Sekeping hati telah jauh melangkah, menyusuri jalanan onak berduri. Sering terseok di jalanan sunyi, dan terjatuh di jurang sendu hingga terluka. Sekeping hati terus saja melangkah menyusuri jalan berliku akhirnya tersedu sendirian
Dalam gelap sekeping hati sering tak mampu meraba, mana benar mana salah. Semua nampak buram sisakan muram durja. Lalu, siapa yang mampu meraih dan membelai kembali sekeping hati ini?
Seiring perjalanan waktu, sekeping hati tlah membatu. Namun akan luluh dalam lembut belaianmu. Darimu ibu, sekeping hati bisa kembali. Mereguk manis dan nikmatnya hidup.
Sekeping hati digembleng dari buaian. Sekeping hati terbentuk dari tulus kasihmu, karena engkaulah sekolah pertama bagi sekeping hati yang lahir dari rahimmu. Tempaan hidup kau beri, meski harus berjuang dalam terjangan badai kehidupan penuh darah dan nanah, dan berperang dalam suasana tak tentu.
Maafkan ibu, bila sekeping hati ini sering membuat matamu berkaca, jantungmu berdegup tanpa nada harmoni.
Maafkan ibu, bila sekeping hati ini sering membuat batinmu tercabik, hingga kau terisak pedih di ujung malam.
Maafkan ibu, bila sekeping hati ini sering membuat hatimu terluka, dan telingamu terasa panas.
Maafkan ibu, bila sekeping hati ini sering menggenangi lorong pikiranmu, hingga kau tak sanggup melahap makanan dengan nikmat.
Sekeping hati adalah milikmu. Sekeping hati tlah sadar berkat untaian do'a yang setia terpanjat di ujung malam. Sekeping hati rindu kucuran petuah dan belai kasihmu. Sekeping hati takkan bisa apa-apa, berkah hidup dalam restumu. Do'amu penyelamat, karena surga di bawah telapak kakimu.
(Sungai Limas, 22 Desember 2020)