Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hobby

Di Sudut Kafe

29 Oktober 2021   10:27 Diperbarui: 29 Oktober 2021   10:36 130 2
"Dik, separuh nafasku itu kamu", kata lelaki menyanjung. Ia pikir perempuan yang hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahnya itu akan tersipu. Ia telah jatuh cinta dengan irisan bibir yang selalu ditutupi tangan ketika terbit senyum.

Entah mengapa ia beriman penuh bahwa pandemi ini adalah potongan neraka yang dikirim langit ke bumi. Bukan saja karena banyak korban jiwa, tetapi kondisi dimana semua harus mengenakan masker sehingga senyum perempuan paling ia cinta tidak bisa leluasa ia nikmati. "Sial, benda itu menyembunyikan surga-ku," begitu keluhnya. Bibir, yang selalu diibaratkannya sebagai bocoran surga itu, adalah mesin cetak kebahagiaan, tulisnya suatu waktu di wall Meta.

"Tapi jelas tak ada hubungannya 'separuh nafas' sama surga," perempuan itu menyela tak terima.

"Jelas ada." Tandas lelaki. Tetapi sejurus kemudian ia didamprat.

"Kau kira aku polos? Tak tahu soal gombal zadul itu. Kalau memang aku separuh nafas-mu, lalu untuk hidup kau butuh berapa 'aku' ?"

"Itu kan analogi saja," belanya.

"Kau bilang itu tasybih? Macam apa pula tasybih kok cuma setengah-setengah. Nanggung, tauk," balasnya.

"Namanya majas yakan kadang suka over, lebay."

"Yatapi punyamu ga masuk dua-duanya, itu kolot. Kalau tak mampu ngegombal lebih untung nguli sana. Hahaha."

"Ah, kau ini. Mau disanjung kok mengelak. Justru karena zadul itu antik. Tuts-tust bethoveen, Chopin atau Mozart lebih dikenang Karena klasik."

"Ghundulmu klasik. Karya mereka terkenal sebab dianggap baru. Di zaman masing-masing."

Lelaki itu diam sejenak, kemudian menjumput sebatang rokok dan meminta perempuan menyalakan korek. Mereka duduk berhadapan namun dipisah meja kafe yang didesain agak lebar. Sehingga satu sama lain perlu sedikit meninggikan nada bicara agar saling menangkap.

"Berarti cuma kau kasihku, dik". Tiba-tiba kata lelaki.

"Lah kan tambah edan," jawab perempuan itu agak kaget.

"Iya, kan. Kalau tasybih sudah gak masuk, gantian pakai qashr."

"Hah?"

"Begini, kalau 'separuh nafas' kau anggap kurang mutakhir, ya 'cuma kau kasihku' solusinya. Ini qashr hakiki loh, bukan idhofi."

"Hah?"

"Jelas hakiki, mana mungkin aku punya kasih selain kau, dik."

"Piye toh? Bicaramu kok makin ngawur. Sudah jelas-jelas aku alergi gombal, kau masih saja pikun."

"Siapa bilang itu gombal. Pernah dengar kaulnya Mutanabbi? Kam min 'ibin qaulan sahiha, wa fatuh al-fahmus saqm."

"Wah, mulai satire. Pikirmu aku terjebak logic fallacy, gitu?"

"Kan, salah paham lagi. Cah wadon pancen ruwet."

"Pwooolll."

Malam menjelang dini hari itu, di bawah samar-samar bulan yang terpenjara awan, dua orang terlihat saling menatap pasti satu sama lain. Pengunjung bergantian meninggalkan tongkrongan dan pulang menyisakan puluhan putung rokok serta beronggok masalah yang belum juga menemukan pasang jawaban. Keduanya tetap setia berhadap-hadapan di antara dialog yang terjeda sambil sesekali membenarkan posisi duduknya. Hingga kemudian terdengar suara "maaf, mbak-mas, bentar lagi kafe akan disterilkan polisi."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun