(Catatan KKN – 3) Banyak cara untuk menyambut perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Biasanya, setiap daerah memiliki tradisi atau budaya masing-masing dalam menyambutnya. Tak ketinggalan Kabupaten Bogor yang pada tahun ini menyelenggarakan festival 1000 dongdang. Setiap kecamatan di seluruh penjuru Kabupaten Bogor mengikuti festival yang berhadiah utama uang sebesar Rp 30 juta rupiah, termasuk Kecamatan Tanjungsari. Dongdang adalah arak-arakan yang terdiri dari hasil bumi, makanan, atau kerajinan khas dari daerah Bogor. Arak-arakan dihias semenarik mungkin dan dibentuk seperti bentuk mesjid, istana, sepatu, tas, kapal laut, atau menyerupai hewan. Dondang diarak oleh laki-laki dan biasanya dipandu dengan iringan shalawat. Selepas diiring, dongdang diperebutkan masyarakat yang ingin menikmati isi dongdang tersebut. Festival 1000 dongdang dirayakan di Lapangan Tegar Beriman Cibinong Kabupaten Bogor (27/2). Setiap kecamatan, termasuk Tanjungsari berlomba-lomba menampilkan dongdang terbaik di hadapan Bupati Kabupaten Bogor Rachmat Yasin. Acara ini tidak jauh berbeda dengan acara grebeg mulud yang biasa diadakan di Cirebon, Solo, atau Jogjakarta.
Dongdang Mewah Khas Tanjungsari Sebagai kecamatan paling muda, Tanjungsari ikut berpartisipasi dalam festival ini. Bahkan, Tanjungsari tampil sangat meriah dengan arakan dongdang dan pengiring yang mewah. Beben Suhendar, Camat Tanjungsari, sengaja melibatkan mahasiswa peserta KKN dalam acara ini. Mahasiswa perwakilan kelompok KKN di wilayah Tanjungsari ikut serta menjadi pengiring dongdang, pembawa dongdang, hingga menjadi pembawa spanduk utama. Personil lainnya terdiri dari siswa-siswi SMP, SMA, pegawai dinas, hingga masyarakat umum. Persiapan delegasi Tanjungsari dimulai sejak dua minggu sebelum festival dilaksanakan. Para peserta, termasuk para mahasiswa, berlatih secara rutin. Tak tanggung-tanggung, Beben menghadirkan pelatih khusus untuk acara ini. Ia adalah seniman multitalenta asal Jakarta, Februar. Febri, panggilan akrabnya, yang pernah
go international mendesain festival dongdang untuk Tanjungsari seindah mungkin. Selain mengirim jumlah dongdang yang lebih banyak dari kecamatan lain (berjumlah 15 dongdang), Febri sengaja melatih para penari dengan atmosfir berbeda untuk setiap kelompok dongdang. Di antaranya, tarian khas Nusantara, Mandarin, dan Timur Tengah. Seniman serbabisa itu juga mendesain pakaian untuk setiap para personilnya, termasuk gaun-gaun mewah untuk para penari. Ia mengaku, gaun khusus para penari pernah dipamerkan di Jepang. Dongdang ala Tanjungsari menjadi berbeda karena iringan shalawat yang menggabungkan antara rebana khas pesantren dan musik modern. Sistem suara (sound system) diarak menggunakan kereta yang ditarik dan didorong oleh orang yang berpenampilan layaknya para pekerja rodi. Selain itu, ada pula personil yang bertgas sebagai pemegang bendera dan pasukan tombak. Empat diantaranya menjadi personil utama, dua pemegang tombak di bagian depan dan dua yang lain memegang spanduk Tanjungsari. Salah satu kelebihan yang ingin ditonjolkan Beben adalah keikutsertaan dirinya dan para kepala desa dalam iringan dongdang. Camat, para  kepala desa, dan para istri tampil di bagian paling depan dengan busana khusus serba putih yang terlihat eksklusif dan elegan. Tibalah saatnya pentas di hari-H. Rombongan perwakilan Kecamatan Tanjungsari berangkat menuju Ibu Kota Kabupaten Bogor, Cibinong pukul empat dini hari. Perjalanan menghabiskan waktu tiga jam hingga pusat kegiatan. Tak menunggu waktu lama, setibanya di Jalan Tegar Beriman Cibinong, para personil langsung merapikan barisan. Jalan dengan lebar sekitar enam meter dihabiskan oleh barisan Tanjungsari. Berbeda dengan perwakilan kecamatan lainnya, Tanjungsari tampil paling mewah. Kecamatan lain terlihat sederhana dengan arakan dongdang dan personil yang tak terlalu banyak dibandung Tanjungsari. Bahkan ada pula, pengiring dongdang yang tak perlu rapi-rapi dengan baris berbaris. Asal berjalan mengarak dongdang dan shalawat dengan modal suara yang keras. Namun, dongdang yang mereka bawa tampak beragam. Dongdang dihias sekreatif mungkin. Ada dongdang berbentuk tas dari Ciomas, dongdang berbentuk mesjid at-Taawun khas Bogor, ada pula dongdang berbentuk perahu dan gajah. Rombongan dongdang Tanjungsari mulai bergerak tanpa berjalan. Camat dan para kepala desa serta istri mulai siap berdiri di barisan paling depan di belakang pemegang spanduk dan petugas tombak utama. Di belakang para pejabat, belasan kelompok dongdang dengan dongdang, penari, dan tarian khas sesuai atmosfir masing-masing. Hal tersebut menandakan, bahwa Tanjungsari tidak hanya dihuni penduduk pribumi asli, melainkan ditinggali oleh etnis lainnya, seperti Cina dan Arab. Setiap kelompok dongdang terdiri dari penari utama, dongdang dan pengiringnya, para penari yang mengiringi dongdang di sebelah kiri dan kanan dongdang, dan pasukan tombak. Di tengah-tengah rombongan, pasukan shalawat dan pemandu musik diiring kereta bertenaga manusia. Para penari mulai meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama shalawat. Di kelompok pertama, ada atmosfir khas Nusantara dengan penari utama bergaun kebaya khas Indonesia. Penari bergaun putih dengan membawa buah-buahan kesenangan Rasulullah Saw. di sebelah tangan mereka. Ada kurma, semangka, dan anggur. Tidak mengherankan dongdang mewah ala Tanjungsari menyita perhatian masyarakat sekitar. Bahkan peserta dongdang di kecamatan lain tercuri perhatiannya oleh Tanjungsari. Secara perlahan, rombongan mulai berjalan. Jarak yang ditempuh sekitar 3 KM menuju lapangan Tegar Beriman Cibinong. Waktu yang dihabiskan sejak pertama kali berdiri hingga lapangan cukup menyita tenaga, yaitu 5 jam. Setelah dinilai para juri dan dongdang menuju lapangan, dongdang dilepas dan isinya diperbutkan oleh orang yang hadir di sana. Sayang, seminggu setelah festival tersebut, pemenang diumumkan. Tanjungsari harus puas hanya menempati pemenang harapan ketiga. Padahal, persiapan dongdang tersebut menghabiskan dana puluhan juta. Dari beberapa sumber, kriteria pemenang yang utama adalah dari kreativitas dongdang itu sendiri. Namun demikian, hal ini menjadi pengalaman tersendiri bagi mahasiswa termasuk saya, sang pemegang spanduk Tanjungsari.
KEMBALI KE ARTIKEL