Sekitar satu minggu yang lalu memang Kalsel dilanda banjir. Hampir seluruh kabupaten dilanda banjir. Untuk kabupaten kami sejak kemaren dapat kiriman air. Begitu cepat rasanya air naik. Mata saya sebentar sebentar memandang ke arah dinding rumah, penasaran seberapa bertambah tinggi permukaan air. Sembari seluruh anggota keluarga berberes-beres barang penting terlebih dahulu, seperti berkas ijazah, surat- surat penting, sertifikat rumah, dan lain sebagainya.
Padahal baru saja kemaren air menggenangi teras rumah. Saya pun masih tenang menyetrika pakaian dinas sekolah untuk satu minggu sampai selesai. Mata saya pun terus saja melirik ke arah teras rumah. Ya, nampak tak ada penambahan debit air sama sekali.
Malam tadi, karena kesibukan saya setiap hari minggu itu padat, mengerjakan pekerjaan rumah yang sambung menyambung sampai nyetrika pakaian untuk satu minggu, ternyata mata saya begitu ngantuk. Mungkin karena capek, saya pun tertidur begitu pulasnya.
Menjelang subuh, saya dibangunkan suami. Beliau bilang air sudah masuk rumah. Saya kaget dan segera berzikir. Kemudian saya menengok ke ruang tengah, dan betul saja air sudah menggenangi sebatas mata kaki orang dewasa.
Saya langsung bertanya, dimana karung-karung berisi pakan ikan? Kebetulan kami memelihara ikan patin, walaupun tak banyak. Suami bilang bahwa karung-karung tersebut sudah diangkut ke ruang dapur. Benar saja, karung-karung pakan ikan sudah tersusun rapi.
Bergegas saya segera membangunkan anak-anak dan mengajak mereka shalat subur berjamaah. Setelah itu saya menyiapkan makan pagi untuk mereka. Setelah makan pagi saya bersiap berangkat ke sekolah.
Hampir sepanjang jalan di kampung saya, dan kampung yang lain semuanya pada tenggelam. Saya masih bersyukur sepeda motor yang saya gunakan tidak mengalami mogok. Andai saja mogok, bagaimana harus melanjutkan perjalanan ke kota. Ada pula saya saksikan beberapa buah sepeda motor pada mogok mesinnya. Beberapa bengkel pada penuh antrian.
Sesampai ke sekolah, saya kembali terkejut. Betapa tinggi permukaan air hampir selutut orang dewasa. Saya pandangi sejenak. Betapa riangnya anak-anak dan sebagian orang dewasa bermain air dijalanan. Ada yang bertingkah seperti gaya perenang, lari-lari berkejaran bak di tepi pantai, ada yang main-main sepeda. Pokoknya banyak polah tingkah yang saya saksikan. Ya, harus bagaimana lagi, saya tersenyum saja menyaksikannya.
Saya perlahan turun dari sepeda motor, dan ditinggal bersama jejeran sepeda motor guru-guru lain. Kemudian saya berjalan pelan, walaupun baju sebagian tercelup ke air. Lumayan tinggi nih permukaan air, pikir saya. Setibanya di pintu gerbang, air begitu deras memasuki lokasi sekolah. Saya hanya mengisi daftar hadir, tak lama setelah selesai berbincang-bincang dengan guru lain, saya putuskan untuk ke pasar dulu untuk membeli keperluan rumah tangga ala kadarnya. Mumpung lagi di kota. Kebetulan pasar tradisional itu tak jauh dari lokasi sekolah.
Saya sempat mendengar perbincangan beberapa ibu pedagang. Rata-rata membicarakan rumahnya sebagian terdampak banjir, dan sebagian yang lain tak bisa menengok anggota keluarganya yang berada di daerah Barabai kabupaten Hulu Sungai Tengah. "Sampai sekarang hilang kontak" Kata seorang ibu. Saya bisa memahami kekhawatiran mereka, maklum daerah Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu wilayah yang terdampak banjir begitu parah.
Setelah membeli beberapa keperluan, saya langsung pulang. Takutnya debit air kian tinggi menggenangi jalan yang mengakibatkan mesin sepeda motor menjadi mogok.
Sesampai di depan rumah, benar saja debit air kian tinggi dan tinggal kamar yang belum kemasukan air, karena memang untuk kamar sengaja dibangun lebih tinggi. Itu pun juga tinggal sekitar 2 jari tangan orang dewasa. Saya bergegas membereskan kamar, mengangkat kasur dengan sebuah meja kecil sebagai penyangga. Anak-anak saya yang masih kecil saya usahakan mengungsi ke rumah keluarga yang tak jauh dari rumah saya. Namun anak-anak saya bukan tipe anak yang mudah mau berpisah dengan ibunya. Hehe.
Anak-anak begitu riang main air di dalam rumah sendiri. Sedangkan saya bergegas melipat pakaian yang sudah kering dijemur kemaren. Tapi tak disangka, baru beberapa lembar pakaian saya lipat, air sudah masuk ke dalam kamar. Saya pun menghentikan aktivitas melipat pakaian. Sisanya dibuat dalam sebuah baskom pakaian.
Dalam keadaan seperti ini, tentunya untuk melakukan shalat pun seperti biasa juga tak bisa dilakukan. Saya dan anak-anak shalat duduk di atas kursi. Sungguh terasa sedih dalam hati. Badan sangat penat, namun apa daya tak bisa baringan.
Menjelang ashar, suami beriniasiatif menumpuk karung-karung berisi pakan ikan, yang sebelumnya sudah diberi alas susunan kayu ulin yang cukup besar. Akhirnya lega juga bisa duduk nyaman, meski di atas tumpukkan karung berisi pakan ikan. Kalau sudah keadaan darurat seperti ini, apa boleh buat. Sungguh ini adalah ujian kesabaran bagi kami.
Menjelang maghrib tadi, anak-anak mau dibujuk untuk menginap di rumah keluarga yang rumahnya jauh lebih tinggi. Sedangkan saya dan suami tetal bertahan di dalam rumah. Kami berdua makan dan shalat di atas tumpukan karung pakan ikan. "Ya syukuri saja keadaan kita seperti ini. Semuanya nanti akan berakhir kok, sabar saja dan teruslah berdo'a." Ucap suami saya. Mendengar kata-kata yang menyejukkan seperti itu, saya kembali punya semangat dan tak mengeluh lagi.
Dalam benak saya, bagaimanapun keadaan seperti ini akan terus membekas dalam ingatan. Karena banjir terulang lagi untuk yang kedua kalinya menggenangi rumah sendiri. Meninggalkan guratan-guratan memori dalam hidup. Dari banjir ini saya banyak mengambil pelajaran. Di antaranya adalah tumbuhnya rasa empati kepada sesama. Karena saya sendiri sudah merasakan kepedihan hidup dalam suasana banjir ini. Benar kata pepatah. Pengalaman adalah guru yang paling berharga.
(Sungai Limas, 18 Januari 2021)