Dulu, senyum rembulan dan kerlipan bintang setia menemani canda tawa kita. Bersama melayari malam penuh cerita mengaramkan emosi. Hingga tak terasa malam dimangsa pagi.
Sahabat, kini aku hanya menghitungi jejak-jejak pagi yang mulai terlupa. Rekahan senyuman diantara wewangian melati kini sudah lenyap dimangsa kesunyian. Hanya mampu berceloteh dengan ampas kopi dan jarum jam yang pelan melaju. Bayang wajahmu sudah tak tersisa di sini.
Aku tertunduk di sudut taman kota ini. Menunggu kabar angin diantara wajah-wajah sibuk berlalu lalang. Sejenak kuterperangah pada sebuah sosok melintas cepat. "Itukah engkau sahabatku?". Kembali mata ini berkaca kecewa.
Tak terasa berjuta detik telah meluruhkan wajahmu hingga menyisakan debu kenangan. "Haruskah perjalanan mencari rekam jejakmu harus berakhir di sini?" Nuraniku pasrah.
Biarlah namamu terus merimbuni tiap mimpiku dan bayang candamu terus membedaki malam di dalam ilusi. Andai kau telah pergi jauh, aku ikhlas. Namun setidaknya ada setitik berita pelega di ruang dada.
(Sungai Limas, 19 Desember 2021)