Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Ini Kisah tentang "Utak-atik" Hukum Kasus Novel dan Pengrajin Tanah Liat

15 Juni 2020   12:35 Diperbarui: 15 Juni 2020   12:41 163 14
beberapa waktu terakhir, publik tanah air tengah hangat-hangatnya membahas tentang rendahnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fredrik Akbar Syarippudin terhadap Brigadir Rahmat Kadir Mahulette dan Brigadir Rony Bugis, terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Betapa tidak, oknum yang selama hampir 3 tahun lamanya menjadi buron dan membuat segenap elemen hukum tanah air terutama aparat kepolisian di buat sibuk dan linglung hanya dituntut satu tahun penjara oleh JPU Fredrick.

Sontak, tak sedikit kalangan atau praktisi hukum yang kaget dan merasa ada yang salah dengan tuntutan tersebut. Mereka menilai, putusan itu janggal dan penuh sandiwara.

Persis seperti kasusnya sendiri yang layaknya sebuah pagelaran opera sabun. Penuh intrik dan drama yang membuat kita merasa lucu.

Ya, sebelum pada akhirnya tertangkap dua tersangka. Perburuan terhadap pelaku kasus penyiraman air keras pada Novel tak ubahnya mencari jarum dari tumpukan jerami. Sulit, dan menghabiskan banyak waktu.

Jamak jika akhirnya Presiden Jokowi kala itu sampai turun tangan dan memerintahkan pada Kapolri (masih dijabat Tito Karnavian) untuk segera menemukan pelakunya.

Apa yang terjadi jauh panggang dari api, kasus Novel Baswedan tetap saja mangkrak. Hingga pada saat hendak pelaksanaan Pilpres 2019 lalu, Presiden mengultimatum Tito Karnavian segera memecahkan kasus tersebut.

Karena, tak sedikit pihak yang memanfaatkan kasus ini sebagai serangan politiknya terhadap Jokowi.

Atas dasar itu, sekira bukan Januari 2019 dibentuklah tim yang beranggotakan unsur Polisi, KPK, Akademisi, LSM, Komnas HAM, dan mantan Pimpinan KPK, dengan Jenderal Tito Karnavian sebagai penanggung jawab timnya.

Hasilnya? Lagi-lagi buram. Tim ini tak mampu menemukan dan menangkap pelaku. Bahkan, motif dari serangan penyiraman air keras terhadap Novel pun masih abu-abu.

Saat tongkat kepemimpinan Kapolri beralih pada Idham Azis, Jokowi diminta untuk segera membentuk tim independen oleh KPK. Belum sempat tim ini dibentuk, tanggal 26 Desember 2019, polisi malah berhasil menangkap pelakunya.

Kasus High Profile

Dengan segala rentetan peristiwa atau perjalanan kasus, peyiraman air keras terhadap Novel Baswedan jelas bukanlah kasus biasa, tetapi kasus besar yang masuk dalam kategori high profile.

Biasanya dalam kasus yang begitu banyak menyedot perhatian publik, aparah hukum yang terlibat menangani kasus ini akan bekerja extra hati-hati untuk menghindari kesalahan agar tidak mengecewakan masyarakat.

Benar, dalam tuntutannya, kedua pelaku tersebut dinyatakan bersalah oleh JPU. Dakwaan yang ditibankan adalah Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat.

Hanya saja menjadi lucu melebihi lawakan Overa Van Java dan Srimulat, dalam tuntutannya Jaksa menilai Rahmat Kadir tak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel Baswedan.

Dengan begitu dakwaan primernya tidak terpenuhi, sehingga tuntutan jaksa hanya satu tahun penjara.

Inilah keanehannya, bagaimana bisa dengan segala persiapan yang dilakukan dari mulai merancang rencana, bolak-balik mengintai lokasi itu dilakukan tak sengaja.

Hal ini seperti mengamini anggapan banyak pihak bahwa kasus Novel memang penuh rekayasa. Semua rentetan kejadian dari mulai penangkapan hingga persidangan tak lebih dari sandiwara agar publik melihat  kasus Novel sudah ditangani dengan baik.

Bahkan, ahli hukum tata negara, Refly Harun pun tak lepas mengomentari kejanggalan yang terjadi atas rendahnya tuntunan kasus Novel.

Menurutnya, tuntutan satu tahun terhadap dua penyerang Novel itu melecehkan dan menghina hukum. Padahal, dalam peristiwa penyiraman air keras itu telah memenuhi empat unsur yakni niat, alat, akibat dan kenakan petugas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun