Oleh: Eko Windarto
Sebagai penyair menulis adalah cara mengekspresikan gagasan untuk melawan sesuatu atau menjaga akumulasi kreatifitas pikiran.
Pandangan pandangan seorang penyair mempunyai implikasi yang tidak sederhana apa adanya. Sebab, bagi saya sebagai seorang penyair, menulis adalah motivator untuk mengungkap misteri implementasi kehidupan sekeliling. Bahkan menulis bisa merasakan hidup lebih dari satu kali.
Oleh karenanya menulis puisi adalah gairah estetik yang sangat indah dalam memasuki alam bawah sadar kehidupan. Kehidupan itu sendiri adalah sastra. Punya nilai intrisik yang imanen dalam metafisik.
Saya sebagai the author tidak hadir dalam kebenaran tunggal. Sebab penulis tak bisa diam. Selalu berubah rubah rupa dalam penafsiran yang kontekstual.
Maka dari itu seorang penyair atau penulis butuh literasi memadai, agar ia bisa jadi petani, gelandangan, tukang pijat, filosof, politikus, piskholog, sosolog, atau pun pengembara metafisika. Yang paling berat bagi penyair dan penulis adalah melawan keihklasan dan kesabarannya sendiri.
Di manapun penyair berada juga mempunyai keinginan yang sama dengan penyair lainnya. Sebagai manusia, semua penyair mempunyai ide-ide, gagasan, hasrat, pesan-pesan untuk menyampaikan kepada masyarakat dan bangsanya. Dalam interaksi dengan berbagai kalangan masyarakat maupun lingkungan masyarakat luas termasuk interaksi antara dunia dalam dirinya atau di luar dirinya. Penyair banyak menangkap momentum peristiwa dalam pengembaraan. Hal-hal yang ditangkap kadang merupakan kesan menyenangkan, kadang-kadang juga merupakan problema yang harus direspon, atau pengalaman batiniah yang harus dan perlu disimak isinya.
Hanya dengan bahasa dan kata-kata penyair bisa mengutarakan apa-apa yang ditangkap melalui puisi. Dengan bahasa pula penyair bisa menangkap maksud dan perasaan orang lain. Dengan bahasa pula penyair dapat mengutarakan pendapatnya, keterlibatannya serta keterharuannya terhadap sesuatu kepada masyarakat, karena seorang penyair bisa berdoa dengan kata-kata.
Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik, sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menterjemahkan penghayatannya atau pengalamannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksud yang sebenarnya. Hal ini sesuai benar dengan fungsi bahasa.
Mood seorang penyair terkadang berada dalam kegelisahan yg memantiknya untuk berbuat sesuatu atau melentingkan sebuah karya puisi yg menyita perhatian laku itu sendiri. Daya ingat seorang penyair adalah seberapa jauh ia membaca literasi, seberapa jauh membuka ruang dalam hatinya. Dari situlah seorang penyair akan terlihat seberapa jauh melibatkan diri dalam kehidupan dan literasi.
Sebagai penyair sangatlah lucu dan culun bila hanya bisa menulis puisi saja. Sebab penyair sekarang di hadapkan pada zaman globalisasi yang begitu cepat menggiring kita pada situasi tidak menentu dan kadang sulit disimpulkan.
Oleh sebab itu kita sebagai manusia biasa atawa penyair dituntut mencontoh keteladanan Nabi Muhamad SAW. Yang mana Nabi Muhamad SAW adalah seorang nabi yang makrifat, dan bisa mi'raj. Kita sebagai umat Nabi Muhamad SAW harusnya bisa makrifat dalam melihat sesuatu di sekeliling kita untuk diangkat menjadi sebuah tulisan. Semono ugo kita harusnya juga bisa mi'raj seperti Kanjeng Nabi Muhamad SAW. tinggal bagaimana kita bisa mengasah keilmuan untuk mencapai isro' sebelum sampai mencapai mi'rod dalam beribadah atawa menulis.
Maka dari itu penyair butuh ruang yang luas dan hati pikiran yang lebar, demi mempertanggung jawabkan sebagai mahkluk Allah. Ya, paling tidak bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saya menulis seperti ini tak luput dari getaran hati nurani, hingga tak bisa kubendung air mata.
Itulah sekelumit narasi saya sebagai manusia biasa yang dipilih Allah menjadi seorang penyair yang masih butuh banyak belajar dari sampean semua. Khususnya belajar dari ketidak tahuan saya dalam laku sinetron duniawi ini.
Sekar Putih. 30102018