AKU BUKAN ANAK YATIM
(kenangan 17 tahun yang lalu)
Di balai desa nampak antrian panjang barisan fakir miskin dan anak yatim untuk mendapatkan jatah beras miskin (raskin).
Terlihat Delta yang sedang kepanasan, beberapa kali mengelap keringat di dahinya dengan kedua punggung tangannya. Sambil sesekali melihat ke depan dan belakang barisannya, dia mencoba bersabar untuk mendapatkan jatah beras yang menjadi haknya dan keluarganya.
Kini tiba gilirannya setelah dua jam mengantri dengan tertib. Delta berharap segera mendapatkan apa yang diharapkannya, membawa pulang sekantong beras untuk makan mereka beberapa hari ke depan.
Namun apa yang dialaminya sungguh menyayat hati kecilnya. Dengan wajah bingung bercampur sedih, dia menatap dua perempuan di depannya yang sedang bertengkar karenanya.
“Dia kan tidak yatim, nggak perlu disantuni.”
“Tapi dia anaknya janda bu, ya masuklah dalam daftar santunan kita.”
“Tapi bapaknya kan masih ada. Artinya masih ada yang wajib bertanggung jawab atas mereka itu. Yok opo seh?”
“Yok opo? Gimana to? Bapake sudah nggak mau bertanggung jawab kok. Malah kawin lagi dengan wanita lain.”
“Wes-wes. Ya sudah beri dia jatah satu jiwa saja. Yang lainnya masih banyak yang antri ning!”
Delta masih ingat betul kejadian yang membuat hatinya sedih tujuh belas tahun yang lalu itu. Seorang perempuan bertumbuh tambun, yang sesekali mengunyah makanan, gethuk singkong yang terus dibawanya sambil wira wiri mengatur antrian jatah raskin, bertengkar dengan seorang petugas perempuan yang dia tahu membelanya untuk mendapatkan hak jatah raskin.