Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sofa Hangat Mama

2 Mei 2013   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:14 338 1
Nindya terhenyak dari duduknya dan bangkit lagi. Ia tak habis pikir. Ia mencoba melihat situsi sekeliling, tak ada seorang pun di Ruang Tengah. Mama masih tidur pulas di kamar. Bik Ijah? Bik Ijah bahkan sudah dua hari pulang kampung. Ia pandangi lagi sofa yang baru saja didudukinya. Ia berjongkok di dekat permukaan kulit sofa. Ia menyentuh dan merabanya. Hangat! Kenapa sofa ini bisa hangat? Hangat seperti baru saja diduduki oleh seseorang.

“Siapa yang duduk di sofa ini?” bisik Nindya pada dirinya sendiri. “Tak mungkin Mama, terlebih lagi Bik Ijah. Mama sudah pulas tertidur sebelum aku berangkat tidur.”

Nindya memutar pandangannya ke penjuru ruangan. Bingung! Mengapa sofa ini hangat? Hangat sekali. Nindya menempelkan tangannya ke permukaan sofa lagi, bahkan setelah beberapa menit masih hangat. Tak ada cahaya masuk yang memungkinkan sofa tersiram panas dan jadi hangat. Matahari belum lagi muncul, bahkan korden belum lagi ia buka. “Apa yang membuat kursi ini hangat?” bisiknya lagi.

“Apa karena lampu ruangan?” tanyanya pada diri sendiri. Tapi Lampu ruangan juga baru saja ia hidupkan. Lampu tak akan dapat menghangatkan sofa ini. Setiap malam sebelum tidur lampu juga selalu nyala, tapi sofa ini tak pernah sehangat seperti saat ini.

Nindya tak menemukan jawaban. Ia terpekur di bibir sofa. Ia dekatkan wajahnya ke sana, tiba-tiba ia mencium sesuatu, bau yang tidak asing. Harum yang pernah dulu ia kenali. Nindya mencium permukaan sofa tersebut dan mencoba memastikan. Mengingat-ingat. Entah mengapa dadanya jadi berdegub lebih cepat.

“Ada apa Nindya?” terdengar suara di belakangnya. Ternyata mamanya telah bangun tanpa ia sadari. “Kenapa kamu terpekur di sofa?” tanya mamanya.

“Tidak ada apa-apa, Ma,” elak Nindya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Mama semalam terbangun dan duduk di sofa ya?”

Mama Nindya mengernyitkan dahi, “Semalam Mama memang terbangun, tapi tidak ke luar kamar.”

Nindya bergeser dari tempatnya dan kembali duduk di sofa. Mamanya kemudian duduk di sebelahnya dan mengelus rambut Nindya. “Sudah jangan ngelamun, kamu rindu sama Papa ya?”

Nindya tak menjawab pertanyaan Mama, tapi ia tahu Mamalah yang sangat rindu Papa. Papa sangat sibuk dengan aktivitas kantor. Sering tidak pulang ke rumah. Seperti sekarang. Papa tidak pulang lebih dari seminggu. Mama bilang Papa ada urusan kantor, ke luar kota. Tapi entahlah, kulihat mata Mama berkaca-kaca ketika mengucapkannya.

“Cepat mandi sana, Mama buatkan sarapan ya,” ucap Mama tersenyum, menyadarkan Nindya dari lamunan.

Nindya menuruti ucapan Mamanya.. Guyuran air membuat pikirannya kembali segar. Ia teringat Mamanya yang begitu tenang bersikap. Mamanya bukan wanita bodoh atau tidak perhatian. Nindya tahu Mamanya tahu segala hal. Sewaktu ia jatuh cinta pertama kali, Mamanya segera tahu sebelum Nindya cerita. Mama bersiul-siul sambil bernyanyi. Lucu sekali, Mama menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan Titiek Puspa, “Jatuh cinta berjuta rasanya. Dibelai, dipeluk, dicium, amboi asyiknya. Jatuh cinta berjuta rasanya …” Nindya geli, apalagi ketika dilihatnya Mama mengerling ke arahnya, ia tahu Mama sedang menyindir waktu itu. Mama wanita yang sangat peka.

