Kepingan kenangan masih berserakan memenuhi taman kota. Lampu taman dan sebuah kursi panjang saksi bisu. Mataku menyibak di sela puluhan wajah tersentuh tetesan hujan. Hatiku bertanya sebentar. "Engkau masih di sana?" Sedangkan aku masih di sini.
Aku setia di sini. Duduk bersimpuh di bawah rintik hujan. Aku sadari, bagian terburuk menggenggam serpihan kenangan bukan pada perihnya, melainkan kesepian yang menyerang saat mengenangnya.
Aku masih di sini. Mencoba mengurai sisa-sisa kalimat yang dulu kau ucapkan. Kita memang terlalu dini menyimpulkan, hingga tercipta jurang dalam bongkahan kebisuan di malam malam sunyi.
Hujan kian menderas. Garis-garis tetesannya kian menebal dan melenyapkan puluhan pasang mata penghuni taman kota. Tak terasa menenggelamkan tiap kristal asa pada larutan kesadaranku. "Ah, engkau di mana? Setidaknya temuilah aku meski dalam mimpi." Desah lirih hatiku.
Biarkan aku tetap di sini, setia menunggu mentari dan bunga-bunga bermekaran. Hingga aroma kesabaranku ini kelak akan melelehkan salju kesunyian di hatimu. Kutunggu kau di sini sahabatku.
(Sungai Limas, 8 Oktober 2021)