Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Pengamat: Jangan Salahkan Jokowi, Salahkan Saja Pembisiknya!

15 Mei 2020   23:00 Diperbarui: 15 Mei 2020   23:32 355 14
lebih dua bulan ini pandemi virus corona atau covid-19 terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Bukan saja melemahkan masyarakat secara psikologi, karena terus dihantui rasa khawatir oleh covid-19. Dari aspek ekonomipun, penduduk tanah air terutama dari kalangan ekonomi kelas bawah benar-benar dibuat kocar-kacir.

Kenapa?

Sebagaimana diketahui, dengan mewabahnya pandemi covid-19, banyak warga masyarakat tanah air terpaksa harus kehilangan mata pencahariannya. Dengan keganasan virus asal Wuhan, China ini pula, tak terhitung warga negara Indonesia dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggangnya.

Sejatinya, di saat kondisi seperti ini, Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi benar-benar bisa hadir di tengah-tengah masyarakat dan memahami kondisi rakyatnya yang sedang dalam kesulitan keuangan atau ekonomi.

Bukan maksud saya untuk menyudutkan atau menyalahkan Presiden Jokowi. Hanya saja sudah selayaknya sebagai pimpinan tertinggi negara memiliki rasa empati terhadap warga negaranya.

Sebut saja, memberikan rasa aman, konsisten dalam mengambil langkah kebijakan serta yang paling penting jangan lagi membebani masyarakatnya yang sudah terhimpit kesulitan maha berat.

Sayang, sepertinya rasa empati itu telah hilang. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan kebijakan dirinya menaikan iuran bulanan BPJS kesehatan persis di tengah-tengah masa pandemi covid-19.

Mungkin, kenaikan iuran BPJS kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan itu, karena  kedodoran dalam pembiayaan kesehatan.

Hanya saja, dalam situasi yang sedang serba kesusahan dan ekonomi masyarakat tengah terpuruk, rasanya kurang fair juga. Apa tidak sebaiknya keputusan ini ditunda, sampai kondisi bangsa dan negara benar-benar kembali normal dan sudah terbebas dari ancaman pandemi covid-19.

Pasalnya, andai diterapkan dalam waktu dekat atau tepatnya pada bulan Juli mendatang, iuran bulanan BPJS dalam pandangan saya hanya akan membuat "rakyat sudah susah makin susah."

Bukan hal mustahil, kenaikan iuran BPJS ketika pendapatan masyarakat jauh lebih berkurang hanya akan berpotensi tidak mampu bayar. Akibatnya kesehatan mereka pun akhirnya tidak dijamin. Padahal sudah diatur dalam undang-undang bahwa kesehatan adalah hal konstitusional warga masyarakat.

Tidak heran, keputusan tersebut memantik reaksi keras dan kritikan sejumlah pihak. Mereka rata-rata beranggapan bahwa kenaikan bulanan BPJS kesehatan hanya akan menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan lebih dalam.

Bahkan, tak sedikit beberapa kalangan khususnya para anggota DPR RI menyebut bahwa kenaikan iuran BPJS kesehatan merupakan bukti bahwa pemerintah atau Presiden Jokowi sudah kehilangan rasa empatinya terhadap masyarakat.

Mereka menyebut, kenaikan iuran BPJS kesehatan di masa pandemi covid-19 bukanlah waktu yang tepat. Dalihnya, masyarakat dimana-mana sedang kesulitan.

Sebagaimana diketahui, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sangat terasa untuk kelas 1 dan kelas dua. Besaran iuran yang harus dibayarkannya yaitu, kelas 1 sebesar Rp. 150 ribu dan kelas 2 sebesar Rp. 100 ribu. Sementara untuk kelas 3 meski ada kenaikan jadi Rp 35.000, namun baru akan berlaku 2021.

Sebelumnya kenaikan BPJS kesehatan pernah dinaikan pemerintah pada awal Januari 2019 lalu. Dengan rincian, kelas 1 sebesar Rp. 160 ribu, kelas 2 Rp. 110 ribu dan kelas 3 Rp. 42 ribu.

Namun, kenaikan yang mencapai 100 persen ini sempat digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya dikabulkan pada bulan Maret 2020.

Dalam hal ini, tarif iuran BPJS kembali pada tarif lama, yaitu kelas 1 Rp. 80 ribu, kelas 2 Rp. 51 ribu dan kelas 3 Rp. 25.500 setiap bulannya.

Tak terima dengan keputusan Presiden Jokowi, rencananya KPCDI akan kembali melakukan gugatan. Karena mereka menilai bahwa kenaikan iuran BPJS yang baru adalah cara pemerintah dalam mengakali keputusan MA.

Pertanyaannya, benarkah Presiden Jokowi benar-benar pantas dipersalahkan dan sudah tidak lagi memiliki rasa empati terhadap nasib warga negaranya seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan?

Jawabannya mungkin bisa ya, bisa tidak. Tapi, dalam pandangan pengamat Suhendra Hadikuntono, tidak seharusnya masyarakat menyalahkan atau memojokan Presiden Jokowi. Dia menilai, terkait iuran BPJS, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bagai makan buah simalakama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun