Setiap agama/budaya di seluruh dunia pasti mengenal yang namanya korban suci dalam berbagai bentuk ritual dan tata cara tertentu. Mengorbankan pikiran, waktu, tenaga, dan biaya dengan penuh keikhlasan pada dasarnya adalah yajna.
Dalam hidup ini tidak ada yang tidak butuh pengorbanan. Untuk hal-hal yang jelek aja butuh pengorbanan, apa lagi hal-hal yang baik (jer basuki mawa beya). Jika kita tidak setuju "sesaji (kurban suci)" secara ritual, maka setidaknya kita harus setuju "sesaji (kurban suci)" secara spiritual.
Tetapi pertanyaannya apakah setiap orang mampu mewujudkan "sesaji spiritual" dalam dirinya, jika tidak maka mereka masih membutuhkan sarana berupa sesaji spiritual. Sama halnya jika kita mau berhubungan dengan teman/saudara kita yang jauh.
Jika kita dan teman/saudara kita sama-sama punya ilmu kebatinan yang tinggi (gelombang spiritual yang sama), maka kita tidak butuh HP/Internet untuk berkomunikasi.
Tetapi jika kita belum memiliki gelombang spiritual yang sama, maka kita masih membutuhkan sarana-sarana tersebut.
Lagian ada hukum alam di dunia ini yang tidak bisa dielakkan oleh manusia, bahwa siapa yang meminta sesuatu pada saatnya nanti ia akan diminta sesuatu.
Dan siapa yang memberi sesuatu maka pada saatnya nanti akan diberi sesuatu. Model ini sama halnya dengan hukum karma (sapa nandur bakal ngundhuh), atau hukumnya Mbah Newton (aksi sama dengan reaksi).
Oleh karena itu, jika saat ini kita hanya meminta saja, tanpa pernah memberi, maka kita harus siap pada suatu saat nanti kita akan dimintai sesuatu.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa disebutkan "yen tan mawa sarana, paran katekaning kapti, lir mbedhag tanpa wisaya (jika tanpa sarana jangan harap kita sampai pada tujuan, ibarat orang berburu yang tanpa menggunakan senjata)".
Nuwun semoga bermanfaat.