Ada sederet pondok tua sepanjang jalan lurus bertikungan kecil.Di kiri dan kanan jalan terbentang areal persawahan yang luas. Mama Karolina salah satu penghuni pondok-pondok tua itu. Bersama suaminya bapak Gabriel Manek Kobo, 56 tahun, mereka setia dengan jualan jagung rebus. Rutinitas sepanjang masa. Setiap hari, setiap bulan, setiap tahun. Beli jagung, rebus jagung, jual jagung, dapat uang. Beli jagung lagi…dan seterusnya, siklus itu berputar seperti jarum jam sepanjang tahun sampai mati.
Laju mobil dikurangi. Lalu berhenti di pinggir jalan, tepat di depan sebuah pondok tua. Sebegitu cepat dia berlari. Mendekat ke pintu mobil. Menenteng sedulang jagung rebus. “jangung rebus…jagung rebus…jagung ko…?” begitulah keseharian mama Karolina Muti, kelahiran tahun 1967, perempuan setengah baya ini merajut hidup sebagai penjual jagung rebus di jalan trans timor. Tepatnya di titik kilometer 34 arah Kota Atambua. Nama tempatnya Motamaro.
Begitu banyak mama Karolina dan bapak Gabriel yang terlempar sporadis di Nusantara ini. Performa elitis dengan mobil mewah plat merah pun tak sedikit kita jumpai di mana-mana. Bahagia kah kita dengan kontra pemandangan seperti?
Kalau seperti ini, masih boleh kah kita mengintervensi kehidupan mama Karolina? Dengan cara apa kita masuk ke kehidupan mama Karolina dan bapak Gabriel, untuk berapi-api bicara tentang isu gender, berbusa-busa berteori tentang anggaran publik yang pro rakyat, atau tentang hak partisipasi di dalam pembangunan desa, dan sederet isu strategis lain yang biasa lahir dari hasil workshop berminggu-minggu di hotel berbintang. Kita butuh waktu untuk merubah mindset dan pola mereka. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, atau ternyata tidak mudah, atau sebetulnya tidak mudah.
Selamat siang mama, selamat siang bapak, kami pamit. Kami kabur dengan selarik cerita.