Diantara kabut yang sepertinya enggan beranjak, tersimpan raut wajah yang diam.
Surini, wanita dengan rambut yang tergerai panjang dan kulit yang tak dapat menyembunyikan urat jaman yang menua. Pandangannya yang beku seperti mayat yang diawetkan di puncak bukit. Dingin angin pagi itu tak membuatnya beranjak dari tempat itu.
Wajah yang pudar itu tanpa suara, hanya sesekali mempererat dekapan sarung di badan. Pandangan itu begitu tajam tertuju, pada jalanan desa yang masih ditelan oleh kabut.
*****
Pukul lima pagi, kabut masih bersisa di antara rumah-rumah sederhana, wanita itu telah menempati singgasananya. Kali ini wajahnya lebih pudar.
Duduk sepanjang hari sepertinya menjadi pilihan bagi wanita itu. Ia tak pergi ke ladang seperti halnya wanita-wanita di desa kecil itu. Tidak juga membiarkan dirinya dimandikan asap dapur.
Tak banyak yang tahu apa sebenarnya yang ditunggu wanita itu. Sesekali orang bertanya, "Rin, ayo ikut ke ladang". Senyumnya mengembang, tapi tak ada kata yang keluar darinya. Kemudian ia kembalikan pandangannya ke jalan menuju desa, seperti berharap seseorang akan datang.
*****
Wanita-wanita desa telah menuju ladang, lelaki menggendong cangkul, sementara anak-anak bermain dengan riang. Anak-anak yang bergulir diantara kesibukan pagi, tanpa pengawasan. Mereka seperti remaja-remaja yang menjaga desa ketika orang-orang bertengkar dengan tanah ladang.
Surini masih terdiam.
*****
Orang-orang bercerita, "Ia dulu kembang desa. Kemudian datang seorang pria meminangnya. Mereka membuat iri pasangan lain dengan kasih sayangnya. Kemudian sang suami pergi untuk mencari kerja".
"Ia terus menunggu setiap hari".
Orang-orang desa sudah memahami apa yang dilakukan wanita itu, dan tentunya memahami kerinduan yang membeku dalam hatinya. Terkadang mereka mencoba membujuk wanita itu untuk beristirahat di dalam rumah, tapi ia hanya mengembangkan senyum sambil berkata, "Suamiku hampir saja sampai, aku tidak mau melewatkannya".
Sebenarnya kasihan melihatnya seperti itu. Tapi tak ada yang tahu kapan suaminya akan datang. Suaminya pergi suatu pagi. Ia mendapat panggilan kerja di Surabaya.
Dengan tas besar di tangan, ia berjalan menjauhi desa, sementara sesekali ia membalikkan pandangannya ke arah desa, berharap akan melihat wajah istrinya dari kejauhan. Kemudian kabut menelannya dan menjauhkan dari pandangan istrinya.
"Aku tidak akan lama. Mungkin lusa pagi aku akan kembali", itu yang dikatakan lelaki itu pada Surini. Sepertinya kalimat itu yang menjadi dasar kuat Surini selalu duduk di tempat itu setiap pagi datang dan berharap lelaki yang dirindukannya kembali.
*****
Sesekali tubuhnya menggigil kedinginan, tapi tak semeterpun ia beranjak dari tempat itu. Tak ada yang dapat dilakukan orang-orang yang semakin merasa iba padanya.
*****
Seperti tak ada bedanya pagi itu, masih disinggahi kabut, sementara cahaya mentari mulai berlompatan di atas atap. Tapi sedikit berbeda dengan Surini, matanya sayu dengan bibir yang gemetaran. Wajahnya yang molek kini semakin pudar.
Ia dekapkan kedua tangan di dada, erat-erat. Baju tebal dengan balutan sarung tak dapat menahan hawa dingin menggerogoti dadanya. Tapi matanya tak beranjak dari jalan desa, berharap seseorang akan datang dan menyapanya, "Mas datang, Dik".
Orang-orang desa menuju ladang, sementara anak-anak bermain di jalanan.
Udara mulai menghangat. Desa telah sepi, seperti halnya hati Surini.
*****
Tubuhnya semakin menggigil dan gemetaran. Matanya yang sedari tadi memandang jalanan sesekali tertutup. Kemudian tiba-tiba dunia lenyap dari hadapan matanya.
Badan yang lemas itu terbaring lemah.
*****
Ketika matanya mulai terbuka, ia sadar bahwa ini bukan tempatnya biasa menunggu. Badannya yang lemah membuatnya tak dapat beranjak dari tempat tidur, sementara orang-orang telah berada di sampingnya. Tak ada obrolan diantaranya, hanya pandangan kasihan yang terus menyerang Surini.
Dengan sisa tenaganya, ia berkata, "Kalau Mas Deni datang, tolong sampaikan padanya bahwa aku sudah sangat rindu". Masih tak ada suara di kerumunan orang itu, tak ada yang tega menjawab apapun.
*****
Pukul lima pagi. Hari baru saja dimulai di desa itu. Kabut masih menyisakan dingin, dan mentari telah mencoba meraih jalanan.
Wanita-wanita menggendong perbekalan, lelaki memanggul cangkul sementara anak-anak mulai bermain layang-layang.
Surini masih diam dan sendirian. Tapi kini ia berbaring di bawah nisan.
Malang, 14 Juli 2010
Buat seluruh warga desa Ngadas, Malang.