Cukup beralasan juga jika Megawati mengklaim hal seperti tersebut di atas, mengingat kiprah mantan Gubernur DKI Jakarta ini di dunia politik tanah air, khususnya dalam dua kali pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 diusung oleh partai berlambang banteng demuk moncong putih.
Kendati bukan satu-satunya partai pengusung, namun PDIP-lah yang paling kuat posisinya. Karena merupakan pemenang dua kali pemilu.
Dengan alasan sebagai petugas partai inilah, tak jarang pengamat bahkan publik menilai bahwa langkah-langkah Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahannya tak lepas dari bayang-bayang Megawati Soekarno Putri.
Bahkan, sebagian pihak pernah juga ada yang nyinyir, bahwa Presiden Jokowi hanyalah kepanjangan tangan saja. Sementara kendali sepenuhnya ada dalam tangan putri dari proklamator Indonesia tersebut.
Maka, sangat wajar jika PDI Perjuangan terutama para politisinya, baik yang ada di pemerintahan, parlemen pusat (DPR RI) dan para pengurus partai pusat selalu siap "pasang badan" jika ada pihak-pihak lain yang menyerang setiap kebijakan Presiden Jokowi.
Hal tersebut semakin membuktikan bahwa Jokowi memang orang PDI Perjuangan. Meski sejujurnya, saya sendiri belum tahu persis, apakah dia ini kader partai atau bukan.
Tapi sudahlah, yang jelas sebagaimana sering di klaim oleh Megawati bahwa Jokowi adalah petugas partainya.
Hanya saja, dalam beberapa waktu belakangan, saya jadi sedikit sangsi. Masihkah Presiden Jokowi sebagai petugas PDI Perjuangan atau bukan.
Kenapa?
Sebab, belakangan, khususnya dalam pemerintahan Presiden Jokowi di periode keduanya, seolah para politisi PDI Perjuangan ini enggan lagi "pasang badan". Bahkan sebaliknya, mereka lebih gemar menyerang dan mengkritik segala kebijakannya.
Sebut saja, ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19. Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu menyebut bahwa Perppu itu diterbitkan sebagai kepentingan oligarki.
Tidak hanya itu, Masinton juga menilai bahwa Perppu 1/2020 tersebut merupakan bentuk sabotase konstitusi UUD 45.
Kritikan lebih pedas malah datang dari koleganya Masinton, yakni Arteria Dahlan. Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencermati Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Kemudian, ketika Presiden Jokowi menerbitkan Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran bulan BPJS Kesehatan, para politisi PDIP pun kembali mengkritik kebijakan yang diambil oleh manta Wali Kota Solo tersebut.
Mereka menilai kebijakan Presiden Jokowi menaikan iuran bulanan BPJS Kesehatan di tengah-tengah masa pandemi covid-19 adalah tindakan tidak terpuji.
KEMBALI KE ARTIKEL