Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Orang Indonesia Lebih Suka yang Besar tapi Pendek?

26 April 2012   01:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:06 1029 5

Ada artikel menarik yang ditulis Binsar Jonathan Pakpahan, dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, di Jakarta Globe, 10 April 2012 (“Is the Indonesian Public’s Amnesia Merely a Matter of Verb Tense and Vagueness?”). Ia memberi penjelasan atas fenomena yang sering diperbincangkan tetapi jarang dipertimbangkan secara serius: mengapa orang Indonesia “mudah lupa”—dalam istilahnya: public’s amnesia.

Mencoba mengajak pembaca berpikir, ia menggambarkan bagaimana dari akhir Januari sampai awal Februari tahun ini, masyarakat berfokus pada penyelidikan KPK terhadap kasus Wisma Atlet, yang membawa-bawa nama Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Pada saat yang sama, masyarakat disuguhkan oleh berita horor yang dipicu oleh kecelakaan demi kecelakaan, termasuk insiden di Tugu Tani yang menewasan 9 orang pejalan kaki. Wacana tentang bahaya bertransportasi di Indonesia dibawa ke tingkat lain ketika muncul berita bahwa sejumlah pilot dan pramugari dari suatu maskapai penerbanga lokal dikabarkan menggunakan narkoba.

Belum cukup? Masih ada lagi. Pakpahan mengingatan kasus baru terkait Dhana Widyatmika, seorang karyawan pajak dengan rekening banknya yang mencurigakan, juga desas-desus tentang pesawat Sukhoi baru serta kecurigaan mengenai adanya penggelembungan dana pembelian pesawat tersebut. Lalu, masyarakat masih dihantam tentang rencana kenaikan BBM, berita demo penolakannya, serta hiruk-pikuk di Senayan yang berujung pada “gossip” bahwa salah satu partai anggota koalisi pemerintah—PKS—akan keluar dari koalisi tersebut. Banyak dari “problem” tersebut—jika memang dapat disebut problem—tidak menemukan solusi yang tuntas. Orang ditinggalkan dalam suasana “menggantung”—tidak tahu kelanjutan atau “solusi” dari problem atau kasus yang diangkat oleh berita tersebut.

Anehnya, dulu, waktu zaman Soeharto, kita juga punya banyak “kasus”—dari kasus-kasus berkelas dinosaurus sampai kasus-kasus remeh. Menurut Pakpahan, dari kasus-kasus zaman Soeharto itu pun, hanya beberapa yang “dituntaskan”—dalam arti masyarakat tahu “ending” atau “solusi”-nya. Sisanya? Menguap tanpa bekas.

Mengapa bisa demikian? Mengapa masyarakat kita seolah-oleh terjangkiti penyakit amnesia public? Pakpahan rupanya mempertimbangkan suatu penjelasan yang unik atas “fenomena” tersebut—penjelasan yang sudah dieksplorasi oleh Hendrik Maier, seorang guru besar sastra perbandingan dan direktur program Southeast Asian Text, Ritual and Performancedi University of California. Mendasarkan penjelasannya pada bahasa, Maier—sebagaimana dijelaskan Pakpahan—menyebutkan ketiadaan unsur waktu (tense) dalam kata kerja (verb) bahasa Indonesia.

Sebagai contoh, kita biasa mengatakan: “Dia pergi ke kantor.” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kalimat tersebut dapat menjadi: “He goes to the office,” “He went to the office,” “He was going to the office” or “He will go to the office.” Pendeknya, Maier memperlihatkan bahwa kalimat dalam bahasa Indonesia tersebut dapat mengacu atau justru menimbulkan keberagaman aktivitas dan konteks sekaligus. Kata “kantor” sendiri bisa mengacu pada makna “the office” atau “an office”—atau: “office” atau “offices”, sementara kata “dia” dapat mengacu pada “he” atau “she”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun