Dari balik jendela. Perdebatan itu kudengar lama, dingin dan Senyap, hingga gemiricik air dari sungai sebelah menyeruak pasah.
Bak musik instrumen yang siap iringi drama diantara dapur dan ragam racikan sayur-mayur di meja.
.
“Kakekmu dulu juga pentirakat hebat, biasa diam menyendiri dengan bersila kaki di suatu tempat, dengan mulut komat-kamit, tapi bukan rapalan pemuja syetan yang beliau baca, sebaliknya tasbih dan istighfarlah wirid yang beliau lantunkan. I’tikaf wujud pendekatan diri pada Sang pencita,” Bunda awali perdebatan di temani potongan-potongan kacang panjang dari petikan jarinya.
Telingaku semakin khusyu' menguping pembicaraan.
.
Terlihat Bunda terus gelengkan kepala, tanggapi kisah perjalanan pernikahanmu dengan seorang ahli tirakat. Menyesalkan jalan yang kau ambil, “ jika dulu langkahmu sedikit mau di koreksi, mungkin bukan ini yang terjadi.”
.
Menikah tanpa peduli rukun dan syarat. Tega matikan ayah terganti wali hakim permudah langkah, hanya sekedar untuk dapatkan secuil buku kecil resmi dari kementrian agama, tak lagi ingat ridho Alloh terletak pada ridho kedua orang tuanya. Dari raut Bunda sungguh pancarkan kekecewaan.
.
“Ia telah menyeretmu terlalu jauh,” Kata Bunda kembali.
Sambil terus mengiris bawang dengan irama tangan agak keras mencincang. Kupastikan itu imbas merah membara yang ada di dada Bunda.
“Tapi dia baik Bun, banyak orang yang ia tolong, dia juga bisa taklukkan syetan-syetan, kemaren saja ketika tetangga kerasukan dia yang bantu keluarkan jin yang bersemayam di sana. Dia hebat Bun,” kau membela.
.
“Jika dia baik tak akan perlakukanmu sekotor ini, kau pikir apa yang tengah kau jalani? Selain zina tak ada nama lain yang kau sandang saat ini,” balas Bunda kembali menyekik.
.
Petir menyambar, kata-kata Bunda keras berdasar. Mengguncang hancur leburkan hatimu sampai mumur tanpa sisa.
DUARRRRR...
“Bunda...,” bisik hatimu lirih .
“Kau bodoh atau apa ?!” Dari nada suaranya kekesalan Bunda telah memuncak.
.
Kuterawang. Hati Bunda berdarah-darah. Tak terima gadis kecil yang dulu dijaga layaknya menjaga air di atas daun talas hingga dewasa, harus tersesat arah. Dan sekarang di depan mata, bidadari mungilnya telah diubah oleh laki-laki bejat menjadi katak.
.
“Bunda...,” hatimu makin lemas bergumam.
“Kakekmu dulu juga hebat, menyulap kedelai kacang jadi gerombolan tentera di zaman Belanda, siapa yang bisa menirunya? kalau bukan karomahnya yang mantap dalam bertirakat semua itu tak akan ada. Tapi, untuk suamimu, jika menikah saja abaikan wali, Ibadah dia anggap tak lagi berarti. Layakkah dia sebanding dengan kakekmu dalam bertirakat ? beda jalur ,jauh. Harusnya kau bisa menilai siapa laki-laki yang kini di hatimu telah menepi, ” Bunda terus membanding.
.
Aku menangkap harap dari wajah Bunda, putri tercintannya kembali tak salah bersandar dinding.
Daun itu mulai berhamburan lepas dari pegangan. Tersapu, terhempas tak berbeban.
Tamparan keras bahasa Bunda salahkanmu bersikap.
“Ketika kita akan berlaku salah, harusnya nuranilah yang pertama kali berteriak histeris dan spontan mengatakan pada kita jangan lakukan! Tapi nuranimu mungkin tengah pingsan hingga tak mampu kusar berontak, ” lanjut Bunda kembali menyabar.
.
Kau sadar langkahmu berada dalam jalan yang salah, tapi pertarungan sengit antara nurani dan nafsu belum sempat kau menangkan.
Berlahan berbalik undur , tanpa kata kau tinggalkan Bunda yang tengah terus bandingkan suamimu dengan kakek yang sama-sama manusia pentirakat.
.
Air mata yang telah lama kau tahan akhirnya tertumpah, bersimbah di kamar banjiri seluruh arah.
Tak bersama Bunda atau aku yang biasanya menjadi tempatmu curhatkan rasa. Mungkin kau tak mau keaslian hatimu terlihat nyata.
.
Gengsi, karena ingat dulu ketika kau putuskan lari dari rumah, dengan dalih ambisi emansipasi atas nama cinta. Merasa diri tak hidup pada masa Siti Nurbaya.