapi…masak sih aku harus duluan lagi bilang kangen.
Ah…berhitung saja kalau begitu. Tanganku meletakkan kotak mungil multi fungsi yang sedari tadi kugenggam ke pangkuanku, sambil berharap sebuah pesan akan muncul di layarnya. Jika sampai hitungan sepuluh tak kau kirimkan rindumu, maka aku yang akan mengirimimu rindu.
Satu...
Hening.
Dua..
Masih sepi.
Tiga..
Kok belum juga ya.
Empat..
Gyaa.. ga ada tanda-tanda.
Lima…
Blup..blup..
Dear Papsky,
I'm home.
10pm. Stasiun kota.
Pick me up plz...
Love u :)
-Momsky-
Jogja, 19032011