ini Minggu (8/3/2020) seluruh kaum kaum hawa di dunia tengah merayakan hari perempuan internasional.
Entah apa urgensinya, sehingga harus ada hari perempuan internasional segala. Berbagai gerakan, aksi massa atau sekedar yel-yel terjadi hampir di seluruh belahan dunia.
Sementara, maaf bukan maksud untuk iri hati, untuk hari laki-laki sendiri yang dirayakan tiap tanggal 9 November, rasanya tidak seheboh dan semeriah hari perempuan internasional.
Sekali lagi, maaf jangan diambil hati, anggap saja ini hanya ungkapan ngawur penulis, yang sejujurnya memang masih belum memahami tentang apa itu hari perempuan internasional.
Namun, jika boleh berandai-andai berdasarkan pemahaman penulis tentunya. Mungkin, selama ini perempuan masih dianggap oleh kebanyakan pihak khususnya para pria sebagai mahluk yang kedudukannya lebih rendah dibanding kaum pria.
Oleh karenanya, hari perempuan internasional ini dipandang perlu untuk menyetarakan atau memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Jangan sampai pihak perempuan ini selalu dipandang rendah di hadapan kaum laki-laki.
Mungkin saja, para kaum perempuan ini ingin menghapus stigma yang selama ini sudah sangat melekat, yaitu sebagai mahluk yang hanya pantas berada di Sumur, dapur dan kasur.
Jika itu yang diharapakan dan diperjuangkan kaum perempuan, sejujurnya penulis sangat mendukung.
Bagaimanapun, di zaman yang sudah serba canggih, peradaban dunia sudah semakin maju, memang sangat memprihatinkan jika masih ada pihak-pihak yang menganggap kaum perempuan hanya cocok di tempat yang penulis sebutkan di atas (sumur, dapur dan kasur).
Pada era modern ini, perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki. Mereka memiliki kemampuan dan intelektualitas yang sama sekali tidak kalah dibanding dengan kaum pria.
Mereka bisa mengerjakan apa yang biasa kaum pria lakukan. Mereka juga bisa bersaing dalam bidang apapun demi kemajuan bangsa dan negaranya. Jadi intinya, kaum perempuan adalah mahluk yang setara dengan kaum pria.
Nah, lalu bagaimana dengan kondisi di tanah air?
Dalam pandangan obyektif penulis, pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah cukup memberikan ruang yang cukup untuk kaum perempuan dalam hal mengekspresikan segala kemampuannya.
Terbukti, sudah sangat banyak kaum perempuan yang berkarir dan sukses di berbagai bidang dan tidak dibatasi oleh pemerintah. Baik itu di pemerintahan, seni, budaya, olahraga maupun bisnis.
Dalam hal ini, penulis meski seorang pria harus mengucapkan terimakasih terhadap pemerintah yang telah memberikan ruang dan waktu seluas-luasnya terhadap perempuan mengembangkan bakat dan segala potensinya.
Hanya saja, satu hal yang cukup disesalkan penulis terhadap pemerintah, yaitu masih lemahnya terkait proteksi atau perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Selama ini masih saja banyak terjadi korban-korban kekerasan seksual terhadap kaum perempuan tersebut, tanpa adanya perlindungan yang memadai dari pemerintah. Salah satunya adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sangat beralasan masih lemahnya regulasi korban kekerasan seksual terhadap kaum perempuan, sejumlah pihak terus melakukan aksi dan protes untuk mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU PKS.
Nah, bertepatan dengan hari perempuan internasional, seperti dilansir TEMPO.CO, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta turut mendesak agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS segera disahkan.
Ketua AJI Yogyakarta Shinta Maharani mengatakan jurnalis perempuan masih rentan mengalami kekerasan di ruang redaksi dan ruang publik saat melakukan pekerjaannya.
"Jurnalis perempuan perlu bersolidaritas untuk melawan berbagai bentuk kejahatan seksual," kata Shinta dalam pernyataan sikap AJI Yogya di Hari Perempuan Internasional hari ini, Minggu, 8 Maret 2020.
Masih dituturkann Shinta, pada 2017 AJI mencatat setidaknya tiga kasus kekerasan seksual di ruang kerja atau saat bekerja yang dialami jurnalis perempuan. Kasus-kasus itu dilaporkan oleh korban.
Tiga kasus tersebut, yaitu kekerasan seksual terhadap empat pekerja media kantor berita Antara, kekerasan seksual wartawan magang Radar Ngawi, dan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan di Medan saat peliputan, yang diduga dilakukan aparat TNI Angkatan Udara.
Dalam kesempatan itu, masih dilansir TEMPO.CO, Shinta pun mengatakan, perempuan juga menjadi kalangan yang paling rentan mengalami kekerasan di wilayah konflik, salah satunya di Papua.
Dia berujar jurnalis perlu mendapatkan akses seluas-luasnya akses untuk melakukan liputan di Papua.