Rabu, 30 September 2009 Bandung begitu panas. Terik matahari melumat sekujur tubuh hingga kulit serasa lengket, mungkin lain halnya dengan para mahasiswa yang kuliah di kampus ber-AC atau mahasiswa yang datang ke kampus dipulas dengan make-up khusus anti sinar-UV. Kuusap keringat di dahi. Kuperhatikan jam, menunjukkan pukul setengah satu. Kumenengadah, mendongak pada gagahnya sang surya dan ingat siang ini aku punya satu maksud baik. Maksud yang baik tentu harus diiringi langkah yang baik, maka kuputuskan salat dzuhur terlebih dahulu di mesjid Iqamah yang tak terlalu gagah. Lalu, aku melangkah ke bunderan Cibiru, tempat paling sibuk di jantung Cibiru karena aneka ragam alat transportasi berputar, berhenti, dan menyemrawutkan wajah Bandung Timur yang gersang. Untuk mengisi energi yang habis digunakan untuk berpikir di kelas dan habis terjemur matahari, aku makan di warung nasi Sunda. Kemudian, aku menyeberang ke arah pemberhentian Damri.
Kisah TMB Di pemberhentian Damri, ada sebuah bus mini yang di luarnya bertuliskan Trans Metro Bandung. Ahaa, aku ingat, bukankah Bandung sekarang punya TMB. Itu loh,
bus way-nya Bandung.
Bus way kan milik Jakarta walaupun aku juga belum pernah barang sekali nyicip gimana rasanya gelayutan di
bus way.
Bus way yang aku maksud dan mungkin dipahami banyak orang adalah bus Trans-Jakarta, transportasi massal ramah lingkungan milik DKI. Sedangkan jalurnya yang khusus dan tidak berbaur dengan kendaraan lainnya disebut
bus way. Entah kenapa dan siapa yang memulai, jadi orang lebih senang menyebut “naik
bus way (baca : bas wey)” yang artinya naik jalan bis. Aya-aya wae memang orang Indonesia mah. Balik lagi ke TMB. Aku penasaran menikmati perjalanan panjang Soekarno Hatta dengan transportasi massalnya Bandung ini. Aku menghampiri
shelter TMB yang masih berupa saung pelindung hujan, gak sama dengan
shelter bus way (sebut
bus way saja, bukan bus trans-Jakarta). Aku lihat-lihat keadaan di dalam bis dari kejauhan. Biasa, aku agak-agak jaim karena ini kali pertama aku naik TMB dan takut ada prosedur penaikan (maksudnya menaiki) yang tidak aku ketahui. Ooo, ternyata karcis TMB harus dibeli pada petugas di
shelter. “Yang ini lewat Leuwi Panjang, Pak?” Tanyaku karena melihat TMB itu jurusan Cibiru-Cibeureum. “Iya.” “Berapa, Pak?” “3.000” Petugas pun memberiku karcis berwarna kuning. Yasudah, aku bertransaksi secara jujur dan terbuka. Aku pun melangkahkan kakiku di TMB untuk pertama kalinya. Di dalamnya, hanya tersedia kursi 2-1, artinya di kanan dua, di kiri hanya satu. Beberapa orang memegang pegangan yang di atas untuk tangan (apa istilah tepatnya ya?). Aku pun bernasib serupa. Lalu aku melirik wanita cantik di belakang, aku tersenyum, dan ia pun membalasnya senyumku. Ternyata, dia adalah teman yang kukenal. Sebut saja namanya Bunga.
