Dengan begitu, sudah bisa dipastikan bahwa KRL akan tetap menjalankan aktifitasnya meski di wilayah-wilayah tersebut di atas tengah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Seperti diketahui, DKI Jakarta adalah daerah pertama yang memberlakukan PSBB, yakni pada Jumat (10/4/2020), kemudian di susul oleh wilayah Bodebek lima hari kemudian atau tepatnya Rabu (15/4/2020).
Prinsip dasar dan tujuan PSBB itu sendiri adalah sebagai upaya pemerintah guna menekan, mencegah sekaligus memutus rantai penyebaran virus corona atau covid-19 di tanah air, yang makin bergerak liar dan masif penyebarannya. Salah satu caranya adalah dengan physical distancing atau menjaga jarak fisik antara satu pihak dengan yang lainnya.
Cukup beralasan, jika para kepala daerah tersebut mengusulkan KRL diberhentikan sementara, sebab akan menjadi kontra produktif dengan program physical distancing itu sendiri.
Benar, boleh jadi pemerintah dalam hal ini Kementrian Perhubungan (Kemenhub) telah mengantongi strategi khusus agar progran physical distancing tetap terwujud. Salah satunya mungkin dengan membatasi jumlah penumpang. Namun, terkadang teori lebih mudah diucapkan daripada praktik.
Dengan kata lain, siapa berani menjamin bahwa para penumpang KRL menyadari hal itu dan physical distancing tetap bisa terlaksana dengan semestinya.
Penulis rasa peluang ini masih pifty-pifty. Artinya, kemungkinan potensi tidak terlaksnanya physical distancing di antara penumpang KRL masih sangat besar.
Apa daya, para kepala daerah yang mengusulkan pemberhentian KRL ini tak berdaya dan mungkin hanya bisa gigit jari dengan keputusan Luhut tersebut.Â