Tergeletak dengan rasa penyesalan yang tak karuan Aru masih menahan nafas, yang seakan haru dan mencari-cari dengan sesuatu yang memang telah lama belum ia dapatkan, yaitu manusia tanpa eksistensi media, namun eksistensinya kepada masyarakat sangat di cium ingatan itu
“bangsat !”Ucapnya menyesali kepada diri sendiri, berusaha menggenggam pensil dan terdiam lama didepan drawing book, tangan Aru tak bergerak, kaku seakan tak ada wajah yang berusaha di ingatnya, pernah ketika sepulang ke desa Sebabi, kampong halamannya Aru men-cari poto-poto sosok itu namun tak ada hasil
“ahh... aku tepedaya oleh tangis dan tawa, Ayah, izinkanlah sekali saja aku melihat wajahmu lagi!”gumamnya dengan mata yang agak basah Aru seakan terbawa tangan, wajar saja sebelum tahun 2003, di Kalimantan Tengah sangat jarang ditemukan HP seperti sekarang, atau setidaknya kamera hitam-putih untuk membungkus wajahnya, apalagi dipelosok desa
“aku masih tak dapat melihat wajahnya, kupejam beribu-ribu kali masih tak dapat karena ia pergi ketika aku berumur 7 tahun”.
KEMBALI KE ARTIKEL