Karcis Mahasiswa TMB melaju sedang di Soekarno Hatta yang padat. Aku berbincang-bincang dengan Bunga dan kawan-kawannya untuk melupakan bahwa aku sedang berdiri. Lalu aku melihat Bunga memegang karcis warna biru, aku perhatikan tertera tulisan Rp 1.500,00. Whats!!! Apa? Aku tak percaya, ada perlakuan diskriminatif di dalam TMB. Apa karena aku seorang laki-laki dan ia perempuan, maka kita harus berbeda. Ini ketidakadilan jender namanya. Aku meredakan emosi dalam hati. “Naha ning 1.500 nya? (Kenapa kok punya kamu 1.500?)” Tanyaku pada Bunga. “Enya, pan mahasiswa, pelajar (Iya, kan kita kan pelajar, mahasiswa),” katanya sambil mengklaim dirinya seorang mahasiswa. “Emang Reza sabaraha? (Emang kamu berapa?)” “Reza mah 3.000,” “Ih, da mahasiswa mah 1.500. Eta mah kangge umum. Nyarios atuh lumayan kangge pulang pergi (Ih, kalo mahasiswa mah 1.500, kalo itu untuk umum. Bilangin aja, lumayan buat ongkos pulang pergi),” kata Bunga menasihatiku agar aku berlaku ekonomis seperti dirinya. Aku tak terima. Ini harus diluruskan demi terciptanya kedaulatan rakyat dan persamaan hak asasi. Karena rakyat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam perlakuan hukum. Kondektur pun menanyakan karcis. Penumpang masing-masing mengeluarkan karcisnya. Setelah kondektur tepat di depanku, aku langsung meminta klarifikasi darinya. “Pak, naha abi mah 3.000? Nu sanes 1.500? (Pak, kenapa karcis saya 3.000 sedang yang lain 1.500?)” Tanyaku pura-pura bego. “Itu mah mahasiswa,” katanya dingin. “Abi ge mahasiswa,” kataku membela diri dan menegaskan kalau aku pun seorang
agent of change. “Tadi meser karcisna ngangge kartu mahasiswa teu? (Tadi belinya pakai kartu mahasiswa gak?)” Aku menggelengkan kepala. Walhasil, kondektur memberi ceramah penutup bahwasanya barang siapa yang ingin mendapatkan karcis khusus pelajar atau mahasiswa, maka ia harus menunjukkan kartu mahasiswa saat membeli karcis. Aku terima tapi tidak terima. Terima karena aku belum tahu prosedurnya. Tidak terima karena si petugas TMB tidak bertanya dulu padaku saat membeli karcis kalau aku mahasiswa atau umum. Apa penampilanku kurang meyakinkan sebagai seorang mahasiswa? Harusnya, petugas dengan ikhlas bertanya pada anak muda yang penampilannya seperti mahasiswa saat ia membeli karcis TMB. Hgggh!
Shelter TMB melaju semakin menjadi-jadi. Jadi lambat, maksudnya.
Shelter demi
shelter pun terlalui. Tujuanku adalah sebuah loket bis antar-Sumatra yang letaknya setelah stopan Kopo. Aku pun bertanya pada Bunga. “Kalau di Kopo ada
shelter gak?” “Apa?” Tanya Bunga. Mungkin suaraku tak jelas. “
Shelter.” “Hhhh?” Bunga masih belum dengar apa yang kutanyakan. Padahal kita sangat berdekatan. “Pemberhentian bis.” Jawabku pakai bahasa yang lebih mudah dimengerti. “Ooo, gak ada. Paling di Caringin.” Jawabnya. Entah apa maksud kata “Ooo” yang diucapkan Bunga. Lantas entah mengapa, setelah kusebut “pemberhentian bis” ia baru sadar dengan pertanyaanku. Mungkin atau mungkin, mungkin ia tak tahu apa arti
shelter. Mungkin. Bunga pun turun pun di
shelter Leuwi Panjang. Aku masih meneruskan perjalanan hingga
shelter berikutnya. Di samping Bunga masih ada tiga temannya. Mereka berincang-bincang dengan petugas TMB yang masih terlihat muda. Sesekali tawa terdengar membahana dari percakapan mereka. “Pak, kenapa shalter (baca: ‘salter’ dengan ‘a’)-nya di Caringin, kejauhan ih…” kata gadis berjilbab 1. “Ya, belum aja,” jawab petugas. “Berarti bakal ada dong, Pak shalter (baca lagi: ‘salter’ dengan ‘a’) di pas Kopo?” Tanya gadis berjilbab 2. “Ya, kalau ada yang mengajukan. Tapi kayaknya gak ada, soalnya dari Leuwi Panjang ke Caringin kan deket,” jawab petugas terus meladeni. “Yahhh, Pak ajuin dong, biar kalau kuliah kan deket, gak usah jalan dulu ke shalter (tetap dibaca: ‘shalter’ dengan ‘a’) Caringin,” sambung gadis berjilbab 3. “Emang rumahnya dimana?” Tanya petugas mulai bertanya hal-hal sensitif. Walhasil mereka ngobrol sesuatu yang gak penting dan gak menarik aku ceritakan di sini. Aku hanya tertarik saat ketiga gadis ber-
tittle mahasiswi itu menyebut
shelter dengan ‘shalter’ yang
medok logat Kopo-nya. Mereka pun turun bersamaku di shalter, eh
shelter Caringin.[]
KEMBALI KE ARTIKEL