Siapa yang pernah mengikuti kegiatan pelatihan atau sejenisnya pasti akan tau persis kapan pelatihan tersebut diakhiri. Tentu saja ada yang dan seremoni sekecil apa pun untuk menandai tersebut.
Biasanya kegiatan dimulai dengan pembukaan dan diakhir dengan penutupan. Yang paling menggembirakan ketika itu adalah pada saat pengumuman peserta terbaik dan mendapatkan amplop transport beserta uang lelahnya.
Seandainya kegiatan tersebut karena sesuatu hal, dihentikan di tengah jalan makan kebanyakan orang menyebutnya bubar.
Bubar dengan terpaksa, sementara pesertanya masih ingin dan menyayangkan pembubaran tersebut bahasa yang mulanya santun dan manis didengar berubah, "Pokoke bubar, kalau gak mau pasti tak gigit."
"Tak gigit" itu hanya tambahan saya saja.
Sekarang perhatikan judul artikel ini, "Pokoke Bubar, Lek Gak Mau Pasti Tak Gigit!" Kata "pokoke" bermakna pokoknya, berasal dari daerah Jawa Tengah, bahasa Ngapak. Yang serupa dengan itu, "bapake, ibuke, Ikhlas iku koyok keset, dipidek pidek tetep kudu welcome."
Kalau "bubar" sudah lumrah dan jamak dari bahasa jawa menjadi bahasa Indonesia. "lek" sama dengan "kalau", dan "tak" bukan berarti "tidak" melainkan "akan aku".
Gabungan bahasa daerah biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari hingga dalam pidato resmi. Apalagi yang menyampaikan adalah pejabat tinggi, maka biasanya ahli bahasa memaklumi bahasa yang digunakan.
Namun jika dalam sebuah ujian seminar, srikpsi, tesis, atau disertasi, jangan coba-coba menggunakan bahasa campuran begitu. Salah-salah akan kena semprot penguji. Dan yang seharusnya coumlaude jadi batal. Mungkin saja dianggap tidak menggunakan bahasa dengan baik dan benar.
Inti dari apa yang menjadi judul artikel ini adalah bagaimana bahasa berubah kedudukkannya sesuai dengan perjalanan waktu, siapa yang mempopulerkannya dan seperti apa idola pengguna berikutnya.
Jika yang menggunakan bahasa tersebut adalah idolanya (artis atau pejabat yang banyak penggemarnya) maka dalam waktu singkat akan menjadi viral dan ramai digunakan.
Bahasa serapan yang ada di Indonesia menilik dari contoh di atas tentu saja berasal dari daerah dimana orang yang pertama kali menggunakan dan mempopulerkan.
Menurut saya, semakin tenar yang memulai menggunakannya maka akan semakin segera menjadi bahasa serapan. Lalu, lambat laun akan menjadi bahasa baku.
Kalau saya bertanya pada pembaca. Kira-kira pernah mendengar kalimat di atas dari siapa? Kira-kira nanti penggabungan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam acara resmi lumrah tidak?
Para pakar bahasa akan dibuat pusing. Mereka yang sangat ahli dalam seluk beluk bahasa Indonesia, hanya mampu mengumpulkan, mempelajari dan menganalisanya. Sementara menjadikan penggabungan bahasa daerah dalam acara resmi belum pernah terdengar sama sekali. (sepengetahuan saya)
Mencermati, "Pokoke Bubar, Lek Gak Mau Pasti Tak Gigit!" menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan kalimat ini adalah orang yang berkuasa. Jika dalam acara seminar dan pelatihan. Maka yang layak mengucapkan tentu saja ketua pelatihan. Dan ada indikasi kegiatan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kesimpulannya, mereka yang terkenal, berkuasa, memiliki banyak pengikut, maka akan mampu mengubah peradaban. Salah satunya mengubah pola penggabungan bahasa daerah dan bahasa indonesia baku menjadi bahasa yang boleh dan sah-sah saja digunakan walau dalam acara resmi.