BERESOLUSI KONFLIK MALUKU
Pemahaman pertama yang harus dipahami dalam menganalisis penyelesaian konflik dan anarkisme agama adalah agama tidaklah mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Agama justru mengabarkan adanya perdamaian dan cinta kasih baik kepada sesama umat maupun umat lain yang mempunyai keyakinan berbeda. Adanya konflik berbau anarkisme agama sendiri justru dipertanyakan agama karena telah menjadi kesalahan dalam ajaran agama tersebut. Agama hanya menjadi identitas dalam suatu konflik untuk memberikan legitimasi moral untuk berbuat kekerasan terhadap pihak lainnya. Selain itu, menyulutnya kekerasan atas nama agama juga disebabkan oleh kesalahan dalam penafsiran ajaran agama sehingga menimbulkan pemahaman sempit dan sikap chauvinistik. Maka dalam konteks ini, konflik anarkisme agama sejatinya tidak ada. Yang ada justru konflik berupa rivalitas sumber ekonomi dan politik maupun persaingan memperebutkan jabatan publik dalam pemerintahan.
Agama bukanlah menjadi faktor utama dalam konflik anarkisme, namun hanya menjadi faktor pendukung. Dalam berbagai kasus konflik mengatasnamakan agama seperti konflik Islam-Kristen di Poso maupun Maluku, agama justru terpolitisasi menjadi identitas konflik yang sebenarnya hanya menjadi topeng atas rivalitas perebutan sumber ekonomi, politik maupun birokrasi antar masyarakat.
Kasus konflik Islam dan Kristen di Ambon sebenarnya tidak lepas dari rivalitas dalam perebutan jabatan publik kemudian menjadi konflik agama. Puncak konflik Maluku sendiri terjadi dalam kurun waktu 1999-2002 yang dimulai dari peristiwa Maluku Berdarah pada 19 Januari 1999 yang memakan banyak korban. Konflik sendiri sudah diselesaikan melalui Perjanjian Malino I dan II pada 2002-2003 yang diwakili tokoh-tokoh masyarakat baik Islam maupun Kristen. Yang menghasilkan representasi atau revitalisasi kearifan lokal berupa pela gandong antar negeri (kampung) di Maluku untuk saling mengangkat saudara menjadi hubungan kakak-adik.
Hilangnya kearifan lokal membuat potensi konflik anarkisme agama semakin membesar karena masyarakat tidak memiliki filter kultural dalam menjaga marwah ikatan sosial mereka. Seperti hilangnya rasa saling percaya (trust) diantara sesama anggota masyarakat, rusaknya jaringan (networking), serta tegerusnya rasa patuh terhadap tata aturan norma dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama.
Peran vital kearifan lokal sebagai media resolusi konflik keagamaan. Yang pertama adalah kearifan lokal sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Identitas tersebut menunjukkan bahwa komunitas tersebut memiliki budaya perdamaian yang berarti menunjukkan komunitas tersebut merupakan komunitas yang beradab. Kedua, kearifan lokal sendiri menyediakan adanya aspek kohesif berupa elemen perekat lintas agama, lintas warga, dan kepercayaan. Ketiga, berbeda halnya dengan penerapan hukum positif sebagai media resolusi konflik yang selama ini jamak dilakukan oleh para penegak hukum kita yang kesannya “memaksa”. Hal inilah yang menjadikan reoslusi konflik dengan hukum positif sendiri justru sifatnya arti- fisal dan temporer meskipun memiliki kekuatan hukum tetap. Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan bagi sebuah komunitas dan dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang dapat meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas yang terintegrasi. Kelima, Kearifan lokal akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkan di atas kebudayaan yang dimiliki.
Maka bisa dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan bentuk sintesa dari unsur sosio-kultural dan sosio-keagamaan yang tujuannya adalah merekatakan kembali hubungan antar sesama masyarakat yang tereduksi perebutan kepentingan politik maupun ekonomi. Semua faktor tersebut kemudian menjadi causa prima konflik anarkisme agama Maluku yang sebenarnya dapat disimplifikasikan menjadi dua hal yakni: (1) rivalitas elite dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) menguatnya etnosentrisme dan religiosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Namun disamping dua premis tersebut sebagai core conflict, tidak dipungkiri rivalitas agama Islam dan Kristen juga menjadi supporting conflict (konflik pendukung). Bahkan bisa jadi, agama juga berperan besar sebagai tungku api dalam penciptaan konflik yang sejatinya hanya rivalitas ekonomi-politik belaka.
Konflik anarkisme keagamaan yang terjadi Maluku pada tahun 1999-2002 sendiri pada dasarnya merupakan embrio dari ketidakadilan dan marjinalisasi suatu kelompok terentu selama bertahun-tahun. Adapun agama yang selama ini disematkan dalam membaca dan menganalisa konflik Maluku sebenarnya lebih tepatnya disebut faktor pendukung (supporting conflict) karena pada dasarnya konflik lebih mengarah pada perebutan sumber daya politik, ekonomi, dan birokrasi. Sejarah konflik Maluku memang diwarnai praktik-praktik dominasi maupun subordinasi semenjak zaman kerajaan hingga masa republik yang berimplikasi pada semakin tumbuhnya potensi konflik laten.
Konflik anarkisme keagamaan di Maluku sendiri sebenarnya tidaklah tepat jika diselesaikan melalui pendekatan hukum positif. potensi dalam merajut kembali kohesivitas masyarakat dalam proses rekonsialisasi. Selain itu pula, faktor perimbangan juga menjadi penting dibicarakan mengingat perebutan jabatan birokrasi sendiri merupakan inti konflik (core conflict) di Maluku. representasi yang seimbang dalam birokrasi merupakan cara rekonsiliasi di tataran elite dalam menjaga perdamaian. Representasi juga dimaksudkan untuk mereduksi segala bentuk religiosentrisme maupun etnosentrisme yang acap kali mewarnai dinamika konflik di Maluku.