Pertanyaan itu pantas mengemuka, karena fakta yang terjadi seputar pemilihan kepala daerah secara langsung tidaklah selalu berujung pada cerita manis. Coba tengok, berapa kasus pilkada yang akhirnya hanya berakhir pada kerusuhan? Berapa juga biaya yang musti dikeluarkan untuk setiap calon? Lalu, apakah "demokrasi" ini telah membawa bangsa ini ke level yang lebih baik? Siapa yang bisa menjamin kalau produk pilkada dan pilihan legislatif langsung itu lebih baik?
Kembali ke Jogja. Kalau rakyat jogja akhirnya bersuara kompak, kalau Sultanlah yang layak menjadi gubernur, apakah ini juga bukan demokrasi? Vox populi vos Dei? Suara rakyat, suara Tuhan, katanya...Bukankah suara merekalah yang harus kita dengarkan? Biarlah rakyat Jogja yang menentukan! Biarlah Jogja menjadi dirinya sendiri, di tengah arus utama "demokrasi a la barat" yang di usung oleh pemerintah saat ini.
Biarlah Indonesia menemukan demokrasinya sendiri, yang tidak persis dengan demokrasi barat, yang telah terbukti boros dan tidak menjamin terpilihnya pejabat publik yang akuntabel. Anda telah melihat sendiri, kan, polah tingkah anggota DPR/D dan kepala daerah. Berapa di antara mereka yang membuat Anda mengangkat jempol? bukan membalikkan jempol?