“Gak tau deh,
innocent banget tuh orang. Kenal juga nggak, sok-sok
say hai segala …,” kata seseorang berpenampilan ala mahasiswi dalam bus Trans Metro Bandung. “Ya udah, kalau ngenganggu, di-
remove aja
,” kata temannya menimpali. "Ya, nanti lah. Pokoknya, sebelum gue
confirm, harus dilihat dulu, gue kenal apa
nggak sama orang itu!" ujarnya lagi lebih ketus. Percakapan sehari-hari seperti itu mungkin sudah biasa. Memakai istilah asing dalam komunikasi sehari-hari juga sudah jadi tren yang jarang dipermasalahkan. Tak sedikit orang bicara dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang dirasa lebih populer. Namun, tak banyak yang tahu bahwa kecenderungan seperti itu merupakan sebuah kelainan bernama
xenoglosofilia. Nah loh! Xenoglosofilia merupakan suatu kelainan psikolinguistik dengan ciri-ciri apabila orang lebih senang menggunakan istilah asing secara tidak wajar. Yang dimaksud tidak wajar yaitu apabila orang Indonesia--yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Indonesia dan daerah--senang menggunakan bahasa asing dalam komunikasi yang memang tidak menuntut untuk berbicara bahasa asing. [caption id="attachment_811" align="aligncenter" width="480" caption="(sumber: google image)"][/caption] Banyak motivasi dan alasan orang cenderung menggunakan istilah asing tersebut. Biar terkesan lebih berkelas tinggi, lebih keren, gaul, percaya diri, dan lain sebagainya. Gejala xenoglosofilia timbul apabila penutur yang menggunakan istilah asing, namun sebenarnya istilah tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Apalagi istilah asing tersebut digunakan tidak dalam rangka memperjelas komunikasi, namun sebaliknya. Ironisnya, gejala ketidakwajaran berbahasa ini kian hari semakin dikampanyekan oleh media, pejabat, figur publik, khususnya kaum selebritis. Dalam suatu acara gosip, seorang artis seksi yang dikabarkan akan segera menikah dengan santai menjawab, “Ya, doakan saja.
Planning untuk itu memang ada. Kita sudah
prepare semuanya.” Di Jakarta, istilah asing dikampanyekan dengan adanya
bus way dan halte transit yang disebut
Sky Walk Paid Area (SWPA). Di DPR, calon Kapolri dan Panglima TNI harus menjalani
fit and proper test sebelum dipilih. Selain itu, salah satu televisi swasta senantiasa menyajikan
breaking news setiap jamnya dan dialog hangat di
Todays Dialogue. Bahkan di Bandung, sebuah halte yang dibuat promosi sebuah produk air mineral diberi nama
Bus Service. Belum lagi, kemajuan teknologi ternyata ikut berperan membuat masyarakat gemar berbahasa asing yang sebetulnya masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Ingin kenalan, tinggal
add saja akun situs jejaring sosialnya. Lagu-lagu dengan mudah dapat di-
download. Punya video, foto, atau tulisan dengan cepat dapat di-
upload. Padahal, alangkah tidak sulit membiasakan diri “akrab” dengan bahasa sendiri, misalnya
menambah teman di akun jejaring sosial,
mengunduh lagu favorit, hingga
mengunggah video sendiri. Bahkan, banyak istilah lainnya yang nampak kurang berdaya saing dengan istilah asing yang harus mulai dikampanyekan. Seperti
daring (dalam jaringan) untuk
online,
luring (luar jaringan) untuk
offline, dan
tetikus untuk
mouse. Selain itu, banyak istilah yang terbiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, padahal masih bisa dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Seperti
miss-called untuk panggilan tertunda,
sms alias
short message service untuk pesan pendek,
charge untuk mengisi (baterai telepon genggam), dan lain sebagainya. Jadi, sudah siapkah kita mempopulerkan bahasa sendiri? Atau, mau punya kelainan xenoglosofilia?
- Reza -
KEMBALI KE ARTIKEL