Tapi keanehan itu datang lagi, bahkan sudah tiga kali. Nindya terbangun dari tidur menjelang shubuh. Ia melangkah ke luar kamar, ke ruang tengah. Temaram. Tentu saja, matahari belum lagi terbit, korden masih tertutup rapi. Hanya lampu kecil di sudut ruang. ketika ia duduk di sofa. Tapi … sekali lagi Nindya terhenyak dari duduknya dan bangkit lagi. Ia melihat sekeliling, tak habis pikir. Mama masih tidur pulas di kamar. Ia pandangi lagi sofa yang baru saja ia duduki dan menyentuhnya. Hangat! Seperti baru saja diduduki oleh seseorang. Ia dekatkan wajahnya mencium sesuatu yang tidak asing. Harum yang pernah dulu ia kenali. Nindya yakin ia tidak asing dengan harum tersebut. Dadanya berdegub lebih cepat.

Nindya teringat ucapan Rio Tengil yang bilang api kompor bisa membuat kursi jadi hangat, “Itu seperti di kantin Pak Teno, kursinya kan hangat.” Rio selalu asal kalau ngomong, tapi asyik dan lucu. Tapi jelas tidak ada kompor di sini.

Si Rindi, teman sebangkunya juga komentar. Katanya ia pernah menduduki kursi yang hangat padahal tidak ada seorang pun yang duduk di kursi itu sebelumnya. “Swear!” katanya. Nindya jadi tertarik. Tapi dasar si Rindi, ia lalu menambahkan kalimatnya, “Kursinya memang belum diduduki siapapun. Cuma baru di pakai tidur si Manis. Kursi bekas tidur si manis selalu hangat.begitu.” Si Manis adalah kucing kesayangan Rindi. Tapi di sini juga tidak ada kucing. Ia mengamati sekeliling, tidak mungkin juga ada kucing yang masuk, ruangan ini selalu tertutup.

Nindya tak menemukan jawaban. Ia terpekur di bibir sofa. “Siapa yang duduk di sofa ini?” bisik Nindya pada dirinya sendiri. Ia bergeser dan duduk kembali di atas sofa. Masih terasa hangat. Nindya memutar pandangannya ke penjuru ruangan. Bingung! Mengapa sofa ini hangat? Hangat sekali. Nindya menempelkan tangannya ke permukaan sofa lagi. Tiba-tiba dari kamar Mamanya ia mendengar suara isakan kecil. Ia yakinkan pendengarannya. Suara isakan Mama. Mama menangis.

Nindya tertegun beberapa menit, tak tahu harus berbuat apa. Ia baru saja akan berdiri, tapi kemudian pintu kamar mamanya terbuka. Nindya melihat air mata mamanya yang masih meleleh di pipi. Tapi isakannya telah lenyap. Senyum yang dipaksakan keluar dari bibir mamanya ketika melihat Nindya. Mamanya duduk di sofa sambil menghela air mata. Nindya segera tahu, bahkan menjadi begitu jelas ketika ia melihat ke dalam mata mamanya. Ini karena Papa. Papa yang jarang pulang dan beralasan semuanya karena urusan kantor.

Nindya ingat ketika ia pertama kali jatuh cinta, mamanya pernah menunjukkan sesuatu padanya, “Nindya coba deh parfum ini, hadiah dari Papa. Seminggu setelah pernikahan sama Mama dulu Papa membeli parfum ini bersamaan dengan sofa yang ada di Ruang Tengah. Parfumnya tidak pernah Mama pakai. Parfum ini adalah simbol cinta Mama dan Papa. Kalau kamu menikah nanti, parfum ini Mama hadiahkan ke kamu.” Nindya tiba-tiba saja sadar tentang bau harum yang tidak asing tersebut.

Mama wanita yang sangat peka. Mamanya bukan wanita bodoh atau tidak perhatian. Hanya saja, mamanya wanita yang sangat tenang dalam bersikap. Ketika Papa tidak pulang lebih dari seminggu, Mama bilang Papa ada urusan kantor, ke luar kota. Tapi Nindya tahu, Nindya melihat mata Mama berkaca-kaca ketika mengucapkannya. Nindya tahu betul: Papa berselingkuh, Papa tidak akan pernah pulang